"Iya, Yu" Jawab Surip dengan senyum.
"Hahahaha, iya tadi si Surip terjatuh ketika memanggul bakulnya. Mungkin makanan itu sudah jadi tinja, Yu." Jawab Wasdi dengan tertawa.
Yu Sal dan Wasdi tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Wasdi. Tapi, tidak dengan Surip, ia masih memikirkan hutangnya yang harus dibayar hari ini. Ia tahu istrinya tak memegang uang di rumah. Apakah ia akan meminjam uang ke Mbok Jum yang pelit itu? Dia rasa tidak mungkin. Hari ini tempo terakhir membayar utang ke koperasi Mingguan. Sardi tampak pusing akan hal itu. Tak sadar kopi sudah dihadapannya. Dan ia langsung menyeruputnya sampai habis padahal masih panas.
"Wah, ternyata kamu juga sedang kekeringan, ya, Rip?" Ledek Wasdi kembali dengan tawa kudanya. Yu Sul juga ikut menertawai perilaku Surip itu. Surip hanya menimpali dengan senyuman saja.
Saat tengah makan dan bercerita dengan fasih ada cicak yang jatuh ke kepala Surip. Dia langsung berdiri dan mengibaskan cicak itu. Saat itu Dia langsung teringat kata Bapaknya dulu "Yen ko ketiban cecek bakal apes awakmu". Dia semakin takut dan tidak melanjutkan makannya. Seketika nafsu makanya terampas oleh cicak sembarangan itu. Dia langsung menyelimuti badan kering itu dengan baju yang selalu tersampir di bahunya. Dia berdiri dan bergegas pulang tanpa memedulikan Yu Sal dan Wasdi yang tengah bercerita dengan fasihnya.
"Lah, mau ke mana, Rip?" Tanya Yu Sal.
"Iya, mau pergi ke mana dirimu. Ini loh makananmu baru sesendok yang masuk." Tanya Wasdi dengan sedikit khawatir.
Surip menengok ke belakang dan tersenyum tanpa mengeluarkan kata sedikitpun. Dia melanjutkan langkah kakinya menuju rumah tanpa peduli dengan ceceran batu yang berada di Sungai. Dia hanya berfokus menuju rumah dan di sepanjang 10 kilometer berjalan kaki hanya memikirkan Midah, anaknya yang tengah sakit parah. Midah divonis menderita penyakit kanker payudara stadium akhir. Dia semakin khawatir lagi karena cicak sialan di warung Yu Sul tadi. Di sepanjang jalan banyak yang menyapa dirinya tapi Dia hanya tersenyum.
Sesampainya di latar rumah gubuk itu terdengar suara tangisan Istrinya. Pikirannya semakin kacau balau mendengar jeritan itu. Suara burung gagak semakin jelas terdengar di pohon rambutan belakang rumahnya. Surip langsung berlari masuk kamar Midah. Dan ternyata benar anggapannya tadi. Midah telah mati. Midah meninggalkan Dia dan Ibunya. Surip hanya terdiam di pintu kamarnya. Tak ada setetes pun air mata yang ke luar darinya. Sementara Istrinya meronta-ronta dan terus memeluki Midah yang telah mati itu.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sampun tilar dunya Ananda Midah Binti Surip teng grio mangkeniki jam 4 sonten. Warga-warga sing bade tumut nyemayamaken disumonggokaken dating grio duka. Matur suwun. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Tak lama berselang Pak Kayim menyiarkan kepergian Midah di Langgar.
Tak lama berselang tetangga langsung datang ke rumahnya, mereka menyiapkan seluruh kebutuhan Midah untuk yang terakhir kalinya. Ibu-ibu datang untuk menyiapkan bunga taburan. Anak muda diperintahkan untuk mengambil keranda dan pemandian jenazah. Semuanya terlihat berduka melihat keluarga malang ini. Keluarga yang selalu dipeluk erat oleh kemiskinan kini ditinggal anak perempuan satu-satunya. Bahkan Penagih hutang ikut menyemayamkan Midah dan tidak melaksanakan niatnya untuk menagih.