Dari pembahasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa nilai sosial merupakan penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap perilaku yang dianggap baik atau buruk. Untuk menjaga agar perilaku tersebut mendapatkan penilaian yang baik dari masyarakat, norma sosial menjadi penting. Norma sosial berperan dalam mengarahkan perilaku agar sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat. Sanksi sosial akan diberlakukan ketika terjadi pelanggaran terhadap norma sosial tersebut. Sebaliknya, apabila anggota masyarakat mengikuti norma yang berlaku, mereka akan mendapatkan penghargaan dan memperoleh hubungan timbal balik yang positif, seperti kerjasama yang harmonis dengan sesama anggota masyarakat.
Dalam disertasinya, Budi Pramono (2012) menjelaskan bahwa istilah norma secara etimologi berasal dari bahasa Yunani 'nomos' atau 'norm' dalam bahasa Inggris yang berarti model, peraturan, atau standar perilaku. Lebih lanjut, kata norma dalam pemahaman ahli hukum memiliki sinonim dengan kata 'kaidah', yang berasal dari bahasa Arab 'qo'idah', yang berarti ukuran atau alat pengukur. Ini menegaskan bahwa norma merujuk pada acuan perilaku yang diterima dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks budaya maupun hukum, serta menekankan peran norma sebagai standar atau ukuran dalam menilai perilaku individu.
Norma sosial terbentuk melalui interaksi sosial antara individu dalam kelompok sosial, mengatur tingkah laku dan sikap yang diinginkan oleh kelompok. Hal ini menegaskan bahwa norma-norma tersebut berkembang sebagai panduan umum dalam kehidupan kelompok, memberikan arahan dalam berbagai situasi yang dihadapi oleh anggota kelompok.
Norma sosial merupakan bagian dari fakta sosial, seperti yang diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam Skripsi Masturoh (2022), yang menyatakan bahwa fakta sosial adalah "aturan kolektif" yang harus dipatuhi oleh individu. Dengan demikian, norma sosial menjadi bagian integral dalam mempertahankan struktur sosial dan memastikan kohesi dalam masyarakat.
Bentuk Norma Sosial
Menurut Soerjono Soekanto pada tulisan Lintang Arzia Nur Rachim (2011), norma-norma masyarakat dirumuskan agar hubungan antar manusia sesuai dengan harapan. Ini menunjukkan bahwa norma-norma tersebut dapat mengalami evolusi dari yang tidak disadari menjadi lebih disadari seiring berjalannya waktu, serta memiliki berbagai tingkat kekuatan ikatan dalam mengatur perilaku individu dalam masyarakat.
Sosiolog Amerika, William Graham Summer dalam buku Frank E. Hagan (2013) mengidentifikasi tiga macam tipe norma, yaitu kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan hukum. Kebiasaan merujuk pada norma yang paling lemah kekuatannya, yang menekankan pada kelaziman, tradisi, atau adat istiadat, tetapi tidak diiringi dengan sanksi yang serius.
Tata kelakuan, di sisi lain, merupakan norma yang lebih serius, melibatkan penilaian moral dan sanksi berupa ganjaran atau hukuman. Hal ini mencakup larangan terhadap perilaku yang dianggap sangat mengancam cara hidup suatu kelompok, seperti kebohongan, kecurangan, pencurian, dan pembunuhan.
Hukum, sebagai tipe norma ketiga, merupakan model formal kontrol yang terdiri dari peraturan-peraturan perilaku yang terkodifikasi secara resmi. Norma ini memainkan peran penting dalam menjaga ketertiban sosial dan memberikan dasar bagi sistem hukum dalam menegakkan keadilan dalam masyarakat.
Seiring dengan perkembangan di masyarakat daya ikat norma sosial mengalami perubahan. Soerjono Soekanto pada laman Jalurppg.Id (2018) membedakan menjadi empat macam, yaitu: norma (1) cara (usage), (2) kebiasaan (folkways); (3) tata kelakuan (mores); dan (4) adat istiadat (custom).Norma cara (usage), norma ini lebih menunjuk pada suatu perbuatan di dalam hubungan antarindividu. Norma cara mempunyai daya ikat yang sangat lemah di antara norma-norma lainnya. Penyimpangan terhadap norma ini tidak mengakibatkan hukuman yang berat tetapi hanya sekadar ejekan, celaan, dan cemoohan.Â
Norma kebiasaan (folkways), norma ini mempunyai kekuatan mengikat lebih tinggi daripada norma cara. Terbentuknya norma kebiasaan berawal dari perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama hingga terbentuklah suatu kebiasaan. Pengulangan tindakan dalam hal ini membuktikan bahwa perbuatan itu dianggap baik.
Norma tata kelakuan (mores), dalam masyarakat, norma ini digunakan sebagai alat pengawas tingkah laku yang diyakini sebagai norma pengatur. Jadi, tata kelakuan merupakan alat agar para anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
Norma adat istiadat (custom), norma ini berasal dari aturan nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh karenanya, norma adat istiadat merupakan tata kelakuan yang telah mendarah daging dan berakar kuat dalam masyarakat serta memiliki kekuatan yang mengikat. Pelanggaran terhadap norma akan dikenai sanksi yang keras baik langsung maupun tidak langsung.
Norma sosial secara umum terdiri dari norma etika, yang menurut Jimmly Asshiddiqie (2011) dalam buku berjudul 'Perihal Undang-undang', meliputi norma susila, norma agama, dan norma kesopanan. Dibandingkan satu sama lain, norma etika ini memiliki peran dan tujuan yang berbeda: norma agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, norma kesusilaan bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi, sementara norma kesopanan bertujuan untuk mencapai keselarasan dan kesedapan hidup bersama antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian, ketiga jenis norma etika ini memberikan landasan bagi perilaku individu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Ciri-ciri
Dikutip pada laman Blog Gramedia 'Norma Sosial: Pengertian, Fungsi, Jenis, Ciri dan Contohnya', ciri-ciri norma sosial adalah sebagai berikut.
Memiliki sifat tidak tertulis
Tercipta oleh hasil kesepakatan
Bisa mengalami perubahan
Ditaati bersama
Terdapat sanksi atau hukuman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H