Mohon tunggu...
Muhammad Fahmi alfaruq
Muhammad Fahmi alfaruq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Orang biasa yang suka nulis essay

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kolaborasi Harmonis: Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Pembagian Tugas Rumah Tangga

12 Desember 2024   20:56 Diperbarui: 12 Desember 2024   20:56 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ummi Mafaza, Hani' Khusnul Khotimah, Putri Hanna Luthfiah

Jangan kira ketidaksetaraan gender soal pembagian kerja rumah tangga cuma ada di film atau cerita-cerita fiksi. Faktanya, ini masih jadi kenyataan yang dialami jutaan perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Banyak perempuan yang harus menghadapi beban ganda, yaitu kerja di luar rumah dan di sisi lain juga mengurus semua pekerjaan rumah---mulai dari masak, bersihin rumah, ngurus anak, dan banyak lagi. Nah, masalah ini jelas banget ngebuktiin ketidakadilan yang masih ada, di mana pembagian tugas rumah tangga belum merata antara perempuan dan laki-laki. Padahal, masalah ini udah lama banget ada, dan sampai sekarang masih belum bisa teratasi sepenuhnya.

Meski Perempuan sekarang udah lebih ada kemajuan signifikan dalam berbagai bidang, kayak mendapatkan akses pendidikan yang lebih luas dan meraih kesuksesan dalam karier profesional, pembagian kerja yang nggak adil di rumah tetap jadi penghalang utama untuk mencapai kesetaraan gender. Banyak Perempuan zaman sekarang  yang siang harinya kerja full time di luar rumah, tapi di waktu yang sama, mereka juga harus ngurusin pekerjaan rumah, kayak masak, beres-beres rumah, merawat anak, dan masih banyak tugas domestik lainnya. Beban ganda ini sering kali bukan hanya menguras waktu, tapi juga nguras energi dan perhatian mereka, yang pada akhirnya menghambat perkembangan pribadi dan profesional mereka. (Putri 2015)

Pembagian kerja yang nggak adil kayak gini nggak cuma bikin Perempuan aja yang rugi, tapi juga keluarga secara keseluruhan. Kalau perempuan terus-terusan harus memegang tanggung jawab ganda, kesempatan mereka buat berkembang di luar rumah jadi terbatas. Hal ini juga bisa ke kesehatan mental dan fisik mereka. Selain itu, ketidakadilan ini bikin muncul norma sosial yang keliru, di mana kerjaan rumah dianggap cuma urusan perempuan, sementara laki-laki nggak dituntut buat ikut terlibat dalam urusan rumah tangga. Contohnya aja seorang ibu yang udah bekerja seharian, tapi saat pulang ke rumah masih harus menyapu, mengepel, mencuci dan pekerjaan rumah lainnya, sedangkan suaminya tidak ikut membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah.

Selain itu, masalah ketidaksetaraan gender di rumah juga bikin stereotip yang nggak adil buat perempuan. Masih banyak yang mikir kalau perempuan itu ya cuma urus rumah dan anak, sementara laki-laki yang harus kerja di luar. Padahal, pandangan kayak gini justru ngebatasi perempuan, karena peran-peran tradisional itu jadi makin kuat dan bikin perempuan susah berkembang di luar rumah. Akhirnya, banyak perempuan yang terhambat buat ngejar potensi mereka, entah itu di karier, pendidikan, atau kehidupan pribadi, karena masih ada aja batasan-batasan yang ditaruh masyarakat berdasarkan peran gender yang udah nggak relevan lagi zaman sekarang.

Pendidikan buat wanita itu penting banget untuk mendorong pembagian tugas yang lebih adil. Wanita yang terdidik biasanya lebih berani menuntut dan menerapkan pembagian tugas yang setara, nggak peduli tingkat pendidikan pasangannya. Selain itu, contoh yang ditunjukkan orang tua juga berpengaruh besar. Misalnya, anak perempuan sering kali disuruh lebih banyak kerjaan rumah dibanding anak laki-laki. Jenis ketidakadilan ini tidak hanya berdampak negatif pada Kesehatan seseorang, tetapi juga dapat ketimpangan sosial.

Kesetaraan gender dalam pekerjaan rumah tangga bikin segalanya terasa lebih adil, jadi nggak ada yang merasa kerjaan rumah cuma beban satu orang doang. Kalau semua dikerjain bareng, pekerjaan yang tadinya berat jadi lebih ringan dan cepet kelar, kan seru, Selain itu, berbagi tanggung jawab juga bikin pasangan makin solid dan saling ngerti kesulitan masing-masing, jadi nggak ada tuh drama ngerasa nggak dihargai. Anak-anak yang lihat orang tuanya kompak ngurus rumah juga bakal belajar soal kerja sama dan saling bantu. Jadi, kesetaraan kayak gini nggak cuma bikin rumah lebih rapi, tapi bikin hubungan makin asyik dan harmonis. (Daulae 2020)

Beberapa orang berpendapat bahwa membagi pekerjaan rumah tangga sesuai dengan peran tradisional bisa membuat pasangan merasa lebih nyaman secara emosional. Di banyak masyarakat, ada kebiasaan yang sudah lama ada, di mana setiap orang tahu tugasnya dan merasa aman karena peran tersebut jelas. Misalnya, dalam keluarga yang mengikuti pola tradisional, perempuan biasanya mengurus rumah dan anak, sementara laki-laki bekerja di luar. Pembagian tugas seperti ini bisa menciptakan rutinitas yang sudah terbukti efektif dan nyaman bagi keduanya. Perasaan stabil dan seimbang dalam hubungan pun tercipta, yang sering dianggap penting untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. (Putri 2015)

Menurut aku, ada saat-saat dimana ketika kita terlalu fokus pada gagasan kesetaraan gender yang berbicara tentang pembagian pekerjaan rumah tangga, padahal nggak semua keluarga membutuhkannya. Misalnya, di rumahku, mama adalah orang yang paling sering mengurus rumah, termasuk memasak dan beberes, sementara bokap biasanya membantu dengan tugas yang lebih berat, kayak ngerawat mobil atau perbaikin kerusakan di rumah. kalau dipaksain untuk setara banget, hal itu malah bisa bikin ribet dan nggak sesuai dengan kekuatan masing-masing. Di sisi lain, nggak semua orang ngerasa nyaman harus ngelakuin sesuatu yang bukan keahliannya; contohnya, misal bokap yang mungkin nggak terlalu jago dalam urusan dapur atau mama yang mungkin nggak tertarik untuk ngurusin tugas-tugas yang berat. Menurut aku, yang penting itu kerja sama, bukan yang harus sama persi tapi sesuasi dengan passion masing-masing dan nggak memberatkan kedua pihak. Selama semua pihak merasa nyaman, dan rumah tetep beres ya nggak masalah missal perannya nggak 50:50 banget.

Selain itu juga, beda peran dalam rumah tangga itu bukan berarti nggak setara, tapi lebih ke bentuk saling melengkapi yang malah bikin keluarga jadi lebih harmonis. Pembagian kerja di rumah nggak harus dihitung dari jumlah atau jenis tugas yang sama, tapi lebih ke gimana pasangan bisa kerja sama sesuai kemampuan, keahlian, dan peran masing-masing. Buat sebagian orang, kesetaraan gender yang maksa pembagian kerja rumah tangga harus sama rata itu rasanya kurang realistis. Soalnya, hal itu kayak nggak lihat kenyataan biologis dan sosial yang udah terbentuk dari dulu. Kalau dipaksa rata tanpa mikirin kondisi atau kemampuan masing-masing, yang ada malah bikin stres dan hubungan rumah tangga jadi nggak seimbang.

Kesetaraan gender dalam keluarga sering dianggap sebagai hal yang positif, tetapi ada pendapat yang mengatakan kalau hal ini justru bisa menimbulkan ketidakseimbangan dan masalah dalam keluarga. banyak budaya, peran tradisional seperti pria yang menjadi kepala keluarga dan wanita mengurus rumah tangga terbukti menciptakan keseimbangan yang stabil. Kalau kesetaraan gender diterapkan secara kaku, misalnya dengan membagi tugas rumah tangga dan pengasuhan anak secara merata, hal ini bisa memberi beban yang tidak perlu pada setiap pihak, terutama bagi pasangan yang lebih nyaman dengan peran tradisional. Selain itu, perbedaan peran gender dalam keluarga sebenarnya memberikan batasan yang jelas tentang siapa yang bertanggung jawab atas apa, sehingga memudahkan pengelolaan rumah tangga tanpa kebingungannya. Dengan begitu, meskipun kesetaraan gender memiliki niat baik, penerapannya dalam keluarga bisa menimbulkan ketegangan dan mengganggu keharmonisan rumah tangga.

Kadang, ide soal kesetaraan gender dalam pembagian kerja rumah tangga itu kayak terlalu dipaksain dan nggak selalu cocok untuk semua keluarga karena setiap rumah punya cara dan kebiasaan masing-masing dalam mengatur tugas-tugas rumah. Misal, ada keluarga yang emang udah nyaman dengan pembagian yang ada, kayak salah satu lebih sering masak, yang lain lebih sering ngurus hal lain. Selama semuanya berjalan lancar dan nggak ada yang merasa terbebani, ya no problem. Menururt aku, lebih penting untuk saling mendukung dan menghargai peran masing-masing, daripada terjebak pada pembagian yang terlalu kaku. Yang penting, semua orang merasa dihargai dan bisa bekerja sama dengan baik, tanpa merasa tertekan.

Bener banget, kesetaraan gender dalam bagi-bagi kerjaan rumah emang sering dibilang solusi yang ideal buat bikin semuanya adil, tapi kenyataannya nggak selalu cocok buat semua keluarga. Tiap rumah tangga punya cara, kebiasaan, dan pola kerja yang beda-beda, yang kadang lebih efektif kalau disesuaikan sama kebutuhan masing-masing, daripada maksa pembagian tugas yang serba setara. Selama semua orang di rumah ngerasa nyaman, dihargai, dan nggak ada yang keberatan, fleksibilitas dan saling pengertian sering kali lebih penting daripada maksa kesetaraan yang terlalu kaku. Jadi, menyesuaikan sama situasi keluarga bisa jadi pilihan yang lebih realistis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun