Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya FOMO di Kalangan Anak Muda: Apa yang Sebenarnya Dicari?

19 Desember 2024   12:15 Diperbarui: 19 Desember 2024   12:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi budaya FOMO di Kalangan anak muda (sumber gambar: guruinovatif.id)

"Di era digital seperti sekarang, istilah FOMO atau Fear of Missing Out semakin akrab di telinga, terutama di kalangan anak muda."

Istilah ini menggambarkan rasa takut atau kecemasan yang muncul ketika seseorang merasa bahwa mereka sedang melewatkan sesuatu yang penting, menarik, atau menyenangkan yang sedang terjadi di tempat lain. Budaya ini semakin diperkuat dengan dominasi media sosial, di mana kehidupan orang lain sering kali terlihat begitu sempurna, penuh warna, dan jauh lebih menarik daripada kenyataan yang dialami sendiri.

Melalui layar ponsel, anak muda terus dibombardir oleh berbagai aktivitas, pencapaian, atau momen spesial yang dibagikan teman, selebriti, atau bahkan orang asing. Hal ini menciptakan tekanan tersendiri untuk selalu terlibat, selalu hadir, dan selalu menjadi bagian dari apa yang sedang tren. 

Namun, di balik kilauan dan gemerlapnya kehidupan digital, muncul pertanyaan penting: Apakah yang sebenarnya dicari dalam upaya tanpa henti untuk "tidak ketinggalan"? Dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan mental anak muda?

FOMO: Bukan Sekadar Tren, Tapi Fenomena Psikologis

FOMO bukanlah sekadar tren, melainkan sebuah fenomena yang memiliki akar psikologis mendalam. Perasaan takut ketinggalan ini sering kali berakar pada kebutuhan dasar manusia untuk merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok sosial. Dalam psikologi, kebutuhan akan koneksi sosial ini dikenal sebagai belongingness, yaitu dorongan untuk memiliki hubungan yang dekat dan bermakna dengan orang lain.

Namun, di era digital, kebutuhan tersebut berubah menjadi tekanan untuk terus terhubung dan memperlihatkan eksistensi di ruang virtual. Media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang menjalani hidup yang lebih menyenangkan, produktif, atau berkesan. Hal ini memicu rasa iri, cemas, dan ketidakpuasan terhadap kehidupan sendiri.

FOMO juga sering dikaitkan dengan fenomena social comparison, di mana seseorang secara tidak sadar membandingkan dirinya dengan orang lain yang terlihat lebih sukses atau bahagia. Akibatnya, muncul perasaan bahwa apa yang mereka lakukan belum cukup, dan mereka terus mencari cara untuk mengejar pengalaman, tren, atau pencapaian tertentu agar bisa memenuhi standar yang diciptakan oleh lingkungan sosialnya.

Apa yang Sebenarnya Dicari?

Ketika ditelaah lebih dalam, apa yang dicari oleh anak muda yang terjebak dalam budaya FOMO? Di balik segala upaya untuk "tidak ketinggalan," anak muda sebenarnya sedang mencari sesuatu yang lebih mendasar dari sekadar mengikuti tren atau menghadiri acara populer. Ada tiga hal utama yang sering menjadi dorongan di balik fenomena ini:

1. Koneksi dan Rasa Kebersamaan

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu mencari hubungan dengan sesama. Dalam budaya FOMO, anak muda berusaha menjaga hubungan sosialnya agar tetap relevan dan terlibat. Mereka merasa bahwa dengan ikut serta dalam aktivitas yang sama dengan teman-teman atau lingkungannya, mereka bisa memperkuat rasa kebersamaan dan menghindari perasaan tersisih.

2. Pengakuan dan Validasi

Di dunia yang semakin terhubung secara digital, banyak anak muda yang mencari pengakuan dari orang lain melalui aktivitas yang mereka bagikan di media sosial. Foto-foto dari acara tertentu, perjalanan, atau pencapaian pribadi sering kali diunggah bukan hanya untuk berbagi, tetapi juga untuk mendapatkan like atau komentar yang menunjukkan bahwa mereka dihargai dan diakui.

3. Pengalaman yang Berarti

Di balik kecemasan akan "ketinggalan," ada keinginan yang tulus untuk menjalani hidup dengan penuh makna. Anak muda ingin merasa bahwa mereka tidak melewatkan momen-momen penting dalam hidup, baik itu pengalaman baru, momen berharga bersama teman, atau kesempatan untuk berkembang. Sayangnya, dalam proses mengejar pengalaman ini, mereka sering kali terjebak dalam pola pikir bahwa semua hal harus dilakukan, yang pada akhirnya malah membuat mereka kelelahan secara emosional.

Dampak Budaya FOMO

Sayangnya, budaya FOMO tidak selalu membawa dampak positif. Meskipun terlihat seperti dorongan untuk tetap produktif dan aktif, FOMO sering kali berujung pada tekanan mental yang tidak sehat. Anak muda yang terus-menerus merasa harus terlibat dalam segala hal cenderung mengalami beberapa dampak negatif berikut:

1. Stres dan Kecemasan Berlebih

Perasaan takut ketinggalan membuat seseorang merasa harus terus memantau apa yang terjadi di sekitar mereka. Akibatnya, waktu untuk beristirahat secara mental semakin berkurang. Ketegangan ini, jika dibiarkan, dapat memicu gangguan kecemasan yang lebih serius.

2. Kelelahan Fisik dan Emosional

Berusaha untuk selalu "hadir" di berbagai acara, mengikuti tren, atau memenuhi standar tertentu membutuhkan banyak energi. Anak muda yang terjebak dalam budaya ini sering kali mengabaikan kebutuhan dasar, seperti tidur yang cukup atau pola hidup sehat, demi memenuhi ekspektasi sosial.

3. Ketidakpuasan terhadap Kehidupan

Membandingkan diri dengan kehidupan orang lain di media sosial bisa membuat seseorang merasa hidupnya kurang menarik atau kurang berarti. Ini menciptakan rasa rendah diri yang sulit dihilangkan, bahkan ketika mereka sudah mencoba memenuhi ekspektasi sosial tersebut.

4. Dampak Finansial

Keinginan untuk selalu terlibat dalam aktivitas tertentu, seperti menghadiri konser, makan di tempat yang sedang populer, atau membeli barang-barang tren terbaru, sering kali membuat anak muda mengorbankan keuangan mereka. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan masalah finansial yang signifikan.

Mengatasi FOMO: Fokus pada Hal yang Penting

Untuk mengatasi FOMO, anak muda perlu belajar untuk lebih menghargai diri sendiri dan memprioritaskan hal-hal yang benar-benar penting. Mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal dan fokus pada kebutuhan pribadi bisa menjadi langkah awal untuk membebaskan diri dari tekanan sosial yang tidak sehat. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan:

1. Batasi Penggunaan Media Sosial

Salah satu penyebab utama FOMO adalah paparan berlebihan terhadap media sosial. Dengan membatasi waktu yang dihabiskan untuk berselancar di platform ini, anak muda dapat mengurangi frekuensi membandingkan diri dengan orang lain. Beberapa langkah yang bisa diambil termasuk menetapkan waktu khusus untuk menggunakan media sosial atau bahkan mengambil jeda total selama beberapa hari (digital detox).

2. Fokus pada Diri Sendiri

Alih-alih mengejar apa yang sedang tren, penting untuk mengidentifikasi apa yang benar-benar memberikan kebahagiaan dan kepuasan pribadi. Buat daftar tujuan hidup, hobi, atau aktivitas yang bermakna bagi diri sendiri tanpa merasa perlu membuktikannya kepada orang lain.

3. Perkuat Hubungan yang Bermakna

Daripada berusaha mengikuti semua acara atau tren, fokuslah pada membangun hubungan yang lebih dalam dengan keluarga, sahabat, atau komunitas yang mendukung. Interaksi tatap muka yang bermakna sering kali lebih memuaskan daripada interaksi virtual yang dangkal.

4. Belajar Menikmati Momen Saat Ini

Praktik mindfulness atau kesadaran penuh dapat membantu anak muda menikmati apa yang ada di depan mereka tanpa terus-menerus memikirkan apa yang mereka lewatkan. Dengan melatih diri untuk hadir sepenuhnya dalam momen saat ini, rasa cemas akan hal-hal yang terjadi di luar sana bisa berkurang.

5. Ubah Perspektif tentang Kegagalan atau "Ketinggalan"

Tidak selalu mengikuti tren atau melewatkan satu acara bukanlah kegagalan. Anak muda perlu menyadari bahwa hidup adalah tentang membuat pilihan yang sesuai dengan nilai dan prioritas pribadi. Tidak semua hal harus dilakukan atau dialami.

6. Prioritaskan Kesehatan Mental dan Fisik

Dengan merawat tubuh dan pikiran, seperti berolahraga secara teratur, makan dengan baik, dan cukup tidur, anak muda akan merasa lebih kuat secara emosional dan mampu menghadapi tekanan sosial dengan lebih baik.

Kesimpulan

Budaya FOMO adalah cerminan dari kebutuhan manusia untuk merasa diterima dan relevan. Namun, di balik keinginan untuk tetap terhubung dan tidak ketinggalan, sering kali muncul rasa cemas dan tekanan yang merugikan kesejahteraan mental. Anak muda perlu menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu terletak pada seberapa banyak hal yang bisa mereka lakukan atau pamerkan, tetapi pada bagaimana mereka menghargai dan menikmati hidup sesuai dengan nilai dan prioritas pribadi.

Memutus siklus FOMO bukanlah perkara mudah, terutama di era media sosial yang terus memamerkan standar kehidupan "ideal." Namun, dengan belajar untuk menghargai momen-momen kecil, memperkuat hubungan yang bermakna, dan menerima bahwa tidak semua tren perlu diikuti, anak muda dapat mulai menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.

Pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita lakukan, tetapi bagaimana kita menemukan makna dan kebahagiaan dalam setiap langkah. FOMO hanya menjadi masalah jika kita membiarkannya mendikte hidup kita. Ketika anak muda memilih untuk memprioritaskan apa yang benar-benar penting bagi diri mereka sendiri, mereka tidak hanya terbebas dari rasa takut ketinggalan, tetapi juga menemukan versi hidup yang lebih otentik dan memuaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun