Keberingasan aparat lagi-lagi dipertontonkan secara gamblang di ruang publik. Di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat belum lama ini, beragam pemberitaan yang muncul ke permukaan sangat memuakkan. Bagaimana tidak, kabar yang muncul tak hanya mengenai kenaikan angka Covid-19, tapi juga kabar petugas penertiban yang makin arogan.
Persoalan ini tentu bukan hal yang baru di Indonesia. Namun, dalam kondisi serba sulit di masa pagebluk ini, arogansi aparat semakin terlihat dan tentu saja menambah beban semakin berat. Berbekal dasar hukum PPKM yang masih ambigu dan labil, aparat menggunakan kekuatan berlebihan untuk "menggebuk" siapa saja yang disangka melanggar aturan.
Sederet contoh dapat disebutkan. Di Semarang misalnya, para pedagang disiram dengan mobil pemadam kebakaran. Dalam video yang beredar, barang-barang pedagang pun diangkut, kursi di depan konter HP salah satunya. Langkah petugas yang demikian itu lucu. Mengingat sampai hari ini, saya belum pernah melihat orang beli kuota internet lalu dihabiskan di tempat.
Sementara itu di Gowa, seorang petugas tampak menampar seorang perempuan hamil yang merupakan pemilik sebuah kafe. Sangkaannya sama, melanggar PPKM karena tidak menutup warungnya sesuai jam yang diberlakukan. Sungguh, tindakan brutal yang diinstitusionalisasikan.
Dua kejadian itu dilakukan oleh aparat dari institusi yang sama: Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Jauh panggang dari api, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat yang dicita-citakan melalui pembentukan Satpol PP pun semakin jauh untuk dicapai. Pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa aparat menciptakan keteraturan, tapi justru hasilnya ketidakteraturan.
Bukan bermaksud menggeneralisasi, tapi begitulah kondisi di lapangan hari ini. Belum lagi arogansi yang dilakukan oleh Polisi maupun TNI, barangkali.
Dua Pilihan
"PPKM itu bukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, tapi Pelan-Pelan Kita Mati," begitulah candaan serius yang berlaku di masyarakat akar rumput. Bukan tanpa sebab, ambiguitas kebijakan Pemerintah sejak awal pandemi telah menegasikan hak-hak dasar warga negara.
Ketidakmampuan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok, menjadikan masyarakat harus tetap bekerja, meski rasa takut mengiringinya. Andaikan hidup dan kehidupan masyarakat dijamin, dikurung di rumah dua minggu pun pasti bisa.
Maka jangan heran jika sampai saat ini, anjuran #DiRumahAja masih susah untuk dijalankan masyarakat, utamanya yang tak punya penghasilan tetap bulanan. Beda cerita bagi mereka yang bisa 'menikmati' masa karantina dengan duduk manis di depan layar kaca, sembari memperhatikan jalannya Ikatan Cinta.
Artinya memang kebutuhanlah yang mendesak masyarakat untuk tetap kerja. Protokol kesehatan tentu dijalankan sebisanya. Barangkali hanya itu yang bisa diupayakan. Sebab untuk membeli suplemen vitamin sangat jauh jangkauannya.
Harus kita pahami, masyarakat kelas menengah ke bawah pun sebetulnya takut terkena virus corona. Tapi apa boleh buat, toh pilihannya Cuma ada dua: mati terpapar corona atau mati karena tak makan apa-apa.
Berhukum dengan Kaku
Sebetulnya, jika kita sadari, berbagai tindak brutal aparat sebagaimana dicontohkan di awal merupakan produk dari cara berhukum kita yang legalistik dan kaku. Cara berhukum demikian hanya menjadikan hukum tertulis sebagai dasar pijakan tunggal. Dengan dalih kepastian hukum, faktor-faktor di luar hukum pun dikesampingkan.
Padahal dalam konteks hari ini, semestinya hukum dijalankan tidak sekadar menurut kata-kata hitam-putih peraturan, melainkan menurut semangat dan makna hukum yang lebih dalam.
Tentu kita perlu menilik kembali makna hukum melalui tiga nilai dasar hukum. Gustav Radbruch (1961) menyebut tiga nilai dasar hukum itu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiganya mestinya dijalankan secara bersamaan dan proporsional.
Berkaitan dengan penertiban PPKM, penegakan hukum yang terjadi sama sekali tidak menyentuh aspek keadilan dan kemanfaatan. Satpol PP di sini hanya melihat kepastian hukum. Bisa dilihat dengan jelas, Satpol PP tidak memperhatikan suasana kebatinan masyarakat sedikit pun.
Ada ketidakpahaman aparat di lapangan atas hukum itu sendiri. Tindakan aparat nyatanya menjauhkan hukum dari cita-citanya. Satjipto Rahardjo (2009) telah mengingatkan bahwa hukum bukan teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.
Atas dasar itulah kemudian perlu dipahami bersama, mengutip Satjipto Rahardjo, hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia.
Hanya saja, kemuliaan hukum tersebut dalam praktiknya di lapangan tak jarang dikangkangi. Sehingga dalam kondisi sulit seperti saat ini, masyarakat kemudian harus menanggung beban ganda. Digebuk pandemi, juga digebuk petugas penertiban yang tak bernurani.
Muhammad Fajar Sodik, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H