Mohon tunggu...
Muhammad Azmi
Muhammad Azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Olahraga dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review: Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

14 Maret 2023   17:18 Diperbarui: 30 Maret 2023   16:49 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BOOK REVIEW

Judul : Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Penulis : Dr. Mardani

Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada

Terbit : 2014

Cetakan : Pertama, Januari 2014

Reviewer : Muhammad Azmi (212121140)

Buku tulisan Dr. Mardani yang berjudul "Hukum Kewarisan Islam di Indonesia" menjelaskan kepada para pembaca dalam mempelajari hukum kewarisan dalam Islam khususnya di Indonesia. Buku ini mendeskripsikan secara rinci mengenai hukum kewarisan Islam di Indonesia, yang dimulai dari tinjauan umum tentang hukum waris Islam, siapa saja yang berhak menerima waris (ahli waris), bagaimana tata cara pembagian waris Islam, dan hal-hal lainya yang berkaitan dengan ilmu mawaris atau waris islam di Indonesia. 

Hukum kewarisan atau dalam bahasa fiqh sering disebut fiqh mawaris atau fiqh faraidh merupakan salah satu bidang studi ilmu yang terdapat di perguruan tinggi Islam. Buku ini sangat bisa dijadikan sebagai sumber referensi baik bagi mahasiswa, praktisi hukum (pengacara maupun hakim di lingkungan peradilan agama) dan tentu bagi umat muslim yang ingin mempelajari bagaimana hukum kewarisan Islam di Indonesia.

Hukum kewarisan Islam sudah menjadi bagian dari hukum Islam di Indonesia, yang mana telah diterapkan di Nusantara sejak Islam masuk ke Nusantara yaitu pada abad ke -7 Masehi, kemudian berlanjut pada masa kerajaan Islam, masa penjajahan, masa kemerdekaan, kemudian masa reformasi dan berlanjut hingga pada masa sekarang ini. Pada bab pertama buku ini dijelaskan mengenai tinjauan umum tentang kewarisan Islam.

Adapun hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing pewaris. Dapat juga dikatakan ilmu waris atau ilmu faraidh adalah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup bedasarkan ketentuan syariat islam (al-Qur'an, as-Sunnah, ijma', dan ijtihad).

Hukum kewarisan Islam merupakan salah satu studi ilmu dalam agama Islam yang tidak banyak dipelajari dan diketahui tata caranya, dengan kata lain orang awam masih banyak yang belum paham mengenai hukum kewarisan Islam. Padahal ilmu ini tentu akan sangat berguna apabila pada setiap muslim mengetahui atau mempelajarinya.

Setidaknya terdapat beberapa alasan mengenai betapa pentingnya mempelajari hukum kewarisan Islam berdasarkan al-Qur'an dan Hadist, diantaranya; ilmu waris merupakan ilmu yang akan dicabut, merupakan perintah khusus dari Nabi Muhammad, mempelajarinya sejajar dengan belajar al-Qur'an, utnuk menghindari perpecahan keluarga, dan menghindari ancaman di akhirat kelak.

Dalam hukum waris Islam terdapat setidaknya 10 dasar atau asas-asas, yaitu; asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, asas semata akibat kematian, asas ketulusan, asas ta'abudi, asas haququl maliyah (hak-hak kebendaan), asas haququn thaba'iyah, asas membagi habis harta warisan. Asas ijbari adalah peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya yang mana berlaku secara sendirinya berdasarkan kehendak Allah. Asas bilateral yaitu harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan. 

Asas individual yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi dan dimiliki secara perorangan. 

Asas keadilan berimbang yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Asas semata akibat kematian yaitu selama yang mempunyai harta masih hidup maka harta seseorang tersebut tidak dapat beralih kepada orang laindengan nama waris. Asas ketulusan yaitu dalam melaksanakan hukum waris dalam Islam, perlu adanya ketulusan hati dalam mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenaranya. Asas ta'abudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam merupakan suatu bentuk penghambaan diri dan merupakan ibadah kepada Allah.

Asas haququl maliyah (hak-hak kebendaan) adalah hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris. Asas haququn thaba'iyah adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia, yaitu siapa pun dia selama memiliki hak sebagai ahli waris maka dia dipandang cakap untuk mewarisi harta tersebut. Asas membagi habis harta warisan makna dari asas isi adalah membagi semua harta warisan hingga tidak tersisa. 

Sebelum datangnya kewarisan Islam, sudah berlaku sistem kewarisan pada zaman jahiliyah dan awal Islam. Pada zaman jahiliyah mengenai pembagian harta warisan, dalam membagi harta warisan orang-orang jahiliyah berpedoman kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun menurun. Berdasarkan tradisi yang ada, bahwasanya anak yang belum dewasa dan kaum perempuan tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan dari yang telah meninggal. Adapun dasar yang menjadi sebab mendapatkan warisan pada zaman jahiliyah yaitu; al-Qarabah atau hubungan kekerabatan, al-Hilf mu'aqadah atau janji setia, dan at-Tabanni atau adopsi (pengngkatan anak).

Islam datang dan menyempurnakan kewarisan yang ada pada zaman jahiliyah, yaitu; dalam Islam semua anak yang belum dewasa (bahkan anak yang masih di dalam kandungan), anak perempuan atau kaum perempuan berhak mendapat harta warisan. Kemudian dalam waris Islam, istri orang yang meninggal dunia tidak boleh diwariskan, karena pada hakekatnya suatu pernikahan tidak boleh dipaksa. Sebab-sebab mewarisi pada zaman juga jahiliyah telah dihapus dan disempurnakan oleh hukum Islam. Dan yang terakhir, dalam Islam anak angkat tidak saling mewarisi dengan orang tua angkatnya.

Hukum waris Islam mempunyai keistimewaan dan karakteristik dibandingkan hukum waris lain. Keistimewaan yang terdapat dalam hukum waris Islam yaitu; tidak menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang mewariskan seluruh harta peninggalan untuk diwasiatkan kepada orang yang dipilih pewaris.

Tetapi dalam waris Islam menetapkan batasan maksimal yaitu sepertiga dari harta waris, tidak melarang kepada bapak atau derajat yang lebih atas untuk mewarisi bersama dengan anak yang meninggal dan tidak melarang istri mewarisi harta suami atau sebaliknya, tidak mengistimewakan dalam pemberian harta peninggalan kepada satu macam pewaris saja, tidak menolak anak-anak yang belum dewasa atau kaum perempuan untuk menerima warisan, dan tidak membenarkan anak angkat dan orang yang melakukan janji setia untuk mendapat warisan.

Selain memiliki keistimewaan, hukum kewarisan Islam juga memiliki karakteristik. Adapun karakteristik hukum kewarisan islam yaitu; pertama, menyangkut masalah perorangan (furudh atau quantum), yaitu bagian yang tertentu dan dalam kekadaan tertentu pula, yang tentu telah diatur sedemikian rupa sehingga tampaklah faktor keadilan. Kedua menyangkut variasi pengurangan perolehan, oleh karena adanya faktor-faktor tertentu, yaitu jumlah dzawil furudh yang lebih kecil karena dzawil furuhdh yang lainya.

Rasulullah SAW, memerintahkan dan mengajarkan hukum kewarisan Islam (faraidh), agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam membagi harta warisan, lantaran ditakutkan ketiadaan ulama yang menguasai ilmu hukum waris (faraidh). Oleh karena hal tersebut sangatlah penting, maka sampai-sampai hukum mempelajari ilmu faraidh ini adalah fardhu khifayah (wajib bila ada orang yang telah melaksanakanya, jika tidak seorangpun maka semua berdosa).

Adapun untuk rukun-rukun dalam waris Islam yaitu; harta warisan, pewaris, dan ahli waris. Tentu jika terdapat rukun juga terdapat syarat, adapun syarat-syarat mendapat warisan dalam waris Islam yaitu; orang yang mewariskan (muwarris) sudah meninggal' orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup pada saat kematian pewaris, tidak ada penghalang untuk mendapat warisan, dan tidak terhijab atau tertutup oleh ahli waris yang lebih dekat. Dan sebab-sebab terjadinya mewarisi dalam Islam yaitu; hubungan kekeluargaan, hubungan perkawinan, hubungan agama, dan hubungan wala' (sebab memerdekakan budak).  

Dalam hukum waris Islam seorang ahli waris bisa jadi tidak bisa untuk mendapatkan waris. Sebab-sebab terhalang mendapat warisan yaitu; pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari pewarisan yang telah dibunuhnya, orang kafir tidak berhak mendapat warisan dari pewaris yang beragama Islam, dan perbudakan. Sebelum melaksanakan pembagian waris terdapat hak-hak yang terlebih dulu harus diselesaikan, hak-hak yang berhubungan dengan harta warisan yaitu; biaya perawatann yang masih terhutang, biaya penyelenggaraan jenazah, membayar hutang-hutang pewaris, dan melaksanakan wasiat pewaris. 

Dan kewajiban ahli waris terhadap pewaris, yaitu; mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman selesai, menyelesaikan hutang pewaris, menyelesaikan wasiat pewaris, dan membagi harta warisan kepada ahli waris yang berhak.

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia memiliki hubungan darah dan atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Dilihat dari bagian yang diterima, atau berhak tidaknya mereka menerima warisan, ahli waris dibedakan menjadi tiga, yaitu; dzawil furudh (ashab furudh), ashabah, dan dzawil arham. 

Dzawil furud atau ashab furudh adalah mereka yang mempunyai bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur'an. Ahli waris ashabah di dalam bahasa arab adalah anak laki-laki dari kaum kerabat dari pihak ayah. Ahli waris dzawil arham adalah orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan pewaris, namun karena ketentuan nash tidak mendapat bagian, maka mereka tidak berhak mendapat bagian, kecuali ahli waris dari ashab furudh dan ashabah tidak ada.

Sebelum harta warisan dibagikan, terdapat hal-hal yang perlu diselesaikan, yaitu; pemisahan dari harta bersama, biaya penguburan mayit, melunasi hutang-hutang, dan pelaksanaan wasiat.

Terdapat beberapa cara terkait menyelesaikan proses pembagian harta warisan, yaitu; menghitung harta warisan dengan sistem asal masalah, yaitu untuk membagi warisan kepada ahli waris harus ditentukan terlebih dahulu siapa saja ahli warisnya dan berapa bagian masing-masing, menghitung harta warisan dengan sistem perbandingan, yaitu yang dibandingkan adalah seluruh bagian ahli waris satu sama lain, pembagian 'aul adalah bertambahnya jumlah ashabul furudh yang menyebabkan hak warisnya berkurang.

Apabila hal ini terjadi maka yang dilakukan dalam pembagian waris adalah menambah asal masalah, pembagian masalah rad, yaitu mengembalikan sisa dari harta warisan setelah bagian tetap kepada ashabul furudh secara proporsional apabila tidak ada ashabah, dan terakhir pembagian masalah umariyah, adalah salah satu bentuk masalah kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan jumhur ulama'. 

Cara lain pembagian kewarisan menurut KHI, yaitu; perdamaian, penggantian kedudukan, anak zina dan anak li'an, pembagian warisan ketika pewaris masih hidup, sistem kewarisan kolektif, pewaris meninggalkan istri lebih dari seorang, dan pewaris tidak memiliki ahli waris.

Waris Islam juga mengatur mengenai hukum waris yang terjadi pada kondisi atau keadaan yang berbeda atau tidak pada umumnya. Terdapat kewarisan dalam bentuk tertentu, yaitu; kewarisan khunsa, kewarisan janin dalam kandungan, kewarisan orang hilang, kewarisan mati bersama, dan kewarisan anak hasil zina dan anak mula'anah. Kewarisan khunsa, khunsa adalah orang yang mempunyai dua alat kelamin baik itu laki-laki maupun perempuan. Pada redaksi lain dikatakan, khunsa adalah seseorang yang diragukan apakah dia laki-laki atau perempuan karena dia meiliki keduanya atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. 

Ulama faraidh berbeda pendapat tentang bagian warisan khunsa musykil, yaitu: Pendapat pertama, yaitu pendapat Ibnu Abbas yang kemudian diikuti Ahmad, Al-Sya'bi, Ibnu Abi Laila, Al-Tsauri, Ahli Madinah dan Makkah, Abu Yusuf, Syarcik, al-Lu'lu dan beberapa ulama lainnya, bahwa khunsa musykil ini menerima hak separuh hak laki-laki dan separuh hak perempuan. 

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya, bahwa khunsa muykil itu menerima jumlah minimum dari kemungkinannya sebagai laki-laki atau ia sebagai perempuan. Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Syafi'i dan diikuti oleh Abu Tsaur, Daud, dan Ibnu Jarir, bahwa khunsa musykil dan orang yang bersamanya mendapat yang meyakinkan sampai ada kepastian jenis kelaminnya atau sampai mereka bersama memutuskan secara damai.

Kewarisan janin dalam kandungan, bayi dalam kandungan juga berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya yang telah meninggal, hal ini sejalan dengan prinsip bahwa bayi dalam kandungan memenuhi ketentuan sebagai subjek hukum karena telah memenuhi persyaratan. 

Cara membagi warisan anak dalam kandungan dapat dilakukan; pertama, tidak usah dibagi dahulu sebelum anak yang dalam kandungan itu lahir. Ini tidak menimbulkan kesulitan, karena sudah diketahui, apakah janin itu lahir dalam keadaan sudah meninggal atau dalam keadaan hidup, dan jenis kelaminnya juga telah jelas. Kedua, harta peninggalan si pewaris tersebut segera dibagikan tanpa menunggu kelahiran anak yang masih dalam kandungan. Ini agak rumit, karena tidak diketahui, apakah janin itu dilahirkan dalam keadaan hidup atau meninggal, dan belum jelas kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan. 

Kewarisan orang hilang (mafquf), orang hilang atau dalam fiqh disebut mafquf adalah orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. Kewarisan mati bersama, yang dimaksud mati bersama atau mati beruntun adalah orang-orang saling mewarisi sekaligus meninggal, tidak diketahui siapa diantara mereka siapa yang meninggal terlebih dahulu, dan siapa yang belakangan. Ada beberapa cara untuk penyelesaian pembagian harta warisan yang ahli warisnya ada yang mafqud, yaitu; pertama, dikerjakan dahulu beberapa bagian mereka masing-masing sekiranya si mafqud dianggap masih hidup. Kedua, dikerjakan lagi beberapa bagian mereka masing-masing sekiranya si mafqud dianggap sudah mati. Kemudian dari dua pekerjaan tersebut, maka para ahli waris diberikan bagian ah yang terkecil dari dua perkiraan. Sisanya ditahan untuk si mafqud sampai persoalannya menjadi jelas, baik melalui vonis pengadilan, maupun karena kadaluwarsa masa tunggu.

Kewarisan anak hasil zina dan anak mula'anah, anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan diluar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, sedangkan anak mula'anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang di li'an oleh suaminya. Anak hasil zina dan anak mula'anah ini hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibu dan keluarga ibunya.

Pada waris Islam terdapat beberapa istilah-istilah yang berhubungan denganya, yang akan dibahas disini adalah wasiat dan hibah. Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa benda, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat sebagai pemberian yang berlaku setelah wafatnya orang yang berwasiat. Menurut Kompilasi Hukum Islam, wasiat yaitu pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Sebagaimana halnya hibah, bahwa dalam hal wasiat ini juga merupakan perbuatan sepihak, dengan kata lain tidak ada kontrak prestasi dari pihak penerima.

Hikmah adanya wasiat, yaitu sebagai berikut; wasiat dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah SWT, wasiat dapat menambah kebaikan pewasiat, wasiat dapat menolong dan memberikan keluasan ekonomi kepada penerima.

Adapun rukun (unsur) wasiat, yaitu; pertama, pewasiat (al-Muhshi). Syarat pewasiat adalah orang yang berakal dan sudah dewasa, mukallaf, dan tidak dipaksa orang lain." Menurut Kompilasi Hukum Islam, syarat Pewasiat telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan. Kedua, penerima wasiat, syarat penerima wasiat, yaitu; dia bukan ahli waris yang memberikan wasiat, orang yang diberi wasiat ada pada saat pemberi wasiat mati, baik mati secara benar-benar maupun mati secara perkiraan, dan penerima wasiat tidak membunuh orang yang diberi wasiat. 

Ketiga, harta yang diwasiatkan, syarat harta yang diwasiatkan, yaitu; objek yang diwasiatkan bisa berupa semua harta yang bernilai, harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi sepertiga dari harta peninggalan/warisan, kecuali apabila semua ahli waris setuju, harta benda yang diwariskan harus merupakan hak dari pewasiat, dan kepemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan ketikaa pewasiat meninggal. Redaksi (sighat) wasiat.

Dalam wasiat ini, juga terdapat hal-hal atau kondisi dimana wasiat dapat batal, wasiat menjadi batal apabila; calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena: a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat; 

b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat; c) Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; d) Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat. 

Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a) Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampal la meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; b) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya; c) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pemah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. 

Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah. Pencabutan wasiat pencabutan wasiat telah diatur dalam Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali. 

2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan. 3) Apabila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta Notaris. 4) Apabila wasiat dibuat berdasarkan akta Notaris maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta Notaris.

Wasiat dalam keadaan tertutup, wasiat dapat dilakukan dengan keadaan tertutup, dengan ketentuan sebagai berikut:1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya. 2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewaris.

Beberapa ketentuan teknis wasiat, beberapa ketentuan teknis wasiat sebagai berikut: 1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu. 

2) Jika surat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat, dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini. 3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

Terdapat larangan yang ada pada wasiat, Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang larangan wasiat sebagai berikut: 1) Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya kecuali ditentukan secara tegas dan jelas untuk membalas jasanya. 2) Wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi akta tersebut.

Dalam wasiat ada yang namanya wasiat wajibah, pengertian wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. 

Dinamakan wasiat wajibah, disebabkan dua hal, yaitu; a. hilangnya unsur ikhtiar pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan, tanpa tergantung kepada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan penerima wasiat, b. adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

Adapun orang yang berhak menerima wasiat wajibah, menurut Fatchur Rahman, orang yang berhak menerima wasia wajibah adalah; cucu-cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau nenek. Mereka diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar-kecilnya bagian orang tuanya sangat tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya yang mewarisi, maka ada kemungkinan, bagian orang tuanya yaitu: 1/5, 1/4, 1/3, atau 1/2 harta peninggalan. 

Hanya saja jika besarnya melebihi dari 1/3 harta peninggalan, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Kendati pun cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata berdasarkan mempusakai (dengan fardh atau 'ashabah), tetapi berdasarkan wasiat wajibah. Oleh karenanya memberikan bagian kepadanya harus didahulukan daripada membagikan kepada ahli waris dan bahkan harus didahulukan daripada pelaksanaan wasiat ikhtiariyah.

Istilah selanjutnya yang sering berkaitan dengan waris yaitu hibah. Hibah adalah suatu pemberian yang bersifat sukarela, tanpa mengharapkan adanya kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Hal inilah yang membedakan dengan wasiat. Menurut Kompilasi Hukum Islam, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Hibah hukumnya mandub (dianjurkan) sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Nabi Saw. bersabda: "saling memberi hadiahlah kalian niscaya akan saling mencintai". Rukun Hibah, Rukun hibah ada empat, yaitu: 1) Orang yang menghibahkan, 2) Harta yang dihibahkan, 3) Lafaz hibah (ijab kabul), dan 4) Orang yang menerima hibah.

Adapun syarat hibah, yaitu: 1) Syarat orang yang menghibahkan, yaitu; a) Orang yang cakap bertindak hukum; balig, berakal dan cerdas, oleh karena itu, anak kecil dan orang gila tidak sah hibahnya, karena mereka termasuk orang yang tidak cakap bertindak hukum. Menurut Kompilasi Hukum Islam, untuk kepastian hukum maka standar umur orang yang menghibahkan adalah telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, dan berakal sehat, b) Pemilik apa yang dihibahkan, c) Bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan."dihibahkan, d) Tidak ada paksaan, e) Dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan orang saksi untuk dimiliki. 

2) Syarat harta yang dihibahkan, yaitu; a) Benar-benar ada, b) Harta yang bernilai, c) Dapat dimiliki zatnya, yakni apa yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya dan kepemilikannya dapat berpindah tangan, d) Tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah dan wajib dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya. 3) Syarat lafaz hibah (Ijab Kabul) harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak, tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan.

Pernyataan ijab kabul dapat dilaksanakan baik lisan maupun tertulis. 4) Syarat penerima hibah, orang yang berhak sebagai penerima hibah harus benar-benar sudah ada. Sehingga bayi di dalam kandungan tidak diperkenankan menerima hibah. Sebagai penerima hibah ia tidak dipersyaratkan harus sudah dewasa atau berakal sehat.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga sudah mengatur mengenai ketentuan hibah, adapun ketentuan hibah menurut Kompilasi Hukum Islam, diantaranya: 1) Orang yang menghibahkan telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, tanpa paksaan. 2) Harta yang dihibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. 3) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

4) Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. 5) Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepadaanaknya. 6) Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. 7) Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini (Pasal 210-214).

Tentu terdapat hikmah dan manfaat akan disyariatkannya hibah ini, adapun hikmah dan manfaat hibah adalah sebagai berikut: 1) Memberi hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan.

Hibah yang dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw.: "saling memberilah kalian,karena pemberian (hibah) itu dapat menghilangkan sakit hati (dengki)". 2) Hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi dan menyayangi. Abu Ya'la meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw. bersabda: "Saling memberilah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai". 3) Hibah atau hadiah dapat menghilangkan rasa dendam. Dalam sebuah hadis dari Anas r.a., Nabi Saw. bersabda: "Saling memberi hadiahlah kalian, karena sesungguhnya hadiah itu dapat mencabut rasa dendam".

Setelah membaca serta memahami buku ini, dapat saya tarik kesimpulan bahwasanya buku ini menjelaskan mengenai hukum kewarisan Islam di Indonesia, baik itu pengertian, sejarahnya, unsur-unsur, hal-hal yang menyangkut waris, dan lain sebagainya. Dalam penyampaian isi materi pun sangat rinci, bahkan dapat dilihat pada dartar isi sangatlah padat. Sebagai pembaca saya sangat termotivasi dan banyak mendapatkan tambahan pengetahuan baru mengenai waris.

Selain memiliki kelebihan diatas, buku ini menurut saya juga memiliki kekurangan yaitu seperti bahasa yang sulit dipahami bagi seorang yang baru belajar (pemula), serta tidak dicantumkannya hadist dalam tulisan arab sedangkan pada ayat al-Qur'an dicantumkan, dan terkadang terdapat kalimat yang sulit dipahami apa maksud atau inti dari kalimat tersebut. 

Adapun alasan saya memilih untuk mereview buku yang berjudul "Hukum Kewarisan Islam di Indonesia" karya Dr. Mardani, karena buku ini menarik untuk saya pelajari dan saya baca tentunya karena membahas waris Islam, dengan harapan dapat menambah wawasan serta ilmu mengenai hukum kewarisan Islam yang ada di Indonesia. (MUHAMMAD AZMI_HUKUM KELUARGA ISLAM_4D_212121140)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun