Kepergian STY adalah momen yang penuh risiko sekaligus peluang. Di satu sisi, keputusan ini bisa memutus momentum positif yang telah dirintis, terutama dengan pendekatan modern dan filosofi permainan progresif yang dibawa Shin Tae-yong. Namun, di sisi lain, ini juga menjadi peluang bagi PSSI untuk menemukan sosok baru yang mampu menyempurnakan fondasi yang sudah dibangun, sekaligus membawa Timnas Indonesia ke level berikutnya.
Risikonya jelas, transisi yang tidak mulus dapat merusak stabilitas tim, baik dari segi taktik maupun psikologis. Para pemain yang telah terbiasa dengan metode dan gaya kepemimpinan STY mungkin membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan pelatih baru. Apalagi, tantangan besar seperti Kualifikasi Piala Dunia 2026 dan Piala Asia 2027 sudah di depan mata, sehingga proses adaptasi yang lambat bisa berdampak pada performa tim secara keseluruhan.
Namun, di balik risiko itu, ada peluang besar jika PSSI mampu menunjuk pelatih dengan visi yang sejalan atau bahkan lebih progresif. Pelatih baru bisa membawa perspektif segar, strategi berbeda, dan pendekatan baru yang mungkin lebih efektif dalam menghadapi lawan-lawan berat di Asia. Selain itu, pergantian ini juga bisa menjadi momen evaluasi menyeluruh bagi PSSI untuk memperkuat sistem pendukung tim, termasuk pembinaan pemain muda, fasilitas, dan kompetisi domestik.
Yang terpenting, pergantian ini harus dilakukan dengan perencanaan matang dan dukungan penuh dari semua pihak, termasuk pemain, staf, dan suporter. Sebab, tanpa dukungan kolektif, perubahan ini berisiko menjadi langkah mundur bagi sepak bola Indonesia.
Kini, beban ada di pundak PSSI untuk memastikan bahwa momen ini bukan hanya sekadar peralihan pelatih, tetapi juga titik awal dari transformasi besar yang membawa Timnas Indonesia lebih dekat ke impian besar, tampil di Piala Dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H