Mohon tunggu...
Muhammad Baran Ata Labala
Muhammad Baran Ata Labala Mohon Tunggu... -

Petualang Nusantara-Indonesia Tercinta.... Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramudia Ananta Toer) www.catatan-hambamoe.blogspot.com www.labala-leworaja.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ular Naga; Perspektif Al-Quran & Tradisi Mistis Orang Labala

20 Maret 2016   22:55 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 25112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber gambar samusporn.com"][/caption]

Ular Naga  Menurut Perspektif Al-Quran

Harus diketahui, menciptakan manusia dari tiada, membentuknya dan meniupkan padanya dari ruh-Nya, dan mengokohkan alam semesta, juga segenap keajaiban yang terkandung di dalamnya, adalah yang Maha Kuasa juga  yang menciptakan luar angkasa dan makhluk yang ada di dalamnya.

Al-Quran juga telah menunjukkan adanya makhluk-makhluk yang tidak diketahui manusia di masa kenabian (Muhammad SAW). Demikian juga  menunjukkan peran dari penemuan ilmiah, bahwa setiap berita akan ada waktu kemunculannya (pembuktiannya), sepanjang manusia berusaha tetap memanfaatkan potensi akal yang dimiliki untuk membuktikannya (mencari, menelusuri dan menemukannya).

"Dan Dia (Allah) telah menciptakan kuda, bagal, keledai agar kamu menungganginya (dan menjadikannya perhiasan). Dan Allah juga menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya." (QS. An-Nahl: 8)

Keyakinan kepada hal-hal yang tak terjangkau (yang belum dipahami akal) manusia, yang dalam istilah al-quran di sebut dengan hal yang gaib (malaikat, jin, iblis, makhluk luar angkasa, termasuk hari pembalasan, dll)  adalah salah satu sendi keimanan (Rukun Iman) dalam Islam.

Kita sering mendengar, membaca berita/cerita tentang penampakan hal-hal gaib atau fenomena alam yang terjadi diluar jangkauan nalar/logika manusia. Sayangnya, hanya karena tak terjangkau atau tak terpahami oleh logika, maka kadang dengan angkuh dan sombongnnya kita menganggap semua berita/cerita itu hanya sekadar mitos/tahayul/legena/dongeng semata, tanpa mau berikhtiar menelusuri jejak sejarah atau jalan cerita yang sebenarnya.

Lagi pula, sesuatu yang dianggap gaib belum tentu tak ada. Sesuatu yang dianggap cerita mitos, tahayul, legenda, dongeng dsb, belum tentu berarti cerita itu tak pernah terjadi. Kendalanya hanya ada pada keterbatasan kemampuan akal manusia yang belum mampu menguaknya. Sesuatu yang gaib adalah sesuatu yang misteri, sesuatu yang masih menjadi rahasia, sesuatu yang masih ditabiri. Dan tabir  utama yang menjadi penghalang itu adalah keterbatasan pengetahuan kita sebagai manusia.

Pada tulisan ini saya hanya akan sedikit membahas tentang adanya isyarat dalam al-Quran yang menjelaskan kemungkinan adanya kehidupan makhluk berupa hewan melata (ular, kadal dsb) yang bila ditelusuri, sedikit banyak membantu menguak misteri akan keberadaan makhluk berupa hewan melata yang selama ini hanya dianggap cerita mitos/tahayul/legenda/dongeng. Makhluk berupa hewan melata yang saya maksud adalah ular naga yang hingga kini menjadi tradisi mistis dalam adat dan budaya Orang Labala.

Berikut saya mengutip beberapa ayat dalam al-quran yang menjadi signal/isyarat keberadaan makhluk yang diiptakan Allah SWT dari jenis hewan melata yang kita tidak/kita belum mengetahui dan memahaminya. Misalnya dalam al-quran diisyaratkan kemungkinan adanya kehidupan makhluk diluar angkasa dan di bumi (entah sejenis manusia, jin atau hewan melata dll.).

"Diantara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan langit dan bumi, dan makhluk-makhluk yang melata yang disebarkan pada keduanya (langit dan bumi) dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendakiNya." (QS. Asy-syura: 29)

Kata "makhluk yang melata" yang dalam teks asli al-quran disebut dengan  "dabbah". Oleh sebagian ulama menerjemahkannya dengan "makhluk melata", yaitu makhluk yang berjalan atau bergerak berpindah tempat dengan tidak menggunakan kaki atau tangan atau sayap. Dalam pengertian umum, binatang yang punya ciri melata yaitu berjalan/berpindah dengan perut atau otot perutnya adalah ular.

Kata "dabbah" dalam al-quran memiliki kemiripan dengan kata "Deppa"  dalam bahasa Lamaholot Labala yang juga memiliki arti yang sama yaitu bergerak atau berjalan dengan perut atau melatah ditanah. Dari kata "Deppa" dalam bahasa Labala, kemudian terbentuk kata "Geppa" yang digunakan untuk nama binatang seperti kemodo/biawak yang bila berjalan terlihat seperti melata dengan menyeret perut di tanah. Selain itu, dalam banyak anggapan, komodo/biawak biasa disebut juga dengan naga darat.

Kata lain yang bersinonim dengan kata "Deppa" dalam bahasa labala adalah "doro" yang berarti melatah dipohon. Tapi kata deppa dan doro umumnya digunakan untuk aktifitas berpindah tempat atau bertumbuh pada binatang dan tumbuhan yang melata di tanah atau di pohon seperti ular atau seperti hura jawa (ketela rambat) dimu (semangka/mentimun) dll

Dalam al-quran juga ditegaskan bahwa, makhluk melata yang disebut dengan "dabbah' (ular) ini tak hanya berada dan hidup di bumi, tapi juga berada dan hidup di pelanet/galaksi/alam lain di langit.

"Dan kepada Allah sajalah bersujud segala makhluk melata yang  berada di langit dan semua makhluk melata yang ada di bumi dan juga para malaikat. Sedangkan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri." (QS. An-Nahl: 49)

Dengan isyarat ayat seperti di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa tak ada salahnya penjelasan ayat al-quran di atas menjadi isyarat bahwa ada wujud kehidupan alam lain yang memiliki makhluk yang barangkali juga memiliki kemiripan dengan kehidupan di bumi tempat kita hidup.

Tak bisa dipungkiri, kitab suci tiada lain hanyalah kitab pedoman yang menuntun manusia untuk memahami dan memaknai kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta. Kitab suci bukanlah seperti buku ilmiah yang menjelaskan secara terperinci fenomena dan nomena semesta, namun kitab suci juga mengandung signal/isyarat ilmiah yang  bisa dijadikan dasar mencari dan menemukan kebebenaran yang masih ditutup kabut misteri.

Ular Naga Dalam Tradisi Mistis Orang Labala

Ular Naga Adalah Simbol Air dan Siklus Kehidupan

Sebagai Orang Labala, saya tak asing dengan cerita ular naga. Tak hanya berupa cerita yang banyak orang menganggapnya sekadar mitos, namun juga ular naga dalam cerita sejarah, adalah penyebab utama pelarian Orang Labala dari Lepan-Batan. Selain itu, ritual adat yang berhubungan dengan ular naga yang dilakukan oleh Orang Labala, menjadi alasan mengapa mitos tentang ular naga ini tak asing bagi saya.

Bila ditelusuri dari jalan ceritanya dan diamati dari upacara adat berupa ritual Pao Oma (pao= memberi/membujuk/memberi makan, Oma/ume= jatah/bagian) yang di lakukan Orang Labala, Ular Naga tak lain adalah simbol yang merupakan unsur penting kehidupan yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Simbol yang saya maksudkan adalah Air. Air adalah salah satu unsur terpenting yang juga menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia. Bahkan menurut kajian ilmu pengetahuan, air disinyalir sebagai asal mula kehidupan semua makhluk.

Di Labala, hampir semua seremonial adat berhubungan dengan air; air sungai, air laut dan air hujan. Di sungai misalnya, sepanjang aliran sungai, mulai dari wai mata (sumber mata air) sampai wai lei (muara sungai). Begitupun di laut, Orang Labala memiliki seremoni adat tula re (berdamai dengan laut). Bahkan di Labala pun Orang Labala memiliki seremoni adat teppa bala (memanggil hujan) bila terjadi kemarau berkepanjangan sehingga terancam gaga panen.

Dilihat dari berbagai seremonial adat yang dilakukan Orang Labala, bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, upacara seremonial adat ini menggambarkan siklus perjalanan air sebagai sumber kehidupan. Dalam ilmu pengetahuan kita mengenal istilah siklus air, dimana air laut (hari lewa/tula ree) sebagai sumber air utama menguap karena panas matahari (sumber energi keilahian/ketuhanan) kemudian menjadi uap/awan. Selanjutnya, awan mendung yang mengandung titik-titik air kemudian jatuh sebagai hujan (teppa bala), lalu hujan yang turun kebumi membentuk mata air (wai mata), kemudian mata air mengalir menjadi sungai menuju muara (wai lei/pao oma) dan kembali lagi ke laut (hari lewa/tula ree).

Dari sedikit penggambaran di atas, maka dapat kita pahami, bahwa kepercayaan akan ular naga sebagai simbol air, merupakan sebua upaya manusia menjalin keselarasan hidup dengan alam yang memberinya kehidupan. Bukankah terjadinya aneka mala dan bencana akibat dari ulah manusia yang seenaknya saja memperlakukan alam?

Sebagaimana yang disinyalir dalam Kitab Suci al-Quran:

“Telah nampak kerusakan (bencana) di darat dan di laut akibat ulah tangn-tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu dan agar mereka mau kembali (sadar)”

 Naga Bumi-Naga Langit; Simbol Keseimbangan Kosmis

(Naga Langit; Simbol Alam Ilahiah/Alam Malakut/Alam Gaib. Naga Bumi; Simbol Alam Semesta/Alam Makhluk/Alam Nyata)

Sebagaimana hukum alam (sunnatullah), segala sesuatu diciptakan Tuhan selalu berpasangan. Langit dan bumi adalah pasangan telur kosmis, sumber keyakinan Orang Lamaholot terkhusus Orang Labala, yang meyakini kuasa Lera-wulan Tanah Ekan (Tuhan Sang Pemilik Langit dan Bumi). Dari pasangan kosmis keilahian (Langit dan Bumi), selanjutnya terbentuklah pasangan kosmis kemanusiaan (makhluk) yaitu keblake-keberwae (laki-laki dan perempuan) atau manusia yang oleh Tuhan diberi amanah menjadi khalifah (penghubung kosmis keilahian dengan kosmis alam semesta) beserta segala hal lain di alam raya yang juga tercipta berpasang-pasangan.

Pasangan adalah gambaran kesetimbangan/keseimbangan. Pasangan juga adalah simbol eksistensi/keberlangsungan hidup.Tak akan ada keteraturan/keseimbangan bila segala sesuatu tak tercipta berpasangan. Kelestarian manusia akan tetap terjaga bila manusia tercipta dari pasangan lelaki dan perempuan. Lampu bahlon tak akan menyala bila tak ada aliran energi positif dan negatif dan masih banyak contoh keseimbangan kosmis lainnya.

Kita menyebut keseimbangan/ keselarasan dengan keadilan. Itulah mengapa Tuhan dikatakan Maha Seimbang (al-Adil) tak memihak karena Tuhan tak punya kepentingan-apa-apa dari makhluknya. Tuhan juga disebut Maha Bijaksana (al-Hakim) selalu memberi jalan keluar untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan/dosa hamba-Nya.

Adil adalah gambaran ketegasan hukum, sedangkan bijaksana adalah gambaran pengampunan/pemaafan/kasih sayang. Keadilan dan kebijaksanaan ini, dalam khasanah tradisi dan budaya, Orang Lamaholot menyebutnya dengan Keniki-Pelatin dan geleten-gelaran.

Ungkapan Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran adalah gambaran keseimbangan kosmis kehidupan. Keniki-Pelatin dan Geleten-Gelaran juga adalah perwakilan dari sifat kosmis keilahian/ketuhanan dan sifat kosmis alam/makhluk. Secara bahasa, keniki-pelatin artinya panas atau pedis sebagai simbol ketegasan/keadilan. Sedangkan Geleten-Geelaran artinya dingin atau sejuk sebagai simbol pengampunan/pemaafan/kasih sayang.

Bila ditelusuri lebih mendalam, ungkapan keniki-pelatin dan geleten-gelaran berakar dari keyakinan Orang Lamaholot akan Koda-Kiri. Koda sebagai sabda (kebenaran), kiri sebagai firman (kesucian).  Koda-Kiri adalah Kalam/Kata-kata/Sabda/Firman dari Lera-wulan Tanah-Ekan (Tuhan/Allah SWT). Koda-kiri diyakini sebagai asal muasal dari asbab penciptaan alam semesta (langit dan bumi beserta isinya, termasuk manusia). Yang dalam istilah agama islam dikenal dengan, Kun, Fayakuun (Jadilah! Maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya)

Koda-kiri adalah keseimbangan yang pantang/tabu untuk dilanggar apalagi diabaikan. Bila dijalani dengan benar menurut tujuan penciptaan, maka akan tercipta keseimbangan/keselarasan (kedamaian) kosmis. Namun bila dilanggar atau diabaikan, maka yang terjadi adalah ketidaseimbangan/kekacauan (bencana) kosmis.

Dari keyakinan akan koda-kiri ini kemudian melahirkan filosofi (kearifan) Koda keniki-pelatin sili-lia mean, Kiri geleten-gelaran keru-baki buran. Bahwa kebenaran koda-kiri (kata/kalam/firman) adalah sesuatu yang sakral. Pelanggaran terhadap kebenaran koda-kiri akan menyebabkan nalan (dosa), nedin (bencana), elan/elen (kesalahan), milan (tercemar/kekotoran), dan haban (tersesat). Oleh karena itu, nalan/nedin/elen/milan/haban hanya bisa terampuni/termaafkan/tersucikan apabila manusia mau menyadari kesalahannya dan melakukan pertaubantan/penyucian/permaafan yang dalam istilah adat Orang Lamaholot disebut huku/hoko mehi (pemulihan darah) untuk kembali berdamai dengan Lera wulan-Tanah Ekan (Tuhan Sang Pencipta)

Filosofi Koda keniki-pelatin sili lia mean dan Kiri geleten-gelaran keru baki buran ini kemudian menjadi pedoman/pegangan dalam setiap aktifitas kehidupan sehari-hari Orang Lamaholot, termasuk di Labala yang diwujudkan dengan ritual adat Pao Oma dan Tula Ree  yang disimbolkan dengan ular naga langit dan ular naga bumi. Ular naga langit sebagai perwakilan kosmos keilahian/alam malakut/alam gaib, sedangkan ular naga bumi sebagai perwakilan kosmos alam semesta/alam makhluk/alam nyata. Lebih dari pada itu, ritual pao oma  dan tula ree merupakan ikhtiar manusia untuk berdamai dengan alam agar tercipta keseimbangan.

Manusia, dengan potensi lahir dan batin, akal dan nurani yang dikaruniakan Tuhan, dipilih oleh-Nya untuk mengemban amanat suci sebagai Khalifah (wakil Tuhan di bumi) untuk menjadi pemimpin, menjadi pengayom dan penjaga keseimbangan kosmos, menjadi penghubung langit dan bumi, yang diaplikasikan dengan menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik dengan sesama dan alam semesta. Dengan demikian, maka akan tercipta tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin yaitu kehidupan seimbang yang menjadi penyebab rahmamat/kasih sayang Tuhan selalu menyertai.

Keyakinan akan keseimbangan kosmos yang disimbolkan dengan ular naga sebagai air kehidupan dan sebagai keseimbangan kosmis antara kosmis keilahian (ketuhanan/gaib) dengan kosmis kemakhlukkan sebagai ciptaan, senantiasa menjadi kearifan dan nilai luhur yang unik bagi orang lamaholot, terkhusus Orang Labala yang tetap mempertahankan tradisi mistis religius ini. Mengabaikan kearifan leluhur tanpa didahului dengan perenungan dan kajian mendalam akan makna dibalik ritual-ritual mistis ini, adalah sebentuk kesombongan iman bagi mereka yang mengaku beragama dan kecongkakan intektual bagi mereka yang mengaku sebagai cendekiawan.

Akhirnya, tak semua adat leluhur dan tradisi nenek-moyang dengan aneka ritual mistisnya harus dicap sebagai musyrik oleh mereka yang mengaku beragama, atau dianggap mitos oleh mereka yang mengaku akademisi. Toh segala sesuatu yang dianggap musyrik dan mitos tak serta merta dicap sebagai kuno, kafir dsb sebelum bisa dibuktikan dengan hujja (dalil) yang sahih. Menyalahkan tanpa pernah membuktikan kesalahan itu sendiri adalah sebentuk kemunafikan orang-orang yang mengaku beragama dan kebodohan intelektual bagi mereka yang mengaku cerdik cendekia. (**)

~AtaLabala~

Catatan: Tulisan ini hanyalah menurut persepsi penulis yang berusaha memaknai adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Apa yang penulis sajikan ini bukanlah kebenaran mutlak yang harus juga diyakini oleh pembaca, karena kebenaran mutlah hanyalah milik Tuhan. Jika bermanfaat, silahkan diambil. Bila tak bermanfaat, silahkan diabaikan saja. Wassalam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun