Mohon tunggu...
Muhammad Falahuddien
Muhammad Falahuddien Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

SMAN 28 Jakarta - XI IPS 2

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Bukan) Ada Apa dengan Cinta

30 November 2020   18:27 Diperbarui: 30 November 2020   18:32 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana malam itu tak seperti biasanya. Hujan turun deras membasahi Jatinangor yang sunyi. Tak ada satupun suara hewan malam yang terdengar. Hanya ada suara hujan dan suara ketikan laptop yang saling beradu. 

Terlihat seorang lelaki dengan postur tegap sedang duduk di kursinya menghadap ke laptop yang terpampang di depannya. Jarinya menari dengan lihai diatas laptop sambil sesekali ia melirik ke sebuah buku tebal di sebelahnya. Dari sorot matanya yang tajam bisa terlihat bahwa dia sangat fokus dan tak ingin diganggu. Raut wajah yang serius disertai senyumnya yang jarang membuat sosoknya terlihat menyeramkan. 

Namun, semua itu terpatahkan ketika sebuah lagu JKT48 yang berjudul Baby!Baby!Baby!  terdengar keras. Ternyata itu nada dering dari ponsel miliknya. Sungguh pria yang aneh.

I love you, Baby! Baby! Baby! Alihkanlah padaku—  

Suara tersebut memecah keheningan ditengah sunyinya malam. Si lelaki beranjak dari kursinya dengan langkah tergontai-gontai untuk menghampiri ponselnya yang terletak diatas nakas.

"Duh, siapa sih ini. Malem-malem ganggu aja," gumamnya sedikit kesal.

Dengan enggan, ia mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, ini siapa?" sapanya dengan sedikit kaku.

"Ha-halo, Rangga. Ini gue, Cinta."  Terdengar suara perempuan diseberang sana. Suaranya terdengar pelan dan gugup.

"Oh, Cinta. Kenapa, Cin?" sahut si lelaki dengan antusias yang ternyata bernama Rangga.

"Gue pengen ngomong sesuatu dari lama, Rang. Tapi ...." Suara si perempuan sedikit menggantung. Menyisakan tanda tanya dalam percakapan mereka.

"Iya, Cin?" balas Rangga sedikit bingung.

" Tapi, gue takut ngomongnya, Rangga."

"Takut kenapa? Gue dengerin kok."

"Bener ya. Janji jangan marah ...."

"Iya, janji."

Hening

"Setelah 2 tahun deket, gue itu udah nyaman banget sama lo. Kita kemana-mana selalu berdua. Dari mulai berangkat ngampus bareng sampe nganter gue pulang ke Bandung ..." kata si perempuan, "Lo itu selalu ada buat gue, Rangga."

Rangga tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya berdegup kencang. Perempuan yang ia taksir selama 2 tahun ini akhirnya ingin mengungkapkan perasaannya sekarang. Dia sudah tidak peduli lagi dengan kuliah dan skripsinya.

Bodo amat dah engga lulus juga. Beres kuliah, gue pengen langsung nikah aja sama dia. hihihi, pekik Rangga dalam hati.

Percakapan mereka hening beberapa saat. Dua orang ini sibuk dengan pikirannya masing-masing. Akhirnya, suara lembut Cinta memecah kesunyian diantara mereka.

“Lo, itu udah gue anggap kayak tukang ojek gue, Rangga,” lanjut Cinta.

Eh, tunggu dulu. OJEK? batin Rangga.

“Eh, tunggu dulu, Cin. Lo, bilang ojek?!”

“Iya, Rangga. Ojek. Engga lebih. Dan sekarang, gue mau kita engga berhubungan kayak dulu lagi. Titik.”

“Tunggu, Cin. Emang gue salah apa?!”

Rangga masih bingung dengan apa yang dimaksud oleh Cinta. Ekspektasi yang sudah dibangun selama 2 tahun perlahan mulai hancur. Perempuan yang ia taksir di kampus ternyata hanya menganggapnya sebagai tukang ojek. Sungguh pria yang menyedihkan.

“Gue udah nemu yang lebih baik dari lo, Rang. Motornya dia aerox pake knalpot racing. Lo, cuman supra jadul.”

“Si-siapa orangnya, Cin?”

“bukan urusan, lo,” ketus Cinta.

Rangga tertegun dengan perkataan Cinta. Perempuan yang selalu lembut kepadanya, kini telah berubah. Dari awal pertemuan mereka, Rangga menyangka bahwa takdirlah yang mempertemukan keduanya. Namun, ternyata ia salah. Dia hanya terkena she’s the one syndrome. Sebuah sindrom yang sangat mematikan bagi para kaum adam di dunia ini.

Dengan sisa-sisa keberanian dan kebodohannya, Rangga berbicara dengan percaya diri. Alias ngarep.

“Cin. Padahal kita itu udah cocok banget. Nama gue Rangga dan nama lo Cinta. Kita itu mirip banget film AADC, Cin ….”

Tak ada sahutan dari lawan bicaranya. Hanya terdengar helaan nafas panjang dari seberang sana. Hingga beberapa saat kemudian ……

 “BODO AMAT!” balas Cinta. Singkat, padat, dan jelas. Satu kali tarikan napas. Selesai.

… tut … tut … tut … panggilan terputus.

Setelah insiden mengerikan tadi berakhir, si pria menyedihkan ini hanya duduk di atas ranjangnya. Menatap kosong ke arah luar dengan pikirannya yang kacau. Hatinya masih tak bisa menerima atas kenyataan yang telah terjadi. Tak lama kemudian, ia bangkit dan membuka jendela yang sedari tadi membatasinya dengan dunia luar. Angin sepoi-sepoi mulai masuk ke ruangan kecil itu. Menciptakan hawa dingin yang membuat dia menggigil.

Ctak … ctak … ctak …

Rangga menyulut rokok di tangan kanannya. Badannya membelakangi jendela yang terbuka. Kepalanya tertunduk lesu. Rangga hanya bisa diam tanpa tahu harus berbuat apa. Pikirannya menerawang atas kejadian yang telah menimpanya tadi. Sesekali ia menghisap rokok di tangan kanannya. Menghembuskannya, lalu melamun lagi.

Tiba-tiba angin kencang menerpa. Membuat beberapa ranting pohon di halaman kosnya beradu satu sama lain. Daun-daun pohon mangga beterbangan di udara. Membuat keributan ditengah sunyinya malam. Salah satu daun yang tertiup angin menyelinap masuk ke kamar Rangga. Hal itu membuat ia menjadi tidak nyaman.

Kok, hawanya jadi engga enak ya, Pikir Rangga tak karuan.

Ah, gue tutup aja deh jendelanya.

Saat ingin menutup jendela yang terbuka, tiba-tiba sebuah tangan terulur. Tangan itu kurus dan keriput. Kulitnya pucat dan banyak bekas luka menutupinya. Rangga yang ketakutan hanya bisa mematung. Ia berharap bahwa itu hanya sekadar imajinasi bodohnya. 

Satu detik … dua detik …. tangan itu malah semakin dekat dengan Rangga. Meraba tubuh rangga dari atas rambut, wajah, leher, dan berhenti di bahunya yang gemetar. Dalam hatinya, Rangga ingin teriak meminta tolong. Namun, mulutnya tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Seakan-akan ia terkena mantra yang membuatnya membeku. Akhirnya ia memberanikan diri untuk berteriak kembali dengan mengambil aba-aba dalam hatinya.

Inget, Rangga. Lo, itu cowok termacho se-jatinangor. Masa setan kayak gini aja lo takut?!

SATU ……

Rangga memulai hitungannya untuk mengambil aba-aba.

DUA ……

TIGA …….

Rangga menarik napasnya dalam-dalam. Lalu berteriak sekencang-kencangnya.

“TOLONGGG!!!”

“WOY, TOLONGGG!!!”

“ADA SETAN! ADA SETAN!”

Entah darimana, sebuah tangan misterius muncul kembali. Namun, kali ini tangannya lebih besar dan bertenaga. Kulitnya hitam legam dibawah cahaya rembulan yang masuk dari ventilasi jendela.  Dan anehnya, tangan ini membawa sebuah helm besar berwarna hijau. Tiba-tiba tangan itu mengayunkan helmnya ke kepala Rangga. Dengan kemampuan membidik yang baik, pukulannya tepat mengenai ubun-ubun si Rangga.

BUKKK!!!

Sesosok perempuan dengan tudung hitam muncul dibelakang Rangga. Membentuk siluet besar bak monster yang siap menerkam.

 “Aduh!!! Sakit,” ringis Rangga yang kepalanya dihantam helm.

"WOY,MAS! DARITADI SAYA NUNGGUIN DI SEBERANG!" teriak perempuan bertudung itu.

Teriakan itu membuat Rangga tersadar. Ternyata dirinya berada dikerumunan jalan raya yang padat. Ketika dia melihat bahunya, tidak ada tangan keriput disana. Hanya ada sebuah jaket hijau yang tergantung. Kepalanya masih pusing akibat pukulan jitu dari si perempuan bertudung.

“MAS. DARITADI SAYA SABAR LOH NUNGGUIN, MAS. EH TERNYATA MALAH NGELAMUN SIANG-SIANG BEGINI.”

Suara cempreng perempuan paruh baya memekakkan telinga Rangga. Dengan emosi yang tak bisa ditahan, ibu ini ingin memukul kepala Rangga sekali lagi. Dengan cepat, Rangga langsung membuka suara untuk menenangkan si ibu yang sedang emosi ini.

“Eh, i-iya bu. Maaf bu, tadi saya lagi keinget pas jaman kuliah, Bu.”

“EMANG SAYA PEDULI?! POKONYA NANTI SAYA KASIH RATING BINTANG 1 DI APLIKASINYA!”

“Eh, ja-jangan dong, Bu. Kalo nanti saya disuspend, saya engga bisa makan, Bu.” Rangga memelas kepada si ibu tua ini.

Dengan helaan napas panjang, si ibu seperti ingin melontarkan sesuatu dari mulutnya. Dan, itu terjadi lagi.

“BODO AMAT!” balas si ibu. Singkat, padat, dan jelas. Satu kali tarikan napas. Selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun