Stereotype adalah suatu pandangan atau pandangan terhadap suatu kelompok sosial, pandangan tersebut kemudian diterapkan pada setiap anggota kelompok tersebut (Mufid 2009:261-262).
 Etnis Tionghoa sudah lama berada di Indonesia, meskipun Indonesia belum merdeka. Kehadiran etnis Tionghoa turut membentuk kehidupan masyarakat Indonesia. Pembagian kelas atau kasta yang diperkenalkan pada zaman Belanda dan pemilihan antek-antek Belanda, label eksklusif dan fasilitas yang diberikan pemerintah pada zaman Orde Baru menimbulkan kecemburuan dan kebencian terhadap masyarakat Tionghoa.Â
Rasisme terhadap komunitas Tionghoa bukanlah cerita baru. Menurut H. Kuswandi dan Aceu Masruroh (2013:2135) Etnis Tionghoa adalah pendatang Tionghoa dan keturunannya yang hidup dalam budaya Indonesia dan tidak bergantung pada kebangsaan, bahasa yang meresapi budaya Tionghoa, yang menganggap dirinya Tionghoa atau dianggap demikian oleh orang-orang di sekitarnya.Â
Orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia menerima dari tahun ke tahun, dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain, stereotip, ada yang sudah mulai hilang, ada yang masih sama, ada yang berubah.
Pada masa Orde Baru, terdapat stereotip bahwa orang Tionghoa masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya, sehingga nasionalisme mereka patut dicurigai. Misalnya, pelarangan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat Tionghoa. Perubahan kehidupan masyarakat Indonesia dan masyarakat keturunan Tionghoa banyak berubah setelah jatuhnya Orde Baru. Misalnya, Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) membatalkan aturan Orde Baru yang diskriminatif agar masyarakat tersebut bebas menjalankan keyakinan dan budayanya.
Terjadinya stereotype dan prasangka juga dipengaruhi oleh perbedaan kekuatan dan status kelompok, yang dapat menimbulkan persepsi pengkhianatan, ketidakadilan atau ancaman antar kelompok (Susetyo, 2010:77-78).Â
Sayangnya, bahkan di media arus utama, berita tentang etnis Tionghoa didasarkan pada stereotip yang sudah lama ada, termasuk diskriminasi yang dialami akibat stereotipe tersebut. Film juga merupakan medium yang jarang menampilkan etnis Tionghoa dari sisi lain.Â
Film dengan latar Cina biasanya berfokus pada budaya atau romansa. Mereka tidak hanya menerima stereotip, tetapi juga menjadi minoritas di beberapa daerah di Indonesia. Inilah mengapa etnis Tionghoa mendapatkan stereotip seperti itu. Jika melihat hari ini, etnis Tionghoa hidup damai bersama dengan masyarakat adat
Film Cek Toko Sebelah mengisahkan kehidupan seorang etnis Tionghoa yang terdiri dari seorang ayah bernama Koh Afuk (Chew Kin Wah) dan kedua putranya Yohan (Dion Wioko) serta adik laki-lakinya Erwin (Ernest Prakasa).Â
Cek Toko Sebelah adalah film komedi Indonesia yang diproduksi oleh Starvision Plus, dirilis pada 28 Desember 2016 dan disutradarai oleh Ernest Prakasa. Ide naratif film ini didasarkan pada realitas etnis Tionghoa ketika anak-anak tumbuh dewasa meski sudah mengenyam pendidikan tinggi dan akhirnya kembali mengelola bisnis keluarga.Â
Film ini menunjukkan bagaimana stereotip etnis Tionghoa ada di masyarakat. Di masyarakat luas, etnis Tionghoa dianggap sebagai pemilik toko dan toko tersebut tentunya akan diwariskan secara turun-temurun. Prasangka dan penilaian terhadap etnis Tionghoa terlihat jelas dalam film ini.
Dalam film ini, karakter etnis Tionghoa tinggal di daerah yang sebagian besar penduduknya adalah penduduk asli. Meski hidup sebagai minoritas di kawasan tersebut, mereka diperlakukan dengan baik oleh masyarakat setempat.Meski terkadang digosipkan dan ditertawakan oleh toko tetangga, Koh Afuk sebagai penjaga toko sabar dan tegas dalam menanggapinya.Â
Dalam hal ini, kelompok minoritas dan mayoritas tetap hidup berdampingan secara damai, meskipun memiliki banyak perbedaan dalam banyak hal. Film ini banyak menyoroti masalah yang mereka hadapi dan solusi dari masalah yang mereka dapatkan. Hal ini menimbulkan stigma bagi masyarakat tentang bagaimana mereka menyelesaikan masalah yang ada.
Banyak hal yang dapat kita ambil dari film Cek Toko Sebelah ini, tentang bagaimana etnis Tionghoa hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi, penyelesaiaan masalah yang mereka hadapi, dan juga masih banyak lagi hal-hal positif yang dapt kita ambil dari film ini.Â
Walaupun etnis Tionghoa mendapatkan stereotip dan perlakuan yang buruk sejak dulu, tetapi sebenarnya banyak hal yang bisa kita pelajari dari mereka. Â Film Cek Toko sebelah merupakan salah satu contoh bagaimana stereotip dan posisi etnis Tionghoa dalam masyarakat sekitar, bagaimana Koh Afuk dengan anak-anaknya, karyawannya, dan juga tetangganya, begitu juga sebaliknya.Â
Semua di jelaskan pada film ini dan menimbulkan makna yang sangat banyak juga bermanfaat bagi para penonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H