Pemerintah menetapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan ini berlandaskan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, seperti yang ditulis oleh Nabila Azzahra dalam Tempo (Desember 21, 2024), menyatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara seperti Afrika Selatan (15 persen), India (18 persen), Brasil (17 persen), dan Turki (20 persen). Namun, kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan yang menilai kenaikan PPN justru akan memperlebar ketimpangan sosial di Indonesia.
Kenaikan PPN dan Dampaknya pada Daya Beli
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024. Pada bulan September, deflasi bulanan mencapai 0,12 persen, naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,03 persen. Meski deflasi ini menunjukkan penurunan harga, daya beli masyarakat malah melemah secara signifikan.
Survei Konsumen BI edisi November 2023 pada laman CNN Indonesia (Agustus 10, 2024) menunjukkan bahwa rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp5 juta sebagian besar mengalami penurunan. Penurunan terdalam terjadi pada kelompok pengeluaran Rp2,1 juta--Rp3 juta, diikuti kelompok Rp4,1 juta--Rp5 juta. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat harus merelakan tabungannya, di mana alokasi pendapatan untuk menabung turun dari 15,7 persen menjadi 15,4 persen.
Menurut Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja pada laman batamtoday.com (Agustus 08, 2024), penurunan daya beli masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu maraknya perjudian online, berkurangnya diskon belanja online, dan tingginya hutang masyarakat pada pinjol ilegal.
Perbandingan dengan Vietnam
Di tengah situasi pelemahan daya beli dan kondisi ekonomi yang menantang, Indonesia justru menaikkan tarif PPN. Hal ini berlawanan dengan langkah yang diambil Vietnam. Sebagai mitra dagang utama Tiongkok yang ekonominya sedang lesu, Vietnam memahami bahwa stimulus terbaik adalah menjaga tarif pajak tetap rendah. Menurut laporan Kompas (Desember 21, 2024), Vietnam lebih memilih menurunkan tarif pajaknya dan fokus pada peningkatan pemenuhan pajak.
Strategi ini berhasil memberikan dorongan yang signifikan terhadap penerimaan pajak tanpa membebani masyarakat. Dengan tarif yang lebih rendah, Vietnam mampu menjaga konsumsi domestik tetap kuat, sekaligus meningkatkan pemenuhan pajak yang pada akhirnya berdampak positif pada pendapatan negara. Sebaliknya, di Indonesia, logika yang digunakan justru terbalik. Tarif yang mencakup pajak, sementara tingkat pemenuhan pajak masih rendah. Laporan terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan pajak di Indonesia masih sangat rendah, menjadi salah satu tantangan utama dalam meningkatkan rasio pajak.
Ketimpangan Sosial yang Semakin Melebar
Kenaikan PPN ini juga tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat yang sudah rentan. Meskipun barang-barang kebutuhan pokok tertentu bebas PPN, barang dan jasa kategori mewah atau premium yang dikenakan PPN 12 persen justru tidak menyasar kelompok tinggi secara signifikan. Faktanya, beberapa produk premium, seperti susu bermerek atau layanan pendidikan tertentu, masih dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
Kelompok masyarakat dengan penempatan rendah akan terkena dampak lebih besar karena pengeluaran mereka sebagian besar digunakan untuk kebutuhan sehari-hari yang harganya dipengaruhi oleh kenaikan PPN. Sebaliknya, kelompok kaya cenderung tetap tetap mampu mengakses barang dan jasa, sehingga ketimpangan antara kedua kelompok semakin melebar.
Protes terhadap kebijakan ini juga datang dari berbagai kalangan. Aliansi BEM SI, misalnya, menolak kenaikan PPN karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih menghadapi kemiskinan tinggi dan pendapatan rendah. Selain itu, petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" yang tayang di situs Change.org sejak 19 November 2024 telah ditandatangani lebih dari 113 ribu orang.
Dilaporkan dari laman Tempo (Desember 22, 2024), jaringan pengusaha Muhammadiyah yang tergabung dalam Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) berharap pemerintah membatalkan kebijakan ini. Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim, menilai kebijakan ini tidak sensitif terhadap pengusaha yang tengah berjuang menghadapi penurunan daya beli masyarakat.
Indonesia seharusnya bisa belajar dari Vietnam. Dengan menurunkan tarif pajak dan meningkatkan pemenuhan pajak, Vietnam mampu meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani rakyatnya. Sebaliknya, kebijakan kenaikan PPN 12 persen di Indonesia justru berisiko memperlebar ketimpangan sosial. Saat daya beli masyarakat melemah, langkah menaikkan pajak ini dapat memperburuk ekonomi kelompok berpenghasilan rendah, sehingga perlu dilakukan peninjauan ulang untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI