Mohon tunggu...
Muhammad Azmi
Muhammad Azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Olahraga dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan Wanita Hamil

1 Maret 2023   21:26 Diperbarui: 1 Maret 2023   21:28 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ulama Hanafiyyah, berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil apabila yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamili wanita tersebut. Argument ini beralaskan karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan pada Q.S. An-Nisa' ayat 22, 23, 24.

Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa hukumnya juga sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik itu yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya. Alasannya sama dengan pendapat Ulama Hanafiyyah ditambah karena akad nikah yang mereka lakukan itu hukumnya sah, dan halal hukumnya disetubuhi walaupun dalam keadaan hamil. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menganggap bahwa pernikahan itu dianggap sah karena tidak terikat dengan pernikahan lain (tidak ada masa iddahnya).

Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita dalam keadaan hamil akibat zina, walaupun yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, apalagi yang bukan menghamilinya.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui hamil karena berbuat zina, baik dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, terlebih-lebih dengan laki-laki yang menghamilinya. Kecuali wanita tersebut sudah memenuhi dua syarat berikut: pertama, telah habis masa iddahnya, yakni sampai ia melahirkan. Kedua, telah benar-benar bertaubat dari perbuatan zina.

Tinjauan Secara Sosiologis, Religious dan Yuridis Pernikahan Wanita Hamil

Tinjauan Sosiologis

 Hamil sebelum adanya atau terjalin pernikahan (hamil diluar nikah) dianggap aib di dalam keluarga, oleh karena hal itulah mayoritas di Indonesia jika terdapat wanita yang telah hamil diluar nikah guna menghapus aibnya segera dinikahkan. Pernikahan atau perkawinan wanita hamil ini memang boleh, baik dalam hukum Islam maupun UU yang berlaku di Indonesia. Namun jika dilihat dari sisi sosiologis, hal tersebut justru yang menjadi atau berpotensi dapat diremehkannya perbuatan zina, yang mana hamil diluar nikah dalam perspektif ini (bukan pemerkosaan) merupakan akibat dari perbuatan zina. Alasan hal tersebut (zina) kemungkinan dapat dianggap remeh bagi orang yang "nakal" karena jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sudah ada solusi akan hal tersebut. Hal itu tentu tidak sebanding dengan harapan para ulama' yaitu dilaksanakan perkawinan atau pernikahan tersebut diharapkan calon mempelai (laki-laki dan perempuan) dapat menyesali dan bertaubat dengan sungguh-sungguh (nasuha) dari dosa besar yang telah mereka lakukan. 

Tinjauan Religious

 Pernikahan wanita hamil merupakan suatu perkawinan yang dilakukan karena didahului sebab atau adanya unsur "perzinaan" yang karena hal tersebutlah terjadi kehamilan diluar atau sebelum perkawinan yang sah. Berdasarkan Hukum Islam, sebuah perkawinan sudah dianggap sah jika dalam perkawinan tersebut telah terpenuhi syarat maupun rukun yang sesuai hukum Islam. Menurut ulama' empat madzhab (Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali) yang populer di Indonesia, mengenai khasus pernikahan wanita hamil mereka berpendapat bahwa pernikahan atau perkawinan keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah sah dan boleh bercampur sebagai suami istri pada umumnya. Hal itu karena hamil sebelum nikah bukanlah termasuk hal yang menyebabkan seorang wanita haram untuk dinikahi, meskipun jika hal tersebut (hamil diluar nikah) jika disebabkan karena perzinaan (bukan pemerkosaan) tentu hal tersebut (perzinaan) merupakan hal yang dilarang dan haram dalam agama Islam. Sedikit berbeda dengan pendapat Ibnu Hazm (Zhahiriyah), menurutnya keduanya (laki-laki dan perempuan) jika dinikahkan adalah sah (boleh) dan boleh juga bercampur, namun karena keduanya telah berzina maka harus memenuhi ketentuan yaitu, telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk).

Tinjauan Yuridis

 Dalam tinjauan dari segi yuridis, pada pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah memberi kemudahan bagi umat Islam di Indonesia karena pada pasal tersebut membolehkan pernikahan atau perkawinan wanita hamil. Dan pada UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, persoalan mengenai perkawinan wanita hamil tidak diatur secara jelas, artinya apabila atau selama telah terpenuhi syarat beserta rukun perkawinan yang ada pada UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka hukum pernikahan wanita hamil adalah sah. Pernikahan atau perkawinan wanita hamil boleh dilakukan, baik dikawinkan dengan laki-laki yang harusnya bertanggung jawab (yang menghamili) maupun dengan orang lain yang bersedia (menghendaki). Apabila anak yang dikandung sudah lahir, tidak perlu dilakukan atau dilaksanakan perkawinan ulang. Mengenai kedudukan maupun anak tersebut, apabila telah dilakukan perkawinan yang sah (sesuai peraturan yang berlaku) adalah anak sah karena ia lahir dari perkawinan sah antara ayah dan ibunya. Hal tersebut berdasarkan pada pasal 99 KHI dan Pasal 42 UUP mengenai anak sah, anak sah ialah anak yang dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah. Kendati demikian, dalam Hukum Islam agar dapat dinasabkan anak tersebut kepada ayahnya, anak yang lahir dari pernikahan ibunya yang hamil diluar nikah itu harus lahir paling tidak atau minimal 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun