Mohon tunggu...
Muhammad
Muhammad Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Berbagi gagasan untuk kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Budi dan Joni Bicara Tentang Negara

21 Januari 2019   15:16 Diperbarui: 21 Januari 2019   15:16 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Julie Rotter on unsplash.com

Budi dan joni sudah hidup sebelum presiden versi terakhir menjabat. Bagi mereka, presiden dan barang-barang dari Cina tak jauh berbeda, dua-duanya sama-sama dibutuhkan. Tapi kebutuhan mereka terhadap barang-barang Cina dengan kebutuhan mereka terhadap presiden jelas jauh berbeda. Presiden kan bukan barang Cina yang bisa "dipakai", beda kasusnya dengan artis yang lagi ngetop belakangan ini, yang memang berstatus "bispak" (bisa pakai, julukan lain dari sundal). 

Barang Cina mereka pakai sesuai kebutuhan, lalu presiden mereka butuhkan untuk apa? Sebagai kebanggaan? Tentu tidak. Kan sudah dikatakan, mereka anggap presiden dan barang Cina sama saja, tak ada kebanggaan pada barang-barang Cina. Meskipun harganya mahal, saat tahu barang itu produk Cina, martabatnya langsung amblas. Itulah sebabnya Budi dan Joni tidak pernah membanggakan handphone yang baru mereka beli, karena takut harga diri ikutan amblas bersama merk handphone buatan Cina.

Bagi mereka, presiden dibutuhkan untuk dijadikan "kambing hitam". Bukan maksud Budi dan Joni menganggap presiden seperti kambing, apalagi berwarna hitam. Tahu sendiri kan, kambing berwarna hitam tak sedap dipandang. Ya masa presiden disamakan kambing berwarna hitam, walaupun banyak yang merasa tak sedap saat memandang presiden yang fotonya ada di mana-mana, tak perlulah presiden disamakan dengan kambing hitam. Sudahlah banyak yang menyamakannya dengan hewan amfibi, sekarang mau disamakan pula dengan kambing hitam. Sebenarnya salah apa presiden yang satu itu, ya kok banyak sekali yang membenci? 

Entah siapa yang mencetuskan istilah "kambing hitam", Budi dan Joni tidak pernah tahu. Mungkin Nabi. Bukankah dulu banyak Nabi yang berprofesi sebagai penggembala? Atau sebaliknya, banyak penggembala yang berprofesi sebagai Nabi? Jadi mungkin saja istilah itu dicetuskan oleh Nabi yang seorang penggembala atau penggembala yang seorang Nabi.

Mungkin suatu hari si Nabi merasa muak dengan kelakuan kambingnya yang suka berak dan kencing sembarangan, suka merusak kebun orang lain, suka makan tanaman bunga milik tetangga, suka masuk rumah tetangga, suka pacaran sama tetangga... Uppss, yang terakhir gak mungkin dilakuin sama kambing. Itu mungkin dilakuin sama kamu hehehe

Kebetulan kambing yang tidak berbudi luhur dan tidak berjiwa Pancasila itu berwarna hitam. Pemiliknya yang seorang Nabi memarahinya setiap hari. Apapun masalah yang terjadi, kambing hitam itu selalu dianggap sebagai pelakunya. Kalau ada tetangga melapor bahwa di halamannya ada tai atau air kencing kambing, si Nabi menyalahkan kambing hitam. Kalau ada kebun yang rusak, si Nabi menyalahkan kambing hitam. Kalau ada tanaman bunga tetangga amburadul, si Nabi menyalahkan kambing hitam. Kalau ada rumah tetangga berantakan, si Nabi menyalahkan kambing hitam. Kalau ada anak tetangga hamil di luar nikah, kambing hitam pun turut disalahkan, padahal pelakunya kamu... hahaha

Bertahun-tahun kemudian, kambing hitam harus menemui ajalnya secara paksa, dipenggal oleh pemiliknya setelah melakukan kesalahan besar, berak dan kencing di tempat tidur si Nabi. Jenazah kambing hitam tak meninggalkan bekas. Kambing hitam harus berakhir sebagai kambing guling dan sejarahnya berakhir di septic tank. Tulangnya dilemparkan begitu saja ke kebun tak bertuan. Sebagai sebuah "penghargaan", kambing hitam diabadikan, dijadikan istilah bagi apapun yang disalahkan. Hingga Budi dan Joni pun ikut menggunakannya, disematkan kepada sang presiden. 

***

Hari itu Budi dan Joni bertemu di tempat biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Keduanya adalah profesional muda yang sarat pengalaman, sudah tahunan malang melintang di dunia pengangguran. Bisa melanjutkan hidup karena sedekah dari istri. Itulah kelebihan keduanya, meski pengangguran, tapi keduanya sudah beristri. Maklumlah, keduanya memang cukup lumayan secara tampang. Untuk ukuran standar di kampungnya, poin lima sampai enam bisa didapatkan kalau diadakan penilaian tampang. Tak sulit mendapatkan perempuan dengan poin satu sampai dua yang sudah bekerja. Bagi mereka berdua, istri cantik tidaklah penting, yang penting kebutuhan jasmani dan rohani terpenuhi. Maka saat Julaeha bilang kepada Budi dan Joni, kalau ada dua sahabatnya yang suka kepada mereka dan siap dinikahi, Budi dan Joni langsung mengiyakan dengan satu syarat, semua biaya pernikahan ditanggung mempelai wanita. Kedua sahabat Julaeha tak menolak, malah merasa sangat senang sebab cintanya tak ditolak. Jadilah sekarang Budi beristri Sumarni dan Joni beristri Sulastri.

Sumarni dan Sulastri sudah bekerja sebelum menikah dengan Budi dan Joni, sehingga mereka jadi donatur tetap bagi masing-masing suaminya yang pengangguran itu. 

Lalu, sehari-hari apa yang dilakukan Budi dan Joni? Alih-alih mencari pekerjaan, mereka malah lebih senang menunggu pekerjaan sambil mancing di danau yang letaknya tak seberapa jauh dari rumah mereka. "Rezeki tidak pernah ketuker," adalah dalih yang sering mereka gunakan. 

Siang itu Budi dan Joni terlihat sedang mancing di danau. Sudah sejak jam sepuluh pagi mereka di sana, tapi belum satu pun ikan didapat. Mungkin ikan sedang malas-malasan di cuaca seterik itu, pikir mereka. Atau mungkin ikan tak suka makan cacing, benar-benar menjengkelkan. 

Hari itu memang tidak seperti biasanya. Hari itu mereka terpaksa mencari cacing untuk dijadikan umpan. Tadi pagi mereka berdua tidak dapat jatah uang jajan seperti biasanya. "Harga barang-barang sering naik mendadak, kita harus berhemat," kata kedua istri mereka dengan kompak. Padahal kedua keluarga itu tinggal di rumah berbeda. Seakan kedua istri itu sempat latihan bersama sebelum mengucapkannya kepada suami masing-masing. 

Biasanya dengan uang jajan dari istri masing-masing, Budi dan Joni patungan untuk membeli berbagai macam campuran bahan umpan agar menarik nafsu makan ikan. Tak jarang total harga berbagai bahan campuran itu lebih mahal daripada harga bahan makanan keluarga mereka untuk makan 3 kali sehari. Begitulah kalau sudah hobi, berapapun harganya tetap diladeni. 

"Sialan," makian pertama muncul dari mulut Joni. Tak lain dan tak bukan, sudah pasti ditujukan kepada presiden yang bagi mereka memiliki status tambahan, selain sebagai pemimpin negara, juga sebagai kambing hitam atas berbagai masalah. 

"Sue emang tuh presiden, udah mau diganti aja masih suka bikin ulah," sambung Budi. Keduanya sedang ngudek-ngudek lumpur, berusaha menangkap cacing yang selalu berhasil kabur.

"Kira-kira lawannya bisa menang gak, Bud?" tanya Joni sambil memeriksa sekeliling betisnya yang terpendam di dalam lumpur, sebab kadang ada lintah yang tak sungkan menghisap darah manusia. 

"Gua sih pengennya bisa, Jon. Tapi susah, Jon. Saingannya berat, kan cebong bisa nguasain air dan darat. Kampret mana bisa nguasain air, berenang aja gak bisa," jawab Budi sambil memasukkan seekor cacing ke dalam plastik. Lumayan untuk dijadikan umpan, walaupun cuma setengah badah cacing, sebab setengahnya lagi putus dan melarikan diri saat buntutnya sudah tertangkap. 

"Kelelawar kan bisa nguasain darat dan udara, Bud. Waktu perang dunia II, Jepang bisa menang lawan Belanda soalnya mereka serang Belanda lewat udara, Bud," sahut Joni sambil menolehkan kepalanya ke arah Budi. Sebenarnya Joni ragu dengan perkataannya. Sejak SD dia tak pernah suka pelajaran Sejarah. "Ngapalin nama keluarga besar aja susah, ngapain repot-repot ngapalin nama-nama orang lain," alasannya sejak dulu. 

"Tapi akhirnya Jepang kalah, Jon. Siapa yang tahu senjata rahasia cebong. Jangan jangan sekali beraksi, semua makhluk sebangsa kampret bisa musnah dari muka bumi," cerocos Budi dengan cepat. Joni mendengarkan dengan khidmat, heran dengan temannya yang hari itu terlihat lebih cerdas. Padahal biasanya menemukan perbedaan antara istrinya dengan monyet betina saja tidak bisa. Bagi Budi, keduanya sama saja, sama-sama memiliki poin satu untuk tampangnya. Untungnya ketika Budi menikah tidak ada temannya yang iseng menukar istrinya dengan seekor monyet betina, pastinya Budi tidak akan tahu, kecuali ketika ritual "malam pertama". Karena saat ritual itu dilakukan, Budi tak hanya menemukan bulu di kemaluan istrinya, tapi juga di sekujur tubuhnya. 

Budi dan Joni kembali khusyu mengudek-udek lumpur. Satu jam setelahnya, empat lima potong badan cacing sudah tersimpan dalam plastik. Mereka berdua naik ke pematang sawah, keluar dari lumpur, lalu sama-sama kaget saat melihat seekor lintah menempel di setiap kaki mereka. Lintah-lintah itu sudah gemuk-gemuk, sehingga terlihat seperti balon panjang yang menggelembung bagian tengahnya. 

Budi dan Joni melakukan balas dendam, setiap lintah dibalik kulitnya menggunakan ranting bambu. Tak sulit menemukan ranting bambu di sana. Banyak pemilik empang sengaja meletakkan ranting bambu untuk menangkal pencuri ikan. Ranting bambu sudah didapat, pembalasan dilakukan. Lintah ditusuk dari lubang bagian kepalanya sampai tembus ke lubang anusnya, maka terbaliklah kulit lintah-lintah itu dan memperlihatkan darah yang telah mereka hisap di sekujur permukaan kulit --bagian dalam yang sekarang ada di luar. Setelah lintah-lintah itu terlihat seperti sate, pangkal bambu ditancapkan di pematang, lalu lintah-lintah itu dibiarkan mati secara perlahan dengan kondisi kulit terbalik --bagian dalam ada di luar, bagian luar ada di dalam. 

Budi dan Joni tersenyum puas. Mereka berjalan beriringan menuju danau. Bersiap melakukan ritual harian sampai menjelang malam. Sempat terbesit di pikiran mereka masing-masing, "Harusnya presiden yang menyusahkan rakyatnya mengalami hal yang sama seperti lintah-lintah itu".

***

Nb: Cerita ini hanya karangan penulis semata. Jika ditemukan kemiripan/kesamaan tokoh dan jalan cerita, mungkin Anda terlalu serius membacanya :D

*** @just.muhammad ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun