Surip, seorang yang bermata pencaharian sebagai pemecah batu di sungai Klawing. Sungai yang memeluk kaki Gunung Slamet sebelah utara sampai ke Pantai Cilacap. Bantaran sungai Klawing masih berupa hutan lindung yang selalu dijaga oleh Polisi Hutan. Surip bermukim di rumah kumuh yang berlantaikan tanah di desa Dayan. Desa yang padat dengan pemukiman penduduk. Desa itu dipenuhi dengan rumah yang saling bersaing untuk mencakar langit, serba megah. Namun, di sisi utara masih banyak pemukiman kumuh seperti yang ditempatinya sekeluarga.
Adzan Azhar mendengung di langit Klawing. Surip bergegas memecahkan batu itu cepat-cepat agar bisa beristirahat. Dengan baju yang disampirkan ke bahu terlihat tulang kering yang hanya diselimuti oleh kulit keriputnya. Tapi, tenaga Surip sangat luar biasa. Dalam setengah hari ia mampu memecah batu sampai sebakul dan membawanya ke bantaran sungai. Setiap bekerja ia tak pernah sendiri. Ada beberapa orang yang memiliki kegiatan serupa. Di bantaran sungai sudah ada Yu Sal yang menjajakan hasil tangannya. Sebuah warung yang menjadi langganan orang-orang sungai.
Pekerjaannya telah usai dan Surip menepi ke warung Yu Sal untuk mengisi perutnya yang telah mengempis. Ia hanya memesan kopi, gorengan dan ketupat. Saat makanan telah dihadapannya barulah ingat bahwa ternyata ia tak memiliki uang. Ia merogoh semua saku celana yang setengah bolong itu. Bahkan sampai ke sela-sela pun ia tak menemui satu butir uang yang diharapkan. Mukanya tambah loyo.
"Itu lo, kopinya keburu dingin" Yu Sal memerintahkan Surip agar segera menenggak kopi buatannya. Tapi, mukanya juga agak bingung dengan kelakuak Surip yang tak seperti biasanya.
"Hehe, iya, Yu. Tapi, aku lupa ternyata nda punya uang untuk bayar" Jawab Surip dengan muka loyo yang dihiasi senyum gigi yang kuning.
"Oooo, tidak apa-apa. Banyak pelangganku yang sering hutang. Yang paling sering ya itu, temenmu si Kurim." Jawab Yu Sul dengan muka kecut dan jarinya menunjuk ke arah kurim yang tengah merampungkan pekerjaannya di sungai.
Perasaan tidak enak semakin mencuat di hati Surip ketika melihat muka masam Yu Sul. Tapi, bagaimana lagi perutnya sudah keroncongan, matanya sudah berkunang, kepalanya sudah sedikit miring karena terasa sangat pusing. Kalau tidak segera diisi ya semaputlah Dia. Ya, terpaksa dimakan dan minumlah pesanan itu.
"Aku bayar besok, ya, Yu, kalau batuku udah diambil juragan" Surip berkata dengan perasaan tidak enak yang menyelubungi hatinya.
"Iya, santai saja. Toh, kamu setiap hari di sini. Pastilah aku percaya padamu" Jawab Yu Sal sambil tersenyum cantik. Memang Yu Sul ini merupakan seorang janda muda yang baru cerai. Suaminya hanya judi nomer, sabung ayam, mabuk-mabukan dan bermain wanita. Mungkin karena itulah mereka berdua berpisah.
Surip kembali lagi bertemu dengan palu yang menjadi kekasihnya setiap hari. Dipukul-pukulkan palu itu ke bongkahan batu yang besar sehingga pecah. Pecahan batu itulah yang menjadi ladang penghidupan keluarga mereka. Tapi, ya itu dengan pecahan batu hidupnya hanya bisa pas-pasan bahkan banyak hutang untuk berobat jalan Si Midah, anaknya, di mana-mana yang masih terus memburunya seperti peluru yang tepat mengenai kepala sasarannya. Begitu ditagih langsung duarr, terasa meledak kepala itu karena ia tak punya uang untuk menutup.
Ia selalu bergairah saat memukul bebatuan besar itu. Ia tak pernah berpikir untuk mengubah jalur hidupnya yang terlalu melelahkan untuk dirasa. Tak dirasa ternyata pecahan batu tadi sudah memenuhi bakul dan ia langsung cekatan untuk mengangkatnya. Saat tengah memikulkan bakul ke punggungnya terasa encok di pinggulnya dan ia langsung terguling, semua batu tadi tercecer kembali ke sungai. Bahkan ada yang terbawa arus. Teman-temannya hanya menertawai lelaki paruh baya itu. Surip hanya membalas dengan senyum kecut sekecut tubuhnya.
"Jangan memaksakan, Rip. Badanmu telah dimakan beban. Ayolah makan dulu" Ajak Wasdi tetangga yang selalu menjadi teman berkeluhnya.
Surip hanya tersenyum tanpa kata. Wasdi langsung mendekat dan membantu Surip bangun. Mereka berdua langsung mengumpulkan ceceran batu berharga itu ke bakulnya.
"Kamu udah makan siang, Rip?" Tanya Wasdi serius karena iba melihat Surip yang tengah kelelahan
"Sudah tadi, Di" Jawab Surip tersenyum.
"Aku berani jamin kamu belum makan siang. Aku liat sendiri tadi kamu hanya makan sepotong kupat dan gorengan. Dan tidak cukup menambah tenagamu, Rip. Ayolah makan, aku tau kau tak bawa uang." Â Ledek Wasdi dengan senyum seperti keledai.
"Iya aku tidak bawa uang. Tepatnya aku tak punya uang hari ini." Jawab Surip sambil tertunduk. Senyumnya hilang karena itu.
"Ayolah, makan bersamaku. Mumpung kemarin batuku laku satu kibik. Buat makan kamu tak ada artinya lah." Paksa Wasdi agar Surip tetap mau makan bersamanya.
Dengan tertunduk Surip menerima tawaran itu. Mereka berdua naik ke warung Yu Sal meninggalkan batu yang telah dikumpulkan tadi. Demi sesuap nasi yang akan menjadi pasokan nutrisi mereka berdua agar bisa menghidupi keluarga kecil mereka.
"Yu, buatkan kopi 2 dan rames lauknya biasa." Perintah Wasdi ke Yu Sal.
"Iya, Mas, ini tek buatkan" Jawab Yu Sal sembari membuka saset kopi dan menyeduhnya.
"Loh, tadi kan sudah makan toh, Mas Surip?" Tanya Yu Sal ke Surip.
"Iya, Yu" Jawab Surip dengan senyum.
"Hahahaha, iya tadi si Surip terjatuh ketika memanggul bakulnya. Mungkin makanan itu sudah jadi tinja, Yu." Jawab Wasdi dengan tertawa.
Yu Sal dan Wasdi tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Wasdi. Tapi, tidak dengan Surip, ia masih memikirkan hutangnya yang harus dibayar hari ini. Ia tahu istrinya tak memegang uang di rumah. Apakah ia akan meminjam uang ke Mbok Jum yang pelit itu? Dia rasa tidak mungkin. Hari ini tempo terakhir membayar utang ke koperasi Mingguan. Sardi tampak pusing akan hal itu. Tak sadar kopi sudah dihadapannya. Dan ia langsung menyeruputnya sampai habis padahal masih panas.
"Wah, ternyata kamu juga sedang kekeringan, ya, Rip?" Ledek Wasdi kembali dengan tawa kudanya. Yu Sul juga ikut menertawai perilaku Surip itu. Surip hanya menimpali dengan senyuman saja.
Saat tengah makan dan bercerita dengan fasih ada cicak yang jatuh ke kepala Surip. Dia langsung berdiri dan mengibaskan cicak itu. Saat itu Dia langsung teringat kata Bapaknya dulu "Yen ko ketiban cecek bakal apes awakmu". Dia semakin takut dan tidak melanjutkan makannya. Seketika nafsu makanya terampas oleh cicak sembarangan itu. Dia langsung menyelimuti badan kering itu dengan baju yang selalu tersampir di bahunya. Dia berdiri dan bergegas pulang tanpa memedulikan Yu Sal dan Wasdi yang tengah bercerita dengan fasihnya.
"Lah, mau ke mana, Rip?" Tanya Yu Sal.
"Iya, mau pergi ke mana dirimu. Ini loh makananmu baru sesendok yang masuk." Tanya Wasdi dengan sedikit khawatir.
Surip menengok ke belakang dan tersenyum tanpa mengeluarkan kata sedikitpun. Dia melanjutkan langkah kakinya menuju rumah tanpa peduli dengan ceceran batu yang berada di Sungai. Dia hanya berfokus menuju rumah dan di sepanjang 10 kilometer berjalan kaki hanya memikirkan Midah, anaknya yang tengah sakit parah. Midah divonis menderita penyakit kanker payudara stadium akhir. Dia semakin khawatir lagi karena cicak sialan di warung Yu Sul tadi. Di sepanjang jalan banyak yang menyapa dirinya tapi Dia hanya tersenyum.
Sesampainya di latar rumah gubuk itu terdengar suara tangisan Istrinya. Pikirannya semakin kacau balau mendengar jeritan itu. Suara burung gagak semakin jelas terdengar di pohon rambutan belakang rumahnya. Surip langsung berlari masuk kamar Midah. Dan ternyata benar anggapannya tadi. Midah telah mati. Midah meninggalkan Dia dan Ibunya. Surip hanya terdiam di pintu kamarnya. Tak ada setetes pun air mata yang ke luar darinya. Sementara Istrinya meronta-ronta dan terus memeluki Midah yang telah mati itu.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sampun tilar dunya Ananda Midah Binti Surip teng grio mangkeniki jam 4 sonten. Warga-warga sing bade tumut nyemayamaken disumonggokaken dating grio duka. Matur suwun. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Tak lama berselang Pak Kayim menyiarkan kepergian Midah di Langgar.
Tak lama berselang tetangga langsung datang ke rumahnya, mereka menyiapkan seluruh kebutuhan Midah untuk yang terakhir kalinya. Ibu-ibu datang untuk menyiapkan bunga taburan. Anak muda diperintahkan untuk mengambil keranda dan pemandian jenazah. Semuanya terlihat berduka melihat keluarga malang ini. Keluarga yang selalu dipeluk erat oleh kemiskinan kini ditinggal anak perempuan satu-satunya. Bahkan Penagih hutang ikut menyemayamkan Midah dan tidak melaksanakan niatnya untuk menagih.
"Mau dikubur di mana ini, Rip? Keluargamu belum membayar iuran untuk kuburan Minggu lalu" Tanya Pak Kayim tanpa perasaan iba.
Surip terdiam dan semakin tersungkur lemas. Untuk mengurus tempat terakhir anaknya saja tak mampu apalagi membahagiakannya sewaktu hidup. Benar-benar bingung dirinya. Namun akhirnya tetangga pemilik lahan belakang rumah Surip merelakan tanah dua kali satu untuk rumah peristirahatan terakhir Midah. Senyum Surip timbul kembali, Senyum yang menyerupai bunga mawar yang nyaris layu.
Gunungkarang, 27 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H