Menurut saya, kunci dari semua ini adalah keseimbangan. Seperti seorang siswa yang mulai terbiasa menggali pengetahuan dari buku fisik dan sumber digital, kita pun perlu menemukan titik temu antara pembelajaran tradisional dan digital. Bukan soal memilih salah satu, tapi bagaimana mengambil yang terbaik dari keduanya untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih kaya.
Yang perlu kita lakukan adalah menjembatani, bukan mempertentangkan. Memadukan kehangatan interaksi manusia dengan kecepatan dan efisiensi teknologi digital. Membiarkan guru tetap menjadi penuntun, sementara teknologi menjadi alat bantu yang memperkaya, bukan menggantikan.
Pada akhirnya, ketika seseorang bertanya lagi tentang masa depan pendidikan di era digital, saya selalu mengatakan bahwa teknologi hanyalah alat. Yang menentukan hasilnya adalah bagaimana kita menggunakannya. Seperti pisau yang bisa dipakai untuk memasak atau melukai, digitalisasi pendidikan pun bisa menjadi berkah atau bencana, tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Yang pasti, di tengah arus digitalisasi yang tak terbendung ini, kita perlu menjaga api kemanusiaan dalam pendidikan tetap menyala. Karena secanggih apapun teknologi, pendidikan sejati bukan sekadar mengisi kepala dengan informasi, tetapi tentang menumbuhkan jiwa peserta didik. Dan mungkin, justru di sinilah letak tantangan terbesar kita, yaitu memanfaatkan kemajuan teknologi tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan yang menjadi inti dari pendidikan itu sendiri.
Mampukah kemanusiaan mengimbangi cepatnya perkembangan teknologi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H