Fakta Kasus
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta, pada 2016 terjerat kasus hukum terkait tuduhan penistaan agama. Saat berpidato di Kepulauan Seribu, Ahok menyebutkan bahwa ada pihak yang menggunakan Al-Qur'an, khususnya Surah Al-Maidah ayat 51, untuk mempengaruhi pemilih agar tidak memilih pemimpin non-Muslim. Pernyataan ini kemudian dianggap sebagai penistaan agama oleh sejumlah kelompok masyarakat, yang berujung pada Ahok dijerat Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama. Ahok dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun pada 9 Mei 2017.
Perspektif Positivisme Hukum
Dari sudut pandang positivisme hukum, kasus Ahok dapat dianalisis sebagai berikut:
a. Hukum sebagai Produk Positif Negara
Dari sudut pandang positivisme hukum, Pasal 156a KUHP adalah aturan yang sah karena dibuat oleh otoritas yang berwenang dan ditetapkan melalui proses legislasi. Menurut positivisme hukum, karena aturan ini ada dalam perundang-undangan, ia harus ditegakkan tanpa memperdebatkan kebenaran moralnya. Ahok, sebagai warga negara, harus mematuhi aturan hukum yang ada, terlepas dari apakah dia merasa apa yang dia katakan bermaksud baik atau tidak.
b. Penegakan Hukum yang Objektif
Dalam positivisme hukum, aparat penegak hukum, dalam hal ini jaksa dan hakim, seharusnya memutuskan kasus ini berdasarkan interpretasi literal dari aturan hukum yang ada. Moralitas atau motif di balik perkataan Ahok tidak relevan dalam hal ini, yang relevan adalah apakah tindakannya sesuai atau melanggar ketentuan hukum. Jika Pasal 156a menyebutkan bahwa tindakan penodaan agama adalah ilegal, maka Ahok telah melanggar hukum, dan hukum harus ditegakkan.
c. Hukum Terpisah dari Moralitas
Filsafat hukum positivisme menegaskan bahwa hukum tidak harus selaras dengan moralitas. Dalam kasus ini, banyak pendukung Ahok berargumen bahwa pernyataan Ahok tidak dimaksudkan untuk menodai agama dan bahkan ada yang berpendapat bahwa tidak ada unsur penistaan agama di dalamnya. Namun, dari sudut pandang positivisme hukum, hal ini tidak relevan. Yang penting adalah apakah perkataan Ahok melanggar hukum positif yang ada, yaitu Pasal 156a KUHP. Hakim dalam kasus ini memutuskan bahwa unsur-unsur pasal tersebut terpenuhi, dan karenanya Ahok dijatuhi hukuman.
d. Kepastian Hukum
Positivisme hukum juga menekankan pentingnya kepastian hukum. Dalam konteks kasus Ahok, dengan adanya Pasal 156a KUHP, ada kejelasan bahwa pernyataan yang dianggap menistakan agama merupakan tindak pidana. Dalam positivisme, kepastian hukum ini memberikan prediktabilitas bagi warga negara mengenai tindakan apa yang dilarang dan konsekuensi hukumnya.
Kelemahan Analisis Positivisme
Kritik terhadap pendekatan positivisme dalam kasus ini adalah bahwa ia mengabaikan konteks sosial dan moral yang lebih luas. Banyak yang berargumen bahwa hukum seharusnya tidak hanya dipahami secara kaku, tetapi juga dalam konteks maksud dan interpretasi sosial. Dalam pandangan para pendukung hukum alam misalnya, hukum harus sesuai dengan moralitas dan keadilan, dan mereka mungkin berpendapat bahwa menghukum Ahok bertentangan dengan rasa keadilan karena maksud sebenarnya dari pernyataannya tidak bermaksud merendahkan agama. Namun, bagi positivis hukum, diskusi moralitas ini tidak relevan dalam penegakan hukum yang telah disahkan oleh otoritas.
Kesimpulan
Dari perspektif positivisme hukum, putusan terhadap Ahok dapat dilihat sebagai penerapan yang sah dari hukum yang ada, tanpa mempertimbangkan moralitas atau maksud dari tindakannya. Hukum sebagai produk negara harus ditegakkan secara konsisten, dan tindakan Ahok memenuhi unsur-unsur pelanggaran Pasal 156a KUHP.
Mazhab Hukum Positivism
Mazhab hukum positivisme adalah aliran filsafat hukum yang memiliki beberapa pandangan, di antaranya:
- Hukum merupakan perintah yang berdaulat, sehingga akan tercipta kepastian hukum.
- Hukum positif harus dipisahkan secara tegas dari hukum yang seharusnya, sehingga antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya dapat dibedakan.
- Hukum yang tertulis sangat diagungkan karena diyakini bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif.
- Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat.
Mazhab hukum positivisme muncul pada abad XVIII-XIX dan berkembang di Eropa Kontinental, khususnya Prancis. Di Indonesia, pemikiran positivisme hukum masuk pada masa pemerintahan jajahan Belanda di Hindia-Belanda.
Tokoh-tokoh yang mendapatkan penekanan fundamental dalam mazhab hukum positivisme adalah John Austin dan Hans Kelsen.
Argumen Tentang Mazhab Hukum Positivisme dalam hukum di Indonesia
Mazhab hukum positivisme memiliki pengaruh yang erat terhadap perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia, namun juga mendapatkan beberapa kritik:
pengaruh: Indonesia menerapkan norma-norma yang dipositifkan dan diwujudkan dalam undang-undang untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Masuknya Pemikiran Phukum positivisme merupakan aliran dalam filsafat hukuositivisme: Pemikiran positivisme hukum masuk ke Indonesia karena adanya upaya unifikasi hukum pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Kritik: Positivisme hukum dianggap gagal membedakan antara aturan dan prinsip. Selain itu, beberapa kritikus menunjukan bahwa para pengacara tidak setuju tentang apa yang dianggap sebagai hukum.
Alternatif: Hukum Progresif dapat menjadi alternatif untuk mengatasi cara-cara penegakan hukum yang legalistik hitam putih.
Mazhab hukum positivisme merupakan aliran dalam filsafat hukum yang berpandangan bahwa hukum adalah perintah yang berdaulat dan tidak berkaitan dengan moral, etika, dan keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H