"Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Januari 2025 menandai tonggak sejarah baru dalam politik Indonesia."
Dengan membatalkan aturan presidential threshold yang selama ini menjadi prasyarat pencalonan presiden dan wakil presiden, MK membuka jalan bagi semua partai politik peserta pemilu untuk bersaing secara setara. Keputusan ini tak hanya mengakhiri dominasi partai-partai besar, tetapi juga memperluas ruang demokrasi, memberikan peluang bagi lebih banyak figur pemimpin untuk tampil di panggung nasional.
Namun, seperti setiap perubahan besar, keputusan ini membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Di satu sisi, rakyat kini memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin yang beragam. Di sisi lain, sistem politik kita akan menghadapi tantangan baru dalam memastikan kompetisi yang adil, tertib, dan tidak merusak stabilitas pemerintahan.
Apakah Indonesia siap untuk memasuki era baru demokrasi ini?Â
Menghapus Ketimpangan, Membuka Peluang
Presidential threshold selama ini sering dianggap sebagai penghalang bagi partai-partai kecil untuk mengajukan calon. Dengan syarat minimal 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah nasional, partai-partai kecil sering kali dipaksa bergabung dalam koalisi yang didominasi oleh partai besar. Akibatnya, suara pemilih yang memilih partai-partai kecil kerap terpinggirkan, dan aspirasi politik mereka tidak sepenuhnya terwakili dalam kontestasi nasional.
Situasi ini menciptakan ketimpangan politik, di mana hanya segelintir partai dengan kekuatan besar yang mampu mengontrol proses pencalonan presiden. Dominasi ini tidak hanya membatasi pilihan pemilih, tetapi juga mempersempit ruang diskusi ide dan gagasan alternatif yang lebih inovatif untuk memajukan negara.
Tantangan Baru: Banyak Wajah di Surat Suara
Namun, penghapusan threshold juga menimbulkan tantangan. Dengan membuka peluang bagi semua partai untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, jumlah kandidat di pemilu mendatang berpotensi meningkat secara signifikan.Â
Hal ini dapat mempersulit pemilih untuk mengenali, memahami, dan membandingkan visi, misi, serta program kerja setiap pasangan calon. Bagi sebagian masyarakat yang belum memiliki literasi politik yang memadai, kondisi ini bisa menyebabkan kebingungan dan keputusan memilih yang kurang didasarkan pada pertimbangan rasional.