Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kelonggaran kebijakan ini justru akan berdampak negatif terhadap pembangunan SDM dalam negeri? Jika terlalu banyak lulusan LPDP yang memutuskan untuk menetap di luar negeri, Indonesia mungkin kehilangan sebagian besar potensi tenaga ahli yang sangat dibutuhkan.
Para lulusan ini adalah sumber daya manusia yang sudah melalui proses pendidikan dan pelatihan berkualitas tinggi, dibiayai oleh negara dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan dan inovasi di dalam negeri. Jika mereka tidak kembali, Indonesia berisiko mengalami “brain drain,” di mana talenta terbaiknya berkontribusi pada negara lain, sementara kebutuhan akan tenaga ahli di Indonesia semakin meningkat.
Kehilangan potensi tenaga ahli ini terutama akan berdampak pada sektor-sektor strategis yang sangat membutuhkan dukungan profesional berkualifikasi tinggi, seperti teknologi, kesehatan, energi, pendidikan, dan riset.
Para lulusan yang tetap bekerja di luar negeri mungkin sulit untuk memberikan kontribusi nyata di sektor-sektor ini dalam jangka pendek, terutama di lapangan, di mana keberadaan fisik dan keterlibatan langsung sangat diperlukan untuk memahami masalah lokal dan mencari solusi konkret. Jika ketidakhadiran mereka terus berlangsung, maka sektor-sektor ini bisa kehilangan dorongan inovatif yang dibutuhkan untuk berkembang dan bersaing di era global.
Selain itu, hal ini juga berdampak pada regenerasi SDM di dalam negeri. Lulusan LPDP yang menetap di Indonesia dapat menjadi mentor, dosen, dan pelatih yang akan membimbing generasi muda di berbagai bidang. Kehadiran mereka penting dalam mengisi kesenjangan keahlian dan pengalaman di lingkungan kerja, baik di institusi pemerintah, swasta, maupun akademik.
Ketidakhadiran mereka di tanah air membuat para pelajar dan profesional muda kesulitan mendapatkan bimbingan yang sesuai standar internasional, yang pada akhirnya menghambat proses pengembangan kapasitas SDM di Indonesia.
Lebih jauh lagi, semakin banyaknya alumni yang memilih bekerja di luar negeri dapat memberikan sinyal negatif terhadap pemerintah dan masyarakat, seolah-olah di Indonesia tidak ada kesempatan atau dukungan yang cukup bagi para profesional berkompetensi tinggi.
Hal ini bisa merusak persepsi generasi muda terhadap prospek kerja dan pengembangan karier di dalam negeri, sehingga menciptakan tren di mana semakin banyak lulusan Indonesia bercita-cita untuk bekerja di luar negeri alih-alih membangun karier di dalam negeri. Jika hal ini terjadi, Indonesia akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan dan meningkatkan daya saing SDM di tingkat internasional.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga bisa memberikan peluang baru untuk membangun jaringan global. Alumni LPDP yang bekerja di luar negeri dapat menjadi penghubung antara Indonesia dan komunitas internasional, terutama di sektor-sektor strategis. Mereka dapat berperan sebagai jembatan dalam membangun kemitraan internasional, memfasilitasi transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta membuka akses bagi Indonesia untuk terlibat dalam proyek-proyek inovasi global.
Di era yang semakin terhubung ini, peran diaspora Indonesia di luar negeri memiliki nilai strategis yang besar, terutama dalam memperluas jejaring dan memperkenalkan potensi Indonesia ke panggung internasional.
Dalam kesimpulannya, kebijakan LPDP yang membolehkan beberapa alumnus untuk tidak wajib pulang memang mengandung pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan ini memberikan fleksibilitas untuk alumni agar dapat lebih berkembang dan menyerap pengalaman di negara maju, yang bisa berdampak positif bagi bangsa jika mereka mau berkontribusi, meskipun dari luar negeri. Namun di sisi lain, kesiapan lapangan kerja di dalam negeri juga menjadi faktor penting agar mereka bisa secara optimal membangun bangsa.