Mohon tunggu...
Muhammad
Muhammad Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Berbagi gagasan untuk kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Budi dan Joni Bicara Tentang Negara

21 Januari 2019   15:16 Diperbarui: 21 Januari 2019   15:16 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Julie Rotter on unsplash.com

Siang itu Budi dan Joni terlihat sedang mancing di danau. Sudah sejak jam sepuluh pagi mereka di sana, tapi belum satu pun ikan didapat. Mungkin ikan sedang malas-malasan di cuaca seterik itu, pikir mereka. Atau mungkin ikan tak suka makan cacing, benar-benar menjengkelkan. 

Hari itu memang tidak seperti biasanya. Hari itu mereka terpaksa mencari cacing untuk dijadikan umpan. Tadi pagi mereka berdua tidak dapat jatah uang jajan seperti biasanya. "Harga barang-barang sering naik mendadak, kita harus berhemat," kata kedua istri mereka dengan kompak. Padahal kedua keluarga itu tinggal di rumah berbeda. Seakan kedua istri itu sempat latihan bersama sebelum mengucapkannya kepada suami masing-masing. 

Biasanya dengan uang jajan dari istri masing-masing, Budi dan Joni patungan untuk membeli berbagai macam campuran bahan umpan agar menarik nafsu makan ikan. Tak jarang total harga berbagai bahan campuran itu lebih mahal daripada harga bahan makanan keluarga mereka untuk makan 3 kali sehari. Begitulah kalau sudah hobi, berapapun harganya tetap diladeni. 

"Sialan," makian pertama muncul dari mulut Joni. Tak lain dan tak bukan, sudah pasti ditujukan kepada presiden yang bagi mereka memiliki status tambahan, selain sebagai pemimpin negara, juga sebagai kambing hitam atas berbagai masalah. 

"Sue emang tuh presiden, udah mau diganti aja masih suka bikin ulah," sambung Budi. Keduanya sedang ngudek-ngudek lumpur, berusaha menangkap cacing yang selalu berhasil kabur.

"Kira-kira lawannya bisa menang gak, Bud?" tanya Joni sambil memeriksa sekeliling betisnya yang terpendam di dalam lumpur, sebab kadang ada lintah yang tak sungkan menghisap darah manusia. 

"Gua sih pengennya bisa, Jon. Tapi susah, Jon. Saingannya berat, kan cebong bisa nguasain air dan darat. Kampret mana bisa nguasain air, berenang aja gak bisa," jawab Budi sambil memasukkan seekor cacing ke dalam plastik. Lumayan untuk dijadikan umpan, walaupun cuma setengah badah cacing, sebab setengahnya lagi putus dan melarikan diri saat buntutnya sudah tertangkap. 

"Kelelawar kan bisa nguasain darat dan udara, Bud. Waktu perang dunia II, Jepang bisa menang lawan Belanda soalnya mereka serang Belanda lewat udara, Bud," sahut Joni sambil menolehkan kepalanya ke arah Budi. Sebenarnya Joni ragu dengan perkataannya. Sejak SD dia tak pernah suka pelajaran Sejarah. "Ngapalin nama keluarga besar aja susah, ngapain repot-repot ngapalin nama-nama orang lain," alasannya sejak dulu. 

"Tapi akhirnya Jepang kalah, Jon. Siapa yang tahu senjata rahasia cebong. Jangan jangan sekali beraksi, semua makhluk sebangsa kampret bisa musnah dari muka bumi," cerocos Budi dengan cepat. Joni mendengarkan dengan khidmat, heran dengan temannya yang hari itu terlihat lebih cerdas. Padahal biasanya menemukan perbedaan antara istrinya dengan monyet betina saja tidak bisa. Bagi Budi, keduanya sama saja, sama-sama memiliki poin satu untuk tampangnya. Untungnya ketika Budi menikah tidak ada temannya yang iseng menukar istrinya dengan seekor monyet betina, pastinya Budi tidak akan tahu, kecuali ketika ritual "malam pertama". Karena saat ritual itu dilakukan, Budi tak hanya menemukan bulu di kemaluan istrinya, tapi juga di sekujur tubuhnya. 

Budi dan Joni kembali khusyu mengudek-udek lumpur. Satu jam setelahnya, empat lima potong badan cacing sudah tersimpan dalam plastik. Mereka berdua naik ke pematang sawah, keluar dari lumpur, lalu sama-sama kaget saat melihat seekor lintah menempel di setiap kaki mereka. Lintah-lintah itu sudah gemuk-gemuk, sehingga terlihat seperti balon panjang yang menggelembung bagian tengahnya. 

Budi dan Joni melakukan balas dendam, setiap lintah dibalik kulitnya menggunakan ranting bambu. Tak sulit menemukan ranting bambu di sana. Banyak pemilik empang sengaja meletakkan ranting bambu untuk menangkal pencuri ikan. Ranting bambu sudah didapat, pembalasan dilakukan. Lintah ditusuk dari lubang bagian kepalanya sampai tembus ke lubang anusnya, maka terbaliklah kulit lintah-lintah itu dan memperlihatkan darah yang telah mereka hisap di sekujur permukaan kulit --bagian dalam yang sekarang ada di luar. Setelah lintah-lintah itu terlihat seperti sate, pangkal bambu ditancapkan di pematang, lalu lintah-lintah itu dibiarkan mati secara perlahan dengan kondisi kulit terbalik --bagian dalam ada di luar, bagian luar ada di dalam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun