Penyandang disabilitas seringkali diasosiasikan dengan kerentanan dan perlindungan, baik dalam norma sosial maupun kebijakan. Namun, kasus Iwas---seorang tuna daksa yang melakukan kekerasan seksual terhadap 15 korban---menantang pandangan umum tersebut. Dalam sosiologi, fenomena ini dapat dianalisis secara mendalam melalui teori anomi mile Durkheim dan teori labeling Howard Becker, yang membahas penyimpangan perilaku dalam konteks hubungan individu dengan masyarakat.
Sebagai pengantar, kita harus menyadari bahwa meskipun penyandang disabilitas sering dianggap rentan, mereka juga kerap menjadi korban tindak kriminalitas. Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 19 Desember 2022, terdapat 987 laporan kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas, dengan 91,5% di antaranya adalah perempuan. Angka ini menunjukkan prevalensi kekerasan yang tinggi terhadap penyandang disabilitas, yang sering kali diabaikan dalam diskursus publik mengenai kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, hal yang tidak sering terdengar adalah penyandang disabilitas sebagai pelaku tindak kriminal. Dalam banyak kasus, masyarakat beranggapan bahwa keterbatasan fisik atau mental penyandang disabilitas membatasi kemampuannya untuk melakukan tindakan kriminal. Bahkan jika ada, tindakan kriminal oleh penyandang disabilitas sering dianggap sebagai hal yang wajar atau dimaafkan karena dianggap ada masalah dengan kondisi mental mereka.
Berbeda dengan kasus Iwas, seorang tuna daksa (tidak memiliki tangan), yang secara sadar dan terencana melakukan kekerasan seksual terhadap setidaknya 15 korban, membuktikan bahwa penyandang disabilitas pun bisa menjadi pelaku tindak kriminal. Bahkan, dalam kasus ini, kondisi disabilitas yang dimiliki oleh Iwas justru dimanfaatkan untuk memperdaya korban dan mengelabui mereka agar mau terlibat dalam hubungan seksual.
Ketidaksesuaian antara Harapan dan Realitas
Menurut Durkheim, anomie terjadi ketika norma sosial gagal memberikan panduan yang jelas untuk perilaku individu. Ketidaksesuaian antara harapan masyarakat dan kondisi nyata yang dialami individu dapat menciptakan ketegangan, yang mendorong perilaku menyimpang.
Penyandang disabilitas biasanya dilihat sebagai kelompok yang "tidak mungkin berbahaya." Harapan masyarakat terhadap mereka adalah perilaku pasif, ketergantungan, atau bahkan membutuhkan perlindungan khusus. Norma ini menganggap penyandang disabilitas tidak memiliki kapasitas untuk bertindak dengan cara yang strategis atau manipulatif.
Namun, kasus Iwas menunjukkan bahwa harapan ini tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Iwas mampu secara sadar dan terencana memanfaatkan kondisi fisiknya untuk memperdaya korbannya. Ketidakcocokan ini memunculkan anomie, karena norma sosial yang ada tidak cukup untuk memahami atau mengantisipasi perilaku menyimpang dari penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas sering menghadapi marginalisasi sosial, termasuk akses terbatas ke pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial. Marginalisasi ini dapat menyebabkan rasa frustrasi atau ketidakpuasan. Dalam teori anomi, situasi seperti ini menciptakan kondisi di mana individu merasa terputus dari norma sosial yang berlaku.
Bagi Iwas, kondisi marginalisasi ini mungkin menjadi salah satu faktor yang mendorongnya untuk mencari pengakuan atau kekuasaan melalui cara yang menyimpang. Dalam hal ini, tindakan kriminalnya bukan hanya bentuk penyimpangan, tetapi juga respons terhadap ketegangan yang muncul dari ketidakadilan dalam struktur sosial.
Efek Stigma pada Identitas
Teori labeling menjelaskan bahwa proses di mana masyarakat memberikan label tertentu kepada individu atau kelompok berdasarkan perilaku mereka. Dalam konteks penyandang disabilitas, mereka sering kali dilabeli sebagai "lemah," "tidak mampu," atau "membutuhkan simpati."
Label sosial yang melekat pada penyandang disabilitas seringkali memberikan perlakuan istimewa atau simpati berlebih. Dalam kasus Iwas, label "tidak berbahaya" atau "tidak mungkin melakukan tindak kriminal" mungkin membuatnya lebih mudah untuk mendekati korban tanpa menimbulkan kecurigaan.
Teori labeling menjelaskan bahwa label positif ini dapat dimanfaatkan oleh individu untuk memanipulasi ekspektasi sosial demi kepentingan pribadi. Dalam hal ini, kelemahan fisik yang dimiliki Iwas justru menjadi alat untuk memperdaya korban.
Setelah tindakannya terungkap, masyarakat cenderung memberikan label baru kepada Iwas, seperti "berbahaya" atau "licik." Label ini tidak hanya mempengaruhi dirinya sebagai individu tetapi juga dapat memperburuk stigma terhadap penyandang disabilitas secara keseluruhan.
Stigma ini berpotensi menciptakan ketidakadilan baru, di mana penyandang disabilitas dipandang dengan kecurigaan atau bahkan diskriminasi, terlepas dari fakta bahwa tindakan Iwas adalah penyimpangan individu, bukan representasi kelompok.
Labeling juga dapat mempengaruhi cara individu memandang dirinya sendiri. Jika masyarakat mulai melihat penyandang disabilitas sebagai "pelaku kriminal potensial," hal ini dapat mempengaruhi identitas sosial mereka dan memperparah diskriminasi struktural yang sudah ada.
Integrasi Teori Anomi dan Labeling
Kombinasi antara anomi dan labeling memberikan kerangka yang kuat untuk memahami fenomena ini:
Anomi: Ketegangan sosial yang muncul dari marginalisasi penyandang disabilitas menciptakan kondisi di mana norma sosial tidak mampu mengatur perilaku mereka secara efektif. Dalam kasus Iwas, kondisi ini berkontribusi pada tindakan menyimpangnya.
Labeling: Label sosial yang melekat pada penyandang disabilitas---baik positif maupun negatif---berperan dalam membentuk perilaku individu dan respons masyarakat terhadap mereka.
Ketika penyandang disabilitas melakukan tindakan kriminal, mereka menghadapi label baru yang dapat memperkuat stigma dan diskriminasi, sehingga menciptakan siklus eksklusi sosial.
Membingkai Penyimpangan sebagai Tantangan Sosial
Dari perspektif teori anomie dan labeling, tindakan kriminal oleh penyandang disabilitas tidak hanya mencerminkan perilaku individu, tetapi juga menunjukkan ketidakseimbangan dalam norma sosial dan struktur masyarakat.
Untuk mengatasi masalah ini, masyarakat perlu:
Meningkatkan pemahaman tentang kompleksitas identitas penyandang disabilitas, sehingga mereka tidak semata-mata dilabeli sebagai korban atau pelaku.
Membuka akses yang lebih luas terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial untuk mengurangi ketegangan akibat marginalisasi.
Memastikan bahwa kasus penyimpangan individu seperti Iwas tidak digunakan untuk menstigmatisasi kelompok penyandang disabilitas secara keseluruhan.
Dengan cara ini, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil, di mana penyimpangan sosial dapat diminimalkan, dan stigma terhadap penyandang disabilitas dapat dihilangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H