Sunhaji, seorang penjual es teh, dan Gus Miftah, tokoh agama ternama, menjadi perbincangan publik setelah bercandaan Gus Miftah terhadap Sunhaji viral di media sosial. Meski Sunhaji sendiri mengaku tidak merasa tersinggung, respons publik mencerminkan adanya konflik sosial yang lebih dalam. Peristiwa ini bukan hanya tentang candaan, tetapi juga menggambarkan ketimpangan kelas yang menjadi sorotan banyak pihak. Â
Kasus yang melibatkanGus Miftah bercanda dengan Sunhaji menggunakan kata-kata yang oleh banyak orang dianggap kasar dan merendahkan. Namun, Sunhaji sendiri mengatakan bahwa ia sudah terbiasa dengan gaya komunikasi tersebut, terutama karena ia sering berjualan di acara yang diadakan di pondok pesantren milik Gus Miftah. Â
Dedi Mulyadi (2024) dalam artikelnya di Suara.com mengungkapkan bahwa Sunhaji tidak merasa tersinggung atas candaan tersebut. "Saya sama sekali enggak merasa tersinggung, pembicaraan Miftah memang kayak gitu. Saya sudah paham," ujar Sunhaji. Hal ini menunjukkan bahwa konflik tidak muncul dari hubungan antara kedua individu, melainkan dari reaksi masyarakat luas yang menyaksikan interaksi tersebut. Â
Konflik Kelas Sosial Â
Kasus ini dengan cepat menjadi simbol ketimpangan kelas sosial, di mana Sunhaji, seorang rakyat kecil, dianggap "direndahkan" oleh tokoh dengan status sosial lebih tinggi. Banyak yang memandang candaan Gus Miftah sebagai bentuk penyalahgunaan status, meskipun niatnya mungkin tidak demikian. Â
Setelah video itu viral, respons publik memihak Sunhaji. Dukungan datang dari berbagai pihak, seperti yang dituliskan oleh Devita Setya dalam Detik.com (2024) Sunhaji mendapatkan bantuan berupa uang tunai hingga Rp 100 juta dari seorang influencer, tawaran umroh dari setidaknya 10 pihak, serta beasiswa untuk anak-anaknya. Bantuan modal usaha juga datang dari Partai Gerindra atas arahan Presiden Prabowo. Â
Media Sosial sebagai Katalis Konflik
Peran media sosial dalam memperbesar konflik ini tidak bisa diabaikan. Komentar-komentar netizen menunjukkan perpecahan opini. Sebagian besar bersimpati kepada Sunhaji, menganggapnya korban ketidakadilan sosial. Namun, ada juga yang membela Gus Miftah, menilai bahwa gaya bercandaan tersebut seharusnya dipahami dalam konteks kedekatan personal. Â
Dalam artikel Radar Purworejo oleh Nailah Nihayah (2024), Sunhaji mengungkapkan rasa syukurnya atas perhatian yang diterimanya setelah video tersebut viral. "Banyak orang yang datang dan memberi rezeki," katanya. Pernyataan ini memperkuat pandangan bahwa media sosial menjadi katalis perubahan status sosial bagi Sunhaji. Â
Penyelesaian Konflik
Menyadari dampak dari video tersebut, Gus Miftah segera meminta maaf secara terbuka kepada Sunhaji. Ini menjadi langkah penting dalam meredakan konflik interpersonal. Namun, konflik sosial yang lebih luas---terutama terkait ketimpangan kelas---masih menjadi bahan refleksi. Â
Pelajaran dari Kasus Sunhaji
Kasus ini mencerminkan bagaimana ketimpangan kelas sosial dapat memicu konflik, terutama ketika masyarakat menilai ada pelanggaran norma sosial dalam interaksi antara individu dengan status berbeda. Meski Sunhaji tidak merasa tersinggung, masyarakat luas melihatnya sebagai representasi ketidakadilan. Â
Dukungan yang diterima Sunhaji menunjukkan solidaritas sosial yang kuat, tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga sensitivitas dalam komunikasi, terutama bagi mereka yang memiliki status atau pengaruh lebih besar di masyarakat. Â
Kasus ini mengajarkan bahwa konflik sosial tidak selalu muncul dari ketegangan antara individu, tetapi juga dari persepsi masyarakat terhadap dinamika kekuasaan dan kelas sosial. Dengan memahami akar konflik, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H