"Dalam beberapa tahun terakhir, istilah hustle culture menjadi simbol kehidupan modern, bekerja keras, lembur, dan mengejar produktivitas tanpa henti."
Budaya ini mengagungkan kesibukan sebagai tanda kesuksesan, dengan slogan seperti "grind now, shine later" yang menggema di media sosial. Kalender penuh, jam kerja panjang, dan waktu istirahat yang minim dianggap sebagai kebanggaan, seolah-olah hidup kita hanya dinilai dari seberapa banyak hal yang dapat dicapai dalam waktu singkat.
Namun, di balik semangat tinggi ini, ada sisi gelap yang sering diabaikan. Banyak individu mulai merasa terjebak dalam lingkaran kelelahan, kehilangan makna hidup, dan jauh dari keseimbangan emosional. Burnout menjadi epidemi, sementara kebahagiaan sejati tampak semakin sulit digapai.Â
Di sinilah muncul dorongan untuk melawan arus dan mencari cara hidup yang lebih manusiawi: soft living.
Soft living adalah pendekatan hidup yang mengutamakan kualitas hidup daripada kuantitas hasil. Gaya hidup ini mengajak kita untuk memperlambat ritme, menikmati momen kecil, dan melepaskan tekanan untuk selalu produktif. Di tengah budaya yang sering mengukur nilai diri dari pencapaian, soft living menawarkan perspektif berbeda, hidup bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi juga tentang bagaimana kita merasa dan menikmati prosesnya.
Pendekatan ini bukan berarti menyerah pada ambisi atau berhenti bekerja keras, melainkan belajar untuk hidup dengan lebih sadar dan penuh keseimbangan. Alih-alih membanjiri hari dengan daftar tugas yang panjang, soft living mendorong kita untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, baik itu waktu bersama keluarga, menjaga kesehatan, atau sekadar menikmati kesenangan sederhana seperti membaca buku favorit atau berjalan di taman.
Mengapa Soft Living Jadi Idaman?
Salah satu alasannya adalah kelelahan yang ditimbulkan oleh hustle culture. Banyak orang merasa terjebak dalam lingkaran tanpa akhir antara pekerjaan, tuntutan sosial, dan ekspektasi diri yang tidak realistis. Kondisi ini menyebabkan burnout, kecemasan, dan berkurangnya kepuasan hidup. Soft living muncul sebagai solusi untuk mengembalikan keseimbangan, memberikan ruang bagi istirahat, dan memprioritaskan kesejahteraan pribadi.
Pandemi juga menjadi salah satu pemicu perubahan ini. Ketika banyak orang dipaksa untuk melambat selama lockdown, mereka mulai menyadari bahwa hidup yang terlalu sibuk sering kali membuat mereka kehilangan momen-momen penting dalam hidup. Fokus bergeser dari mengejar status dan kesuksesan material menjadi pencarian kebahagiaan yang lebih sederhana dan bermakna.