***
Aku tidak tahu maksud tatapan orang itu, setiap aku lewat berpapasan dengannya. Tatapannya menunjukkan ketidaksukaan, semacam marah tapi ditahan. Padahal aku cuma numpang lewat. Tak lebih tak kurang. Masalahnya lagi bukan sekadar orang itu saja, ada beberapa lainnya (bukan berarti semua, juga bukan banyak). Entah maksudnya apa aku tidak tahu. Yang pasti bukan karena tampang tampanku ini yang membuat mereka dengki, prasangka positifku.
Besoknya hari ospek dimulai dan rasa penasaranku terjawab sudah.
"Di Yogya itu harus dijaga sopan santunnya. Kalau lewat ada orang disapa, Dek." kata mbak, eh, kak panitia ospek (soalnya minta dipanggil kakak) di depan barisan peserta ospek.
"Iya, Kak!" Jawab kami hampir bersamaan.
"Monggo, Pak/Bu, permisi, nderek langkung," sebut kakak panitia ospek," kayak gitu, sambil senyum, jangan cuma diam apalagi merengut. Besok kalau berangkat ketemu kakak panitia disapa, "Pagi, Kak". Jangan diam kayak tadi waktu berangkat, itu nggak sopan. Kalian kalau disapa senangkan." jeda sejenak, "Kamu!" tunjuknya kepada salah seorang di barisan. Yang ditunjuk menyahut, "Iya, Kak".
"Nama kamu siapa?"
"Dede, Kak."
"Kamu kalau di jalan ketemu kakak, terus kakak sapa, "Pagi, Dedeeee...," seneng nggak?"
"Nggak, biasa saja kali, Kak," jawabku dalam hati. Kalau aku yang ditanya barangkali itu yang aku ucapkan. Biar makin riuh. Mencairkan suasana.
Yang ditanya tentunya menjawab iya. Malahan, "Iya, Kakak," sambil senyum cengengesan. Kakak panitia ospeknya cantik, bung. Jelas-jelas tergiurlah dia.