Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Quiet Quitting: Tanda Ketidakpuasan atau Kesadaran Baru?

28 Desember 2024   16:16 Diperbarui: 28 Desember 2024   16:16 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Quiet quitting (sumber gambar: sky news via unair.ac.id)


Istilah ini menggambarkan fenomena di mana karyawan memilih untuk membatasi kontribusi mereka hanya pada tugas-tugas yang sesuai dengan deskripsi pekerjaan, tanpa melakukan upaya ekstra yang tidak dihargai atau tidak dibayar. 

Meskipun terlihat sederhana, konsep ini memunculkan berbagai reaksi, dari dukungan terhadap pentingnya keseimbangan hidup hingga kekhawatiran mengenai komitmen dan produktivitas di tempat kerja.

Pandemi COVID-19 turut menjadi katalisator, mendorong banyak orang untuk mengevaluasi kembali hubungan mereka dengan pekerjaan. Generasi muda, terutama milenial dan Gen Z, menjadi kelompok yang paling vokal dalam mengadopsi dan membahas quiet quitting. 

Namun, apakah fenomena ini sekadar cerminan ketidakpuasan di tempat kerja, atau justru tanda adanya kesadaran baru terhadap prioritas hidup? 

Apa Itu Quiet Quitting?

Fenomena ini lebih mengacu pada upaya karyawan untuk menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Dalam praktiknya, quiet quitting berarti tetap menjalankan tanggung jawab utama sesuai deskripsi pekerjaan, tetapi tanpa merasa tertekan untuk selalu "menyenangkan" atasan atau perusahaan dengan kerja ekstra yang tidak dihargai.

Misalnya, seorang karyawan yang biasanya mengambil alih tugas rekan kerja tanpa kompensasi tambahan mungkin memilih untuk tidak melakukannya lagi. Begitu juga dengan mereka yang sebelumnya rela bekerja lembur atau menjawab email di luar jam kerja kini memutuskan untuk memprioritaskan waktu pribadi mereka.

Penyebab Quiet Quitting

Fenomena ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari budaya kerja yang tidak sehat hingga perubahan nilai dalam kehidupan masyarakat modern. Banyak karyawan merasa lelah dengan ekspektasi yang berlebihan, terutama ketika mereka tidak mendapatkan penghargaan yang sebanding. Lingkungan kerja yang penuh tekanan, kurangnya dukungan dari atasan, serta peluang karier yang terbatas juga menjadi penyebab utama.

Selain itu, perubahan pandangan terhadap pekerjaan, terutama di kalangan generasi muda, semakin memperkuat tren ini. Generasi milenial dan Gen Z lebih memilih untuk memprioritaskan keseimbangan hidup daripada sekadar bekerja keras demi kepentingan perusahaan. Pandemi COVID-19 pun mempercepat pergeseran ini, karena banyak orang mulai merenungkan makna hidup dan pentingnya menjaga kesehatan mental.

Dampak Quiet Quitting

Fenomena ini memiliki dampak positif dan negatif yang perlu dipahami oleh karyawan maupun perusahaan. Di sisi positif, quiet quitting membantu karyawan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan menetapkan batasan yang jelas, mereka dapat mengurangi stres, mencegah kelelahan kerja (burnout), dan memprioritaskan kesehatan mental. Selain itu, fenomena ini mendorong diskusi yang lebih luas tentang pentingnya budaya kerja yang sehat dan penghargaan yang adil bagi tenaga kerja.

Namun, di sisi lain, quiet quitting juga dapat menimbulkan konsekuensi negatif, terutama bagi dinamika tim dan produktivitas perusahaan. Jika terlalu banyak karyawan yang mengadopsi sikap ini tanpa ada solusi sistemik, beban kerja yang tidak terselesaikan dapat mengganggu operasional dan memberikan tekanan tambahan pada anggota tim lainnya. Dari sudut pandang manajemen, fenomena ini juga dapat menimbulkan persepsi bahwa karyawan kurang memiliki motivasi atau komitmen terhadap tujuan perusahaan.

Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan?

Perusahaan harus lebih peka terhadap kebutuhan karyawan dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan antara tanggung jawab profesional dan kehidupan pribadi. Memberikan penghargaan yang adil, baik dalam bentuk kompensasi finansial maupun pengakuan, menjadi langkah penting untuk meningkatkan motivasi dan loyalitas karyawan. Selain itu, fleksibilitas dalam jam kerja, seperti opsi bekerja dari rumah atau jadwal yang lebih fleksibel, dapat membantu karyawan merasa lebih dihargai dan didukung.

Penting juga bagi perusahaan untuk mendengarkan aspirasi dan keluhan karyawan melalui komunikasi terbuka. Dengan menciptakan saluran yang memungkinkan karyawan menyampaikan pendapat tanpa rasa takut, perusahaan dapat memahami kebutuhan mereka secara lebih mendalam dan mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kepuasan kerja. Pelatihan bagi manajer untuk mengenali tanda-tanda kelelahan atau ketidakpuasan juga dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan suportif.

Kesimpulan

Fenomena quiet quitting bukan semata-mata tanda ketidakpuasan, tetapi juga cerminan dari pergeseran nilai dan prioritas dalam dunia kerja modern. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan semakin sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dan kesehatan mental di tengah tuntutan pekerjaan yang sering kali berlebihan. Quiet quitting tidak selalu berarti kurangnya komitmen, melainkan usaha untuk menetapkan batasan yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Bagi perusahaan, fenomena ini menjadi pengingat bahwa cara mereka memperlakukan karyawan berdampak besar pada motivasi dan produktivitas. Dengan menciptakan budaya kerja yang menghargai kontribusi karyawan dan mendukung kesejahteraan mereka, quiet quitting dapat diubah menjadi peluang untuk membangun tim yang lebih kuat dan berkomitmen.

Di sisi lain, bagi individu, fenomena ini menyoroti pentingnya memperjuangkan hak atas waktu dan energi mereka. Dalam jangka panjang, pendekatan yang lebih seimbang terhadap pekerjaan dapat membawa manfaat besar, baik bagi karyawan maupun perusahaan. Fenomena ini bukan sekadar tren, tetapi refleksi dari perubahan mendasar dalam cara kita memandang pekerjaan dan prioritas hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun