Mohon tunggu...
Muhammad
Muhammad Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Berbagi gagasan untuk kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Digitalisasi Pendidikan, antara Harapan dan Kecemasan

23 Oktober 2024   10:00 Diperbarui: 23 Oktober 2024   10:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by dumcarreon from Pixabay

Suatu hari, seorang mahasiswa bertanya, "Bagaimana jika semua pembelajaran nantinya dilakukan secara digital? Apakah kita masih memerlukan guru?" Dengan tenang dosennya menjawab, “Justru peran guru akan berevolusi menjadi pemandu dalam rimba digital yang begitu luas ini”.

Di kesempatan lain, seorang guru senior mengungkapkan kekhawatirannya. Ia cemas murid-muridnya akan kehilangan kemampuan menulis tangan karena terlalu bergantung pada keyboard komputer. Tetapi kekhawatiran semacam itu, bukankah sudah pernah terjadi juga di masa lalu? Bukankah banyak orang juga khawatir ketika ballpoint (yang kita kenal saat ini) mulai menggantikan “pena bulu”? Bukankah banyak orang juga khawatir ketika mesin tik mulai merajalela?

Memang, digitalisasi pendidikan membawa angin perubahan yang begitu kencang. Kini seorang siswa di pelosok desa bisa mengakses perpustakaan digital dengan koleksi buku seluas samudra. Bermodalkan sebuah layar kecil (handphone), mereka bisa belajar dari guru-guru terbaik di seluruh dunia; menonton eksperimen sains yang tak mungkin dilakukan di sekolah mereka; bahkan berdiskusi dengan teman sebaya dari belahan dunia lain.

Namun, di balik kemudahan akses ini, tersembunyi sebuah ironi yang menggelisahkan. Semakin canggih teknologi pembelajaran, semakin dalam pula jurang kesenjangan digital yang tercipta. Sebagian anak berlayar mulus di atas ombak digitalisasi, sementara yang lain masih bergulat mencari sinyal internet yang stabil.

Saya teringat sebuah berita yang menceritakan tentang seorang guru di pelosok negeri harus memanjat bukit hanya untuk mendapatkan sinyal yang cukup untuk bisa mengakses dunia maya. Sementara di kota besar, anak-anak sudah asyik dengan virtual reality dan augmented reality dalam pembelajaran mereka. Kesenjangan ini bukan hanya soal akses internet, tapi juga tentang kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia secara umum.

Kecemasan akan kesenjangan ini tentu saja sangat manusiawi. Tapi ada kekhawatiran yang lebih mendalam: di masa depan, berapa banyak interaksi tatap muka yang akan hilang digantikan oleh chat dan video call? Apakah "kehangatan" ruang kelas akan lenyap di balik dinginnya layar? Yang lebih mengkhawatirkan lagi, mampukah kita menjaga nilai-nilai kemanusiaan ketika algoritma mulai mendikte cara kita belajar dan mengajar?

Berbicara tentang algoritma, saya teringat sebuah pendapat dari seorang pakar pendidikan. Ia mengkhawatirkan sistem pembelajaran adaptif berbasis kecerdasan buatan yang kini mulai populer. Sistemnya memang cerdas, mampu menyesuaikan materi dan kecepatan belajar dengan kemampuan setiap siswa. Tetapi dengan kondisi seperti ini, bukankah kita patut khawatir sebab penilaian cara belajar terbaik dipercayakan kepada mesin (yang tak mampu merasa)?

Di sisi lain, kecanggihan teknologi seperti ini memberikan peluang bagi pendidikan yang lebih inklusif. Bayangkan seorang anak dengan kesulitan belajar yang selama ini merasa tertinggal di kelas konvensional. Dengan sistem pembelajaran adaptif, ia bisa belajar sesuai kecepatannya sendiri, tanpa tekanan untuk mengejar yang lain. Bukankah ini model pendidikan ideal yang selama ini kita impikan?

Menariknya, ketika berbincang dengan para siswa tentang pembelajaran berbasis teknologi digital, saya menemukan pandangan yang unik. Mereka tidak melihat teknologi sebagai ancaman, melainkan sebagai sebuah taman bermain yang menyenangkan. "Pak," kata salah seorang siswa, "dengan internet, kami bisa belajar apa saja, kapan saja. Tapi kami tetap butuh guru untuk memahami mana yang benar dan mana yang salah."

Ucapan siswa ini mengingatkan saya pada transformasi peran pendidik di era digital. Guru tidak lagi sekadar menjadi sumber utama pengetahuan, melainkan berkembang menjadi kurator yang membantu siswa menyaring dan memahami informasi yang membanjiri mereka setiap hari. Peran ini semakin krusial di tengah derasnya arus informasi digital.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa transisi ke era digital bukanlah hal yang perlu ditakuti. Bukankah kita sudah pernah melewati fase perubahan semacam ini? Dulu, orang mungkin tak membayangkan sekolah tanpa papan tulis hitam dan kapur. Kini smart board interaktif sudah menjadi pemandangan biasa di sebagian sekolah. Yang penting bukan bagaimana teknologinya berubah, tapi bagaimana kita memanfaatkannya sambil tetap menjaga esensi pendidikan: menumbuhkan manusia yang utuh, kritis, dan berkarakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun