Mohon tunggu...
Muhammad Faizal
Muhammad Faizal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Orang Nomaden

Cuma orang yang doyan ngopi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hey, Kamu Mendapat Pesan dari Mi'raj

28 Februari 2022   12:11 Diperbarui: 28 Februari 2022   12:18 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bersyukurnya Umat Baginda Nabi Muhammad SAW karena beliau yang masih bersedia turun melakukan transformasi pasca bertemu Tuhan"

Satu hal yang masih menjadi pertanyaan bagiku. Apakah Nabi SAW ketika bertemu dengan Allah SWT memiliki keinginan untuk tetap bersamaNya, setelah melihat peliknya kehidupan manusia kala itu? Siapapun yang dapat menjawabnya ku utarakan banyak terima kasih karena aku berfikir jawaban dari pertanyaan itu adalah apa yang kita cari selama ini bagi kita yang berkeinginan melakukan transformasi sosial.

Pertanyaan itu muncul ketika aku pertama kali membaca buku Muslim Tanpa Masjid Karya Kuntowijoyo. Beliau mengutarakan soal Ilmu Sosial Profetik yang beliau gagas ketika melandasi gagasannya tersebut pada buku Muhammad Iqbal yaitu Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam pada pembahasan tentang "Jiwa dan Kebudayaan Islam". Beliau mengutip kata seorang sufi yang bernama Abdul Quddus:

"Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku jang telah mentjapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi."

Terenyuh dan terpana ketika aku pertama kali membaca hasil pentadabburan beliau. Tak bermaksud menyamakan baginda Nabi  SAW sederajat dengan manusia biasa - karena kita sepakat bahwa Beliau SAW berada pada tingkatan yang lebih tinggi - jujur saja aku pernah berpikir pasca membaca perkataan Abdul Quddus muncul sebuah pertanyaan sebagaimana yang sudah ku tulis diatas. Dan tentu saja, resah dan penasaran menghantui ku pasca membaca refleksi beliau.

Manusia biasa mungkin akan merasa nyaman dan tidak lagi berkeinginan untuk pergi setelah mencapai tempat terindah dan ternyaman apalagi pasca bertemu dengan Tuhannya. Kasarnya seperti ini, coklat yang selama ini kita rasakan sebenarnya bukanlah coklat yang sejati. Ketika manusia dihadapkan pada biji kokoa yang merupakan nenek moyang dari semua coklat manis ternyata rasanya pahit aku sendiri pasti akan membuangnya dan seakan tidak percaya bahwa ini adalah coklat yang sebenarnya. Adalah sifat dasar manusia untuk memilih yang terbaik baginya dan menghindari sedini mungkin tiap kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Namun pernah terfikirkan siapa orang yang rajin banget sampai-sampai berhasil membuat biji kokoa itu menjadi sangat manis and very pleasant to eat sampai sekarang?

Baik kembali lagi soal penuturan Abdul Quddus dan Isra' Mi'raj. Apa korelasi keduanya hingga membuat keduanya menjadi sebuah alasan manusia harus bersyukur menjadi umat Muhammad SAW? Bagiku jawabannya ada di perintah sholat :).

Sholat dan Transformasi Sosial

Syekh Abdul Quddus merupakan ulama sufi terkemuka dari India. Melalui penuturannya tersebut sebuah pesan tersirat kepada seluruh kaum intelektual (guru, dosen, cendekiawan, akademisi, dsb) untuk melakukan sesuatu pasca mendapatkan keistimewaan.

"Intelektual muslim adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual tidak boleh berpangku tangan sementara dunia akan tenggelam (Kuntowijoyo, 2018:108)."

Dengan begini kita dapat melihat ada paradigma dan makna lain dari Isra' Mi'raj. Momentum dimana Nabi Muhammad SAW pergi menuju Sidratul Muntaha untuk bertemu dengan Tuhannya hingga pulang membuat transformasi adalah momen tersirat dimana manusia harus melanjutkan tugas Beliau membuat transformasi di masing-masing daerahnya. Jika mengacu kepada perkataan Pak Kunto, itu merujuk pada seseorang yang mengaku dirinya adalah intelektual.

Intelektual boleh saja dimaknai orang-orang yang telah belajar setinggi mungkin, menjadikan namanya sepanjang mungkin, serta menambatkan ribuan gelar di belakang namanya sebanyak mungkin. Namun kembali lagi tentang bagaimana Nabi SAW pulang pasca mendapatkan keistimewaan bertemu Tuhan. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan hubungan ruhaniah dengan Tuhannya. Sehingga jika seseorang ingin membuat perbaikan dalam kehidupannya, maka mulailah dengan melakukan, memperbaiki, atau menyempurnakan hubungan kita dengan Allah Subhanallahu wa Ta'ala. Hingga kemudian berbagai macam metode perbaikan yang akan ditempuh akan selalu terkoneksi dengan Tuhan pula. Realisasi semacam ini yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Kesadaran Profetis.

Adalah keistimewaan bagi seorang insan yang dapat bertemu dengan menciptanya. Adalah momentum pula yang tidak mungkin orang lain dapatkan. Nabi Muhammad SAW menunjukan dan membuktikan diri-Nya adalah yang paling pantas untuk mendapati momentum tersebut karena kesempurnaan lahiriah dan ruhaniah beliau yang membuatnya layak bertemu dengan Tuhannya tanpa harus meninggalkan jasadnya. Namun sebagaimana sumpah Syekh Abdul Quddus, beliau tetap rendah hati untuk tetap turun ke bumi untuk membuat perubahan mengakar pada umatNya. Sehingga nikmatnya dapat kita rasakan sekarang.

Seorang intelektual yang mendapatkan keistimewaan dalam dirinya pun memegang tanggung jawab penuh untuk meneruskan pekerjaan Beliau melakukan transformasi dimanapun kesewenang-wenangan terjadi. Apapun yang akan para intelektual yang ku kagumi akan lakukan pasca membaca tulisan ini. Bagiku mereka yang menyadari dalam dirinya muncul kesadaran untuk merubah dirinya sendiri, seseorang atau suatu kaum menjadi lebih baik adalah seorang intelektual. Intelektual bukan yang sudah berhenti atau selesai belajar. Seorang intelektual sejati selalu menyadari bahwa dirinya akan selalu belajar dimanapun dan kapanpun.

Sehingga sampai disini dapat disimpulkan korelasi mengapa sholat menjadi jawabannya karena melalui sholat hubungan antar manusia dan tuhannya terjalin. Bayangkan jika Nabi dulu tidak membimbing umatnya melakukan sholat. Bagaimana mungkin kita melakukan transformasi jika kita tidak terkoneksi dengan Tuhan. 

Berbagai kemajuan dan kemenangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW diawali dengan melakukan koneksi dengan Allah SWT. Maka bagi kita yang mungkin belum dapat melakukan transformasi secara sempurna. Mungkin ada yang salah dengan sholat kita :').

Ilmu Sosial Profetik: Salah Satu Solusi

Apapun cara yang akan dilakukan para intelektualis yang ku kagumi untuk membuat perubahan sosial dalam kehidupannya masing-masing selalu mendapati tempat terbaik di dalam pikiranku. Tidak ada yang salah dengan berbagai cara yang akan dilakukan para intelektualis karena sebagaimana ilmu sosial dimana ia berusaha membantu manusia menafsir setiap peristiwa yang dilaluinya. Maka jangan heran jika setiap solusi para intelektualis bersifat pragmatis karena disesuaikan dengan situasi kondisi. Namun izinkan aku bercerita soal bagaimana Pak Kunto menggagas solusinya :).

Ilmu sosial profetik merupakan ilmu yang dilandasi dari sebuah ayat Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 110:

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. "

Melalui ayat tersebut didapati 3 kata kunci yaitu Amar Ma'ruf, Nahi Munkar, dan Tu'minuna Billah. Amar ma'ruf dimaknai sebagai humanisasi yang artinya memanusiakan manusia atau dalam bahasa agamanya adalah mengembalikan manusia pada fitrahnya. Kemudian nahi munkar sesuai dengan prinsip sosialisme yaitu liberasi adalah upaya pembebasan seseorang atau sekelompok kaum dari belenggu pengetahuan, sistem sosial, ekonomi, dan politik penguasa dzolim. Yang terakhir Tu'minuna Billah dimaknai sebagai transendensi yang berarti segala perbuatan manusia terkoneksi dengan Tuhan hingga membuat setiap peristiwa dalam hidupnya menjadi lebih bermakna (Kuntowijoyo, 2018: 107).

Azaki Khoirudin seorang intelektual dan juga penulis menuturkan kembali makna transendensi secara lebih mendalam. Melalui penjabarannya beliau menuturkan bahwa transendensi menempatkan agama sebagai titik sentral. Mengingat kembali tentang bagaimana Descartes mengungkapkan postulatnya - Corgito Ergo Sum - bahwa manusia dikatakan ada ketika mereka berpikir maka dalam postulat tersebut manusia terbatas pada pembuatan alat bukan memunculkan kesadaran. Sehingga tindakan manusia berbatas pada fungsionalisasi tanpa makna. 

Sejalan dengan refleksi Syekh Abdul Quddus, penjabaran Muhammad Iqbal, dan gagasan Pak Kuntowijoyo. Dapat disimpulkan bahwa perubahan mendasar dalam hidup dapat dimulai dari melakukan, memperbaiki, dan menyempurnakan hubungan dengan Tuhan. Hidup akan lebih bermakna dan lebih terarah jika selalu terkoneksi dengan Tuhan. Isra' Mi'raj dapat menjadi momentum untuk membuat koneksi kita dengan Tuhan menjadi lebih sempurna dan membuat hidup menjadi lebih bermakna :).

Selamat Memperingati Isra' Mi'raj ^_^ dari ku yang selalu menangis ketika mendengar kalimat ini

Allah ya Nabi salam 'Alaika :')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun