Mohon tunggu...
Muhammad Faizurrahman
Muhammad Faizurrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aku Bangga Ketika Kampusku Dicap sebagai "Kampus Radikal"

15 Agustus 2018   08:07 Diperbarui: 15 Agustus 2018   11:37 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu radikalisme yang berkembang di kampus sudah lama terlewat. Beberapa peristiwa terror kembali terjadi di Indonesia, semua orang bersimpati dan mengecam keras segala tindakan terrorisme. Bahkan isu radikalisme pun berkembang mendekati istitusi pendidikan tinggi di Indonesia. 

Isu itu ditandai dengan adanya tujuh kampus yang terpapar radikalisme menurut BNPT atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Universitas sebagai institusi pendidikan tinggi di Indonesia diduga menjadi tempat tumbuh suburnya radikalisme, tetapi radikalisme ini merupakan suatu isu yang lebih dekat dengan tendensi agama tertentu, yaitu Islam.

Isu radikalisme ini menyebabkan terjadinya pergeseran makna radikal atau radikalisme, karna makna radikal atau radikalisme yang muncul sekarang berbeda dengan makna radikal pada umumnya. 

Jika kita cari lagi apa makna dari radikal baik dalam KBBI atau beberapa makna menurut para ahli, radikal berarti berpikir dan bertindak secara mendasar sampai ke akar-akarnya atau sampai kepada prinsip. 

Secara filosofis radikal merupakan hal yang positif, tetapi hari ini kata radikal seakan berkonotasi negatif. Disamping meluasnya isu radikalisme, terjadi suatu pergeseran makna kata radikal itu sendiri, sehingga isu radikalisme yang berkembang hari ini berbeda dengan makna radikal atau radikalisme pada hakikatnya.

Menurut saya, hal ini adalah suatu hal yang berbahaya, karena akan terus membius masyarakat untuk berpikir negatif ketika mendengar kata radikal atau radikalisme. Yang lebih berbahaya, radikalisme  menurut BNPT tumbuh subur di institusi pendidikan tinggi di Indonesia. 

Lantas, ini merupakan hal positif atau negatif ? jawabannya jelas, adalah suatu hal negatif yang akhirnya mencoreng nama besar institusi pendidikan tinggi di mata masyarakat. Hal ini dikarenakan terjadinya suatu pergeseran makna radikal atau radikalisme itu sendiri dalam masyarakat.

Jika kita kembali kepada definisi radikal pada dasarnya, saya katakan kampus atau universitas harus radikal. Karena apa, karena bagi saya radikal bisa jadi salah satu poin penilaian hidup atau matinya kebebasan akademik dan kemerdekaan berpikir dalam suatu institusi pendidikan. 

Institusi pendidikan harus menjadi wadah terjadinya dinamika pemikiran, harus menjadi tempat berlangsungnya dialektika, dan harus membuka ruang selebar-lebarnya bagi perkembangan intelektual. Kampus harus menjamin tumbuh suburnya kebebasan akademik para akademisi dan para intelektualnya. 

Ketika hal ini terjadi, maka kita bisa melihat bagaimana idealisnya masing-masing intelektual mempertahankan gagasannya, bagaimana para intelektual berpikir radikal tanpa kepentingan apapun, dan bagaimana para intelektual mencari titik temu dari problematika yang terjadi karena tidak sesuai dengan prinsip yang diyakini.

Tetapi realitas hari ini berbeda, kampus seakan dicap sebagai kampus yang meresahkan masyarakat karena dinilai sebagai kampus yang radikal (dalam artian negatif). Seakan tidak memperbolehkan terjadinya perdebatan suatu ideologi apapun.

Pemerintah menilai kampus sebagai kampus yang radikal dengan penilaian yang cenderung dekat dengan tendensi agama tertentu, yaitu Islam. Pada akhirnya, penggunaan kata radikal ini menjadi suatu hal yang menakutkan dan harus dijauhi, bahkan dalam memandang institusi pendidikan.

Kita pernah mengalami suatu hal dimana kata radikal itu menjadi kata motivasi bagi masyarakat Indonesia. Saat di mana kemerdekaan Indonesia diperjuangkan. 

Para tokoh yang berjuang dicap dan disebut sebagai orang radikal. Organisasi perjuangan dicap dan disebut sebagai organisasi radikal, karena mereka sama-sama menuntut satu hal, yaitu kemerdekaan.

Sebutan radikal pada waktu itu bukan sebagai sebutan yang buruk dan berkonotasi negatif, tetapi sebutan radikal tersebut malah menjadi tambahan semangat para pejuang kita merebut kemerdekaan. 

Situasi berbeda terjadi hari ini, di mana orang dan organisasi takut disebut radikal, karena dianggap mengancam negara. Padahal hal itu juga dapat membunuh hidupnya ruang-ruang ilmiah dalam suatu negara.

Jika berbicara radikal dalam konteks Pancasila dan ancaman negara. Di mana negara dan Pancasila merasa terancam ketika adanya diskursus atau pembicaraan tentang suatu ideologi, inilah yang harusnya disikapi dengan dewasa oleh elit politik atau pemangku kebijakan. 

Bagi saya, Pancasila tidak bisa dijadikan alat untuk menjatuhkan atau menyingkirkan pemikiran lain dengan cara yang frontal, Pancasila harus dibuktikan kebenarannya untuk melawan ancaman luar. 

Wajar ketika terjadi suatu diskursus tentang suatu ideologi ketika Pancasila itu sendiri tidak dibuktikan oleh masyarakatnya. Dalam hal ini, kampus lah tempat yang membuka ruang seluas-luasnya tentang apapun bahkan tentang ideologi. 

Bukankah setiap ideologi wajar untuk diperdebatkan sekalipun itu Pancasila? karena itu menjadi suatu proses belajar dan berpikir para intelektual kampus serta masyarakat itu sendiri.

Kembali lagi kepada terjadi pergeseran makna kata radikal atau radikalisme. Masyarakat harus kembali menyadari makna kata radikal sebagai kata yang positif, tidak lagi selalu mencurigai apapun yang disebut radikal. Ini adalah upaya dalam rangka mencerdaskan pikiran negara dan mempertahankan akal sehat. 

Kemudian soal kampus atau institusi pendidikan, kembalikan lagi idealisme kampus. Kembalikan keberanian para intelektual untuk berbicara dan membela kebenaran. Kembalikan kebebasan akademik dan kemerdekaan berpikir yang kini mulai surut. Kembalikan kampus yang bersih dari kepentingan politik apapun. 

Kembalikan kampus yang senantiasa menjunjung tinggi kualitas bukan kuantitas. Maka, ketika Soekarno dicap radikal, Hatta dicap radikal, Sjahrir dicap radikal, H. Agus Salim dicap radikal, Cokroaminoto dicap radikal, Sarekat Islam dicap radikal, dan PNI dicap sebagai organisasi yang radikal, aku bangga ketika kampusku dicap sebagai kampus radikal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun