Mohon tunggu...
Muhammad Aziz Rizaldi
Muhammad Aziz Rizaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengangguran

Berusaha dan terus bergerak untuk berdampak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Negara Hukum yang Bobrok

20 Maret 2022   03:15 Diperbarui: 20 Maret 2022   05:50 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: iStockphoto

Indonesia merupakan negara hukum perihal tersebut tercantum pada UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: "Negara Indonesia adalah Negara hukum". 

Sumber dasar hukum di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila ini menjadi benih hukum di Indonesia. Hukum diterapkan untuk ditaati dan dijauhi larangannya. Jika, salah satu warganya melanggar maka dikenai hukuman sesuai pasal yang berlaku. 

Hukum juga digunakan sebagai pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita bangsa yang meliputi suasana serta watak sumber daya bangsa Indonesia. Jelas cita-cita hukum kita sudah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memerdekakan individu, kemerdekaan bangsa atau negara, perikemanusiaan, keadilan sosial, dan perdamaian nasiomal yang merupakan sebuah hak dan kewajiban dari seluruh warga Indonesia.

Semasa kecil, ada sebuah  cerita  tentang pencuri kayu bakar yang sudah berusia rentan  dan ada pencuri uang rakyat yang jumlahnya jelas kita tidak pernah melihat secara langsung. 

Pencuri kayu bakar ini merupakan seorang nenek-nenek yang sedang mencari kayu bakar di kebun tetangga dan dilaporkan sebagai tindak pencurian. Padahal kayu yang dibakar merupakan kayu-kayu yang berserekan dan tak ada harganya namun tetap dituntut di meja hijau dan dipenjarakan selama 6 tahun. 

Sedangkan, sang koruptor-maling uang rakyat yang diam-diam melakukan tindak korupsi uang gepokan milik rakyat  hanya dipenjara 2,5 tahun dan fasilitas buinya bak hotel bintang 5 yang tak mungkin terjangkau di kantong nenek itu. Itulah gambaran hukum fiksi di Indonesia.

Membuka Jendela Praktik Hukum dan Demokrasi di Indonesia 23 Tahun yang Lalu

Kita tahu Polisi, Tentara, Hakim, Jaksa, dan lain-lain merupakan alat terlaksananya hukum di Indonesia. Mereka mempunyai wewenang dan kewajiban masing-masing. Tapi, apakah sepenuhnya mereka paham dan menerapkan hitam di atas putih ke dunia nyata? 

Tidak, penulis mengatakan begitu karena praktik di lapangan sangat berbeda jauh dengan apa yang ada dalam teori. Mari kita lihat 23 tahun ke belakang saat Orba masih berkuasa. 

Saat militer masih memiliki sifat istimewa yaitu dwifungsi ABRI. Saat itu mahasiswa menuntut reformasi dan menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai presiden. Massa sangat beapi-api dalam bergerak menuju gedung DPR untuk menuntut hal tersebut. 

Banyak ABRI yang berkerumun mengawal aksi tersebut. Apakah mereka mengayomi masyarakat dengan berpegang teguh pada hukum dan demokrasi? Tidak sama sekali. ABRI saat mahasiswa tengah membara justru mengeluarkan senjatanya dan melesatkan peluru-pelurunya. Terutama di Universitas Trisakti para oknum membrondong Universitas tersebut dengan alasan mahasiswa tidak boleh ikut-ikutan politik. 

Apakah pelanggaran yang dilakukan oknum ABRI diusut? Tidak, tidak ada yang berani mengungkap kejadian tersebut ke jalan hukum. Setiap kali dibawa ke meja hukum kasus tersebut langsung ditutup. Padahal itu merupakan pelanggaran HAM yang berat karena negara kita ini merupakan negara demokrasi. 

Semua orang bebas berpendapat, mengkritisi, berorasi demi kebaikan bangsa. Namun, mereka bersifat diktator dan main sepihak. Apakah ini yang dinamakan negara hukum?

Pejuang-pejuang kemanusiaan yang mempertahankan hukum justru ditangkapi dan diculik oleh alat hukum. Lebih parahnya lagi mereka dihukum tanpa diadili. Bahkan, ada sebagian yang sampai saat ini hilang tak tahu rimbanya. Seperti Widji Tukul yang merupakan seorang aktivis yang giat mengkritisi pemerintahan kala itu dengan puisi-puisi tajamnya. Sampai saat ini hilang tanpa ada jejak. 

Ada Petrus Bima Anugrah yang juga merupakan seorang aktivis sampai saat ini tak diketahui jejaknya. Padahal mereka tengah memperjuangkan hak bernegara, yaitu berpendapat dan berusaha untuk memperbaiki tatanan negara yang tengah kacau. Mereka memperjuangkan demokrasi yang malah dicekal oleh alat hukum. 

Praktik seperti itu sebenarnya merupakan praktik negara yang berideologi Komunisme /marxisme. Namun, anehnya ideology itu diselimuti oleh garuda bersayap 17. Mereka tidak mempraktikan hukum secara prosedur namun mereka melakukan tindakan sesuai dengan perintah atasan. 

Apakah itu dapat dikatakan sebagai negara yang berpegang teguh pada hukum? Tentu tidak, dalam negara hukum ada prosedur penangkapan, pemeriksaan, penetapan tersangka, dan penetapan hukuman. Bukan seperti yang telah ditulis di atas.

Uang merupakan Penangkal Hukum

Kita semua tahu para koruptor yang berada di lapas Cipinang. Mereka pernah disidak oleh Najwa Shihab dan betapa mengejutkannya mereka dapat memegang HP, Laptop, AC, Kulkas, TV, dan barang lain yang sebenarnya tidak boleh berada di penjara. Mereka masih bisa mengendalikan usaha yang berada di luar. 

Bahkan pernah ada tahanan yang ketahuan tengah berlibur. Pada akhirnya muncul pertanyaan di otak penulis. Apakah semudah itu ke luar masuk penjara? Apakah sipir di sana semua lengah? Atau malah para sipir ini menerima suap?

Sangat ironi sekali dengan apa yang tertulis di draf tebal yang berisi aturan-aturan yang dipelajari calon sarjana hukum jika memang praktiknya nol besar. Memang uang merupakan majikan orang. Dengan uang semua 86.  Hukuman yang berlaku bahkan hanya 1-4 tahun saja. Apakah itu membuat jera? Dengan segala fasilitas-fasilitasnya? Justru membuat betah. 

Apakah sebobrok ini hukum di Indonesia? Coba saja kita mengacu Korea Utara yang tidak pandang bulu pada penegakan hukum. Para koruptor langsung dihukum mati. Nyatanya buat apa orang-orang seperti itu? Sama-sama residivis namun berdasi dan dapat menduduki jabatan penting lagi setelah keluar.

Yang paling baru adalah seorang selebrgram yang diketahui kabur dari karantina dan menyuap sejumlah 40 juta kepada oknum agar bisa bebas karantina dan pergi berpesta. Hanya dengan uang 40 juta dia bisa bebas dan membahayakan masyarakat di sekitarnya. Apalagi setelah bebas karantina dia langsung dugem dan bermain di klub malam. 

Apakah tidak ada potensi penyaluran COVID-19? Jelas masih ada kemungkinan dapat menularkan. Yang lebih parah lagi ia dibebaskan dengan alasan terlalu sopan kepada hakim dank arena dia bukan PNS maka diperbolehkan menyuap.

Membuka Jendela Hukum Masyarakat Jelata

Kita pernah mendengar tentang berita nenek pencuri kayu bakar di lahan sendiri. Kayu bakar tersebut merupakan sampah yang tidak mungkin digunakan sebagai bahan bangunan. Bahkan, jikalau nenek itu tidak mengambilnya maka kayu tersebut akan lapuk dan tidak termanfaatkan. 

Padahal nenek ini merupakan keluarga yang sangat tidak mampu dan sedang butuh kayu bakar untuk memasak karena beliau belum punya kompor gas. Niat si nenek hanyalah demikian. 

Namun, apa yang terjadi? Nenek itu dituduh pencuri dan dijerat dengan 2 juncto Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun penjara. Asyani berdalih kayu itu miliknya yang diperoleh dari lahannya sendiri di Dusun Secangan, Situbondo. Memang sangat ironis hukum di Negara yang menjadikan hukum sebagai landasan tertinggi, namun buktinya hanyalah penderitaan bagi mereka yang miskin.

*****

Perlu ditegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang berazazkan demokrasi. Indonesia merupakan negara hukum perihal tersebut tercantum pada UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: "Negara Indonesia adalah Negara hukum". 

Sumber dasar hukum di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila ini menjadi benih hukum di Indonesia. Namun, itu hanya hitam di atas putih saja. Hukum yang berjalan di dunia nyata digerakan semaunya sendiri. Bahkan hukuman bisa dibeli dengan mudah oleh orang-orang yang berduit. Bahkan di Indonesia ada orang-orang yang kebal hukum. 

Mereka melakukan pelanggaran apa saja namun tidak pernah dihukum walaupun semua orang sudah tahu dia penjahat. Berbeda dengan rakyat kecil, mereka selalu didiskriminasi oleh hukum. Sekecil apapun kesalahan mereka akan berakibat fatal di meja hijau dengan vonis yang tidak adil. 

Katanya negara Pancasila? Tapi kok "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" hanya berlaku bagi orang-orang yang mampu. Memang sudah bobrok negeri ini. Benar kata Tere Liye jika negara ini sudah berada di ujung tanduk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun