Dari kejadian itu, aku jadi tahu maksud dari tatapan orang-orang itu. Aku lebih paham lagi dan merasakan efeknya setelah aku pratekkan. Tanpa basa-basi, besoknya aku pratekkan.
"Misi, Bu."
"Nggih...."
Satu ibu-ibu aku sapa, dan sukses dijawab senyum ramah.
"Misi, Pak."
"Nggih...."
Satu bapak-bapak aku sapa dan berhasil dijawab dengan senyum sumringah.
Sepertinya mereka sepakat untuk menjawab "nggih...." setiap ada sapaan. Berdasarkan survey praktek langsung memang seperti itu. Sudah tidak ada tatapan aneh itu lagi. Jadi ini yang (mungkin) mereka harapkan. Atau sebenarnya keramahan ini yang saya harapkan.
Kita berlaku sopan terhadap mereka. Orang lain juga demikian saat memperlakukan orang yang dilewati, aku pernah menemukannya, kala menyapa orang. Jadi memang seperti itu adatnya. Aku jadi ingat kata Pak Ustadzku, "Perlakukan seseorang seperti lingkungan memperlakukannya." COCOK!
Di sisi lain aku jadi malah ingat kata-kata Pak Ustadzku yang lain, "Jika kita sedang duduk-duduk santai di teras depan rumah, kita harus membuat orang yang lewat depan rumah nyaman dengan menyapanya, bukan malah menggoda perempuan muda yang lewat (untuk laki-laki, kalau perempuan berarti sebaliknya. Soalnya waktu ngomong audiencenya laki-laki semua).Â
Malah lebih baiknya lagi kalau kita menunduk, ketika perempuan muda lewat. Menjaga pandangan. Makanya rumah saya tidak ada tempat buat duduk-duduk di depan rumah, karena konsep itu salah. Dan jika pun ada, bakalan susah untuk berlaku yang pantas dan benar."