Mohon tunggu...
Muhammad
Muhammad Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Berbagi gagasan untuk kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kenapa Anak Gagal di Sekolah? (Part I)

12 Mei 2020   16:00 Diperbarui: 14 Mei 2020   03:39 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap pagi kita melihat anak-anak berangkat sekolah. Ada harapan yang mereka bawa, harapan untuk hidup yang lebih baik. Kenyataannya, disadari maupun tidak, sebagian anak-anak itu malah pulang membawa kegagalan. Lagi dan lagi, setiap hari selama bertahun-tahun.

Apakah anak kita salah satunya?

***

Sebentar lagi anak-anak mengikuti Ujian Kenaikan Kelas (UKK). Biasanya guru-guru mulai mengeluarkan ‘jurus-jurus saktinya’ agar anak-anak dapat mengikuti ujian dengan baik dan mendapatkan hasil sesuai harapan.

Jangan bayangkan guru-guru tersebut akan mengeluarkan jurus layaknya ilmu sihir Harry Potter. Jurus di sini adalah sebuah shortcut agar anak lebih mudah memahami materi pelajaran.

Misalnya dengan mengajarkan siswa untuk merangkum materi, membuat mind map, memberikan lebih banyak latihan soal, melakukan tanya jawab, atau hal yang paling sederhana seperti mengajak siswa untuk mengingat ulang poin-poin penting dari setiap bab.

Tahun ini saya kedapatan mengajar murid-murid kelas VI. Bagi murid tingkat akhir seperti anak kelas VI SD, kelas IX SMP, dan kelas XII SMA, saat ini mereka sudah menyelesaikan semua materi pelajaran dan semua ujian. Meskipun mereka sudah mengikuti ujian berkali-kali, kenyataan bahwa selalu ada anak-anak yang gagal ‘meraih hasil maksimal’ sulit untuk dihindari.

Meraih hasil maksimal yang saya maksud di sini bukan berarti setiap siswa harus meraih nilai 100, tetapi lebih kepada kemampuan mereka untuk mengeluarkan kemampuan maksimalnya.

Setelah bergelut di bidang pendidikan selama beberapa tahun, saya menemukan fakta yang selalu berulang setiap tahunnya, yaitu ada sebagian siswa yang tidak bisa mengeluarkan kemampuan maksimalnya. Akhirnya berefek pada prestasi akademik maupun non akademiknya.

Kita dapat membuat sebuah perumpamaan bagi anak-anak seperti ini. Mereka seperti mobil sport dengan tenaga yang sangat besar, tetapi pengendaranya hanya menggunakan sedikit sekali kemampuan mobil tersebut. Sehingga tenaganya yang begitu besar hanya bisa dibanggakan sebagai sebuah fakta, tetapi kemampuannya yang besar itu jadi ‘mandul’ karena tidak dimanfaatkan dengan baik.

Kondisi seperti ini selalu saja membuat saya resah dan bertanya-tanya, kenapa anak tersebut tidak dapat mengeluarkan kemampuan maksimalnya?

Saya mencoba menganalisis penyebab utamanya. Ada beberapa hal yang menurut saya memiliki andil besar terhadap performa peserta didik tersebut. Secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu lingkungan sekolah dan lingkungan luar sekolah.

Jika kita memberikan peringkat pada hal-hal yang memiliki andil besar bagi seorang murid terkait lingkungan sekolah, maka kepribadian guru adalah hal yang menempati posisi pertama.

Kita mungkin masih ingat ketika masih duduk di bangku sekolah, kita akan lebih mudah memahami pelajaran jika gurunya asik dan punya gaya mengajar yang menyenangkan.

Kehadiran guru tersebut dihadiahi teriakan “Horeee”, “Yeeeey”, “Asiiiik”, dan lain sebagainya. Sedangkan ketidakhadirannya menimbulkan keluhan berupa “Yaaaah” yang sangat mendalam sebagai bentuk kekecewaan.

Hal sebaliknya terjadi jika guru yang mengajarnya sama sekali tidak menyenangkan. Seringnya marah-marah, sehingga murid-murid dihantui ketakutan selama pelajaran berlangsung. Bahkan hanya untuk sekadar izin ke toilet. Guru seperti ini biasanya dijuluki guru 'killer'.

Jika kita perhatikan, kelas yang diajar dengan tipikal guru 'killer' memang terlihat sangat tertib dan kondusif. Anak-anak duduk dengan rapi dan terlihat memperhatikan apa yang diajarkan.

Tetapi apakah kondisi tersebut berbanding lurus dengan prestasi yang dicapai? Jika melihat prestasi akademik, kemungkinan besarnya murid-murid bisa mencapai nilai yang cukup baik, bahkan sebagian ada yang sangat baik.

Masalahnya pendidikan tidak hanya tentang nilai dan prestasi akademik lainnya. Lebih penting lagi, pendidikan berkaitan dengan pembentukan kepribadian.

Apakah kondisi kelas yang ‘menakutkan’ dapat berakibat baik pada pembentukan kepribadian anak? Jawabannya tentu saja tidak. Anak butuh tempat yang aman dan nyaman agar prestasinya di bidang akademik dan non-akademik dapat berkembang dengan maksimal. Dan hal itu dapat dicapai di dalam kelas yang menyenangkan.

Tanpa antusiasme, kegiatan bersekolah hanyalah sebuah kisah berjudul ‘rutinitas’.

Yang menduduki peringkat kedua adalah kepribadian teman-temannya. Sekolah terbaik adalah sekolah yang memiliki lingkungan pertemanan saling mendukung.

Hal yang paling merusak diri siswa dari hubungan pertemanan adalah perilaku bullying. Sekali perilaku tersebut membudaya di sekolah, maka dapat dipastikan akan selalu ada anak yang tidak mampu mencapai performa terbaiknya.

Efek bullying ini memang sangat kejam, dia tidak mengambil nyawa seseorang, tetapi mematikan kepribadian seseorang.

Pada sebuah kesempatan, saya melakukan refleksi bersama para siswa di dalam kelas. Saya mengajukan sebuah pertanyaan, "Apakah kalian semua ingin menjadi anak-anak yang hebat?"

Semuanya menjawab "ya". Maka saya katakan kepada mereka, "Mulai hari ini, hilangkan kebiasaan meledek teman! Karena kebiasaan itu membunuh kemampuan temanmu".

Foto: pixabay.com/Gerd Altmann
Foto: pixabay.com/Gerd Altmann

Saya memberikan sebuah contoh nyata yang terjadi di kelas itu. Ada seorang anak yang nilainya rata-rata di bawah standar minimal (KKM). Kebetulan anaknya sedang tidak masuk. Lalu saya tanya kepada para siswa di kelas, "Apa yang bagus dari anak –yang tidak masuk– ini? Gambarnya" jawab mereka serempak.

"Apakah kalian suka meledek gambarnya?" sambung saya. Dengan serempak pula mereka jawab, "Tidaaaaak".

Dapat dibayangkan jika kebiasaan mem-bully lenyap dari sekolah-sekolah kita. Dapat dipastikan, setiap anak akan lebih mudah mengembangkan potensinya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama bertahun-tahun saya selalu menemukan anak yang memiliki potensi dalam suatu bidang tetapi merasa malu atau takut mengembangkannya karena takut di-bully teman-temannya. Khususnya bagi siswa dengan kepribadian introvert. Mereka membutuhkan rasa aman dan nyaman yang lebih besar.

Faktor lainnya yang menempati peringkat ketiga adalah sarana dan prasarana.

Idealnya, sekolah harus memiliki sarana dan prasarana pendukung sejumlah siswa yang membutuhkannya. Tetapi tentu saja hal ini sulit diwujudkan karena sangat erat hubungannya dengan anggaran. Setiap sekolah memiliki anggaran yang terbatas. Kalaupun anggarannya tersedia, sekolah akan dibenturkan dengan keterbatasan lahan ataupun hal-hal lainnya.

Contoh sederhananya seperti ini, di sekolah tempat saya mengajar, sebagian siswa memiliki antusiasme untuk bermain sepakbola. Setidaknya setiap kelas ada lima orang siswa laki-laki yang suka bermain sepakbola. Setiap angkatan ada 8 kelas. Total seluruh angkatan dari kelas 1-6 ada 48 kelas.

Jika setiap kelas ada lima siswa yang suka bermain sepakbola, maka total penyuka sepakbola dari seluruh angkatan adalah 240 siswa.

Para siswa ini berlomba-lomba menuju lapangan ketika bel istirahat berbunyi. Tak jarang mereka merelakan untuk tidak makan terlebih dahulu asal mereka bisa mendapatkan kesempatan bermain sepakbola.

Jika seluruh penyuka sepakbola di atas dibagi dengan kebutuhan sejumlah pemain sepakbola dalam setiap pertandingan (22 orang), maka seharusnya sekolah kami membutuhkan 11 lapangan sepakbola untuk mendukung minat mereka.

Dapatkah anda bayangkan sebuah sekolah dengan 11 lapangan sepakbola? Sudah pasti itu bukan hal yang sederhana. Apalagi jika sekolah tersebut berada di lingkungan yang sangat padat.

Sarana yang kami miliki saat ini hanya mampu menampung 36% dari jumlah mereka. Artinya ada 64% penyuka sepakbola yang kurang tertampung minatnya.

Hal tersebut kami siasati dengan membuka ektrakurikuler sepakbola dan futsal. Dengan agenda latihan terjadwal diharapkan dapat memenuhi hasrat semua penyuka sepakbola.

Tetapi apakah kemudian semua siswa tersebut dapat mengembangkan minatnya dengan baik? Sulit untuk memberikan jawaban "ya". Karena ada sebagian siswa yang tidak bisa mengembangkan potensinya di luar jadwal latihan ektrakurikuler. Artinya ia memiliki jam terbang yang lebih sedikit dan pada akhirnya berdampak pada tingkat pencapaiannya.

Tentu saja, sebagaimana kita ketahui bahwa tidak akan ada sekolah yang sempurna. Yang harus dilakukan adalah mengetahui potensi anak dengan jelas kemudian menyekolahkannya di tempat yang tepat.

***

Untuk pembahasan berikutnya, kita lanjut nanti di Part II. Sampai jumpa lagi!

Salam hangat,

Bogor, 12 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun