Mohon tunggu...
Muhammad Baidarus
Muhammad Baidarus Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Kepala Bidang Riset di Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik (PKAKP) PKN STAN (2017-2018); Staff Pengelola Keuangan BWS Kalimantan III Ditjen SDA Kementerian PUPR; Staff Bagian Evaluasi dan Pelaporan Keuangan Setjen Kementerian PUPR; Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pengusaha Tak Perlu Cemas di Balik Shortfallnya Penerimaan Pajak

20 Oktober 2017   16:29 Diperbarui: 20 Oktober 2017   18:22 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, Pemerintah memproyeksikan penerimaan pajak dalam APBNP 2017 mencapai Rp 1.283,6 triliun. Namun, hingga september 2017 ini pemerintah memastikan penerimaan pajak baru mencapai 60% dari target dalam APBNP atau setara Rp 770,16 triliun. Itu artinya, masih ada kekurangan penerimaan pajak pajak sekitar Rp 513 triliun. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu tetap optimis target penerimaan pajak tahun 2017 akan tercapai meski waktunya tinggal tersisa 2,5 bulan lagi. Pasalnya masih banyak potensi pajak yang belum tersentuh pemeriksa otoritas pajak. 

Terlebih di era digital saat ini, masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif lebih memilih membeli sesuatu secara online sehingga sedikit mereka yang transaksi dipasar nyata. Isue turunnya daya beli akibat upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak pun bermunculan. 

Di beberapa sektor industri unggulan seperti industri otomotif, semen, hingga impor bahan baku modal dan penolong mengalami penurunan penjualan. Pernyataan lesunya daya beli masyarakat akibat pemerintah dorong penerimaan pajak pun langsung dibantah oleh sejumlah ekonom. Pernyataan tersebut tidak ada dasarnya dan oleh pihak tertentu dimanfaatkan untuk menggoyangkan kepercayaan publik semata. 

Berdasarkan data BPS, turunnya daya beli masyarakat tersebut dakibatkan oleh inflasi yang masih jauh dibawah ekspektasi atau berada pada 0,22 persen. Selain itu, dalam semester II ini petumbuhan industri ritel mengalami penurunan 40% hingga 50%. Bahkan beberapa diantaranya harus mengalami penutupan karena model bisnis yang dilaksanakan tidak sesuai dengan ritel seperti 7-Eleven. 

Hal ini sangat berpotensi mengakibatkan lesunya daya beli masyarakat terlepas masalah pajak. Hingga kini pemerintah terus menggali potensi penerimaan pajak dengan melakukan ekstensifikasi ditengah bayang-bayang risiko fiskal yang jelas membahayakan keseimbangan primer dalam postur APBNP tahun 2017. 

Beberapa industri baru mulai di jajaki potensi pajaknya mulai dari bisnis startup hingga e-commerce yang mulai dilirik banyak investor dan juga bisnis online lainnya yang bergerak dibidang jasa seperti transportasi online yang masih terlilit masalah perijinan dan kajian oleh kementerian terkait. Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang menyiapkan mekanisme pengenaan pajak sebagai landasan agar dapat diberlakukan untuk semua pelaku usaha konvensional sehingga ada equal treatment yang berkeadilan. 

Hal ini menimbulkan kecemasan beberapa pengusaha dan juga wajib pajak yang belum patuh bayar pajak. Wajar saja itu terjadi, program tax amnesty atau pengampunan pajak yang diterapkan otoritas pajak beberapa waktu lalu belum mencapai target. Sehingga masih besar potensi penerimaan pajak yang berasal dari harta wajib pajak yang belum dilaporkan. 

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban otoritas pajak untuk menyisir penghasilan dan jumlah harta wajib pajak yang belum dilaporkan. Setiap harta yang dimiliki wajib pajak dan belum dilaporkan akan dianggap sebagai tambahan penghasilan, sehingga akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) dan juga denda sebesar 200% dari pajak terutang sesuai konsekuensi karena tidak mengikuti program tax amnesty.

Beberapa waktu lalu publik kembali dikejutkan dengan migrasi harta 81 WNI dari Guernsey yang merupakan wilayah di kepulauan Channel Inggris ke Singapura. Migrasi tersebut dilakukan melalui lembaga keuangan Inggris Standard Chartered Plc (Standchart) sehingga memunculkan banyak spekulasi publik. Kedua negara ini sudah lama dikenal sebagai negara surga pajak atau tax haven countries dimana negara ini menerapkan tarif pajak yang lebih rendah atau bahkan tidak dikenakan pajak sama sekali dibandingkan dengan negara lain dalam hal berinvestasi. Jika itu terjadi maka sudah dapat dipastikan modus yang digunakan bertujuan untuk menghindari pajak (tax evasion). 

Tak tanggung-tanggung nilai transfernya mencapai US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 18,9 triliun. Otoritas pajak pun berjanji akan menelusuri asal dana tersebut dan juga melakukan pemeriksaan terhadap 81 wajib pajak terkait, melalui data yang diperoleh dari sistem AEoI untuk mengetahui potensi pajak yang harus disetor. Pada dasarnya mereka tidak perlu takut jika sudah menjadi wajib pajak yang patuh. 

Hal ini juga berlaku bagi semua pengusaha yang sudah patuh memenuhi kewajiban perpajakannya. Enam bulan yang lalu, otoritas pajak sudah memberikan kesempatan untuk semua wajib pajak agar memperbaiki kewajiban perpajakannya melalui program pengampunan pajak. Disamping itu, otoritas pajak juga memberikan pilihan kepada wajib pajak bagi mereka yang tidak mau mengikuti tax amnesty dapat melakukan pembetulan SPT. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun