Mohon tunggu...
Muhammad Aulia Berbudi
Muhammad Aulia Berbudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang sedang mencoba menulis segala hal yang ada dalam pikirannya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Islam terhadap Pemikiran Politik Kontemporer di Indonesia

29 Oktober 2024   01:14 Diperbarui: 29 Oktober 2024   01:14 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengaruh Islam dalam sejarah politik Indonesia sangat mendalam dan telah membentuk fondasi politik, sosial, dan budaya bangsa sejak awal kedatangannya. Islam datang ke Nusantara secara bertahap, membawa perubahan tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga mempengaruhi tatanan sosial dan struktur politik di kerajaan-kerajaan lokal. Peran Islam dalam politik Indonesia kemudian terus berkembang, mulai dari era pra-kolonial, masa perlawanan terhadap penjajah, hingga era kemerdekaan dan reformasi. Bahkan hingga saat ini, pengaruh Islam tetap dominan dalam pemikiran politik kontemporer di Indonesia.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki karakteristik yang unik. Meskipun tidak berbentuk negara Islam, peran Islam sangat kuat dalam kehidupan politik bangsa ini, yang tercermin dalam berbagai kebijakan publik, regulasi, ekonomi, hingga hubungan internasional. Pada artikel ini, kita akan membahas secara lebih mendalam bagaimana Islam mempengaruhi pemikiran politik Indonesia, mulai dari sejarah kedatangannya, peranannya pada masa penjajahan, pengaruhnya pada proses kemerdekaan, hingga kehadirannya dalam politik kontemporer yang penuh dengan tantangan baru.

Kedatangan Islam pada Masa Pra-Kolonial: Awal Pengaruh di Nusantara

Islam mulai memasuki Nusantara pada abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi, melalui jalur perdagangan yang melewati Asia Tenggara. Para pedagang Muslim dari Gujarat, India, Persia, dan Arab datang ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera, Jawa, Maluku, hingga Kalimantan. Jalur perdagangan ini memungkinkan para pedagang Muslim untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat lokal, yang secara bertahap mengadopsi agama ini. Selain berdagang, para pedagang Muslim juga memperkenalkan cara hidup, nilai-nilai, dan ajaran Islam kepada para raja dan masyarakat setempat. Penyebaran Islam ini bukan melalui paksaan, tetapi lebih kepada pendekatan damai melalui pernikahan, perdagangan, dan hubungan diplomatik antara para pedagang Muslim dengan penguasa lokal. 

Kesultanan Samudera Pasai di Sumatera menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara yang berdiri sekitar abad ke-13. Kerajaan ini menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatera dan menjadi pengaruh besar dalam perkembangan Islam di kawasan tersebut. Selain Samudera Pasai, berdirinya Kesultanan Malaka dan Demak juga memperkuat penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa dan semenanjung Malaka. Kesultanan Malaka menjadi pusat perdagangan internasional yang memfasilitasi pertemuan antara pedagang Muslim dan masyarakat lokal, sedangkan Kesultanan Demak di Jawa menjadi pusat penyebaran Islam melalui tokoh-tokoh Wali Songo yang menggunakan pendekatan budaya lokal untuk menyebarkan agama.

Islam di masa ini tidak hanya membawa perubahan keagamaan tetapi juga mengubah struktur politik dan sosial di kerajaan-kerajaan lokal. Penguasa kerajaan yang memeluk Islam juga membawa prinsip-prinsip Islam ke dalam pemerintahan mereka, termasuk penerapan hukum Islam dalam sistem hukum kerajaan. Perubahan ini terlihat nyata di Kesultanan Aceh yang menerapkan syariat Islam dalam hukum negara, mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sesuai dengan ajaran Islam. Di Jawa, Islam juga menjadi identitas politik dan budaya yang kuat dengan didukung oleh Wali Songo yang menggunakan pendekatan budaya, kesenian, dan adat istiadat untuk menarik masyarakat lokal. Dengan begitu, Islam menyatu dengan tradisi Nusantara, menjadikannya agama yang diterima luas dan menjadi identitas baru masyarakat.

Masa Kolonial: Islam sebagai Simbol Perlawanan terhadap Penjajahan

Kedatangan kolonial Eropa, terutama Belanda, membawa perubahan besar dalam politik dan sosial masyarakat di Nusantara. Penjajah Belanda tidak hanya ingin menguasai sumber daya alam Nusantara, tetapi juga mengendalikan pengaruh Islam yang mulai berkembang. Untuk itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan yang membatasi kegiatan keagamaan Islam, terutama yang berkaitan dengan politik. Mereka khawatir bahwa Islam dapat memobilisasi perlawanan rakyat, sehingga mereka melakukan kontrol ketat terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan.

Namun, pembatasan ini justru mendorong munculnya gerakan perlawanan yang berbasis Islam. Salah satu organisasi perlawanan yang muncul adalah Sarekat Islam (SI), didirikan pada tahun 1912 oleh Haji Samanhudi dan kemudian dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Pada awalnya, SI adalah organisasi perdagangan yang bertujuan melindungi para pedagang pribumi dari persaingan dengan pedagang asing, terutama Tionghoa. Namun, SI berkembang menjadi organisasi politik yang berperan dalam pergerakan nasional melawan Belanda. SI membawa konsep solidaritas umat Islam atau pan-Islamisme, yang bertujuan untuk menyatukan umat Islam dalam melawan penjajahan.

Selain Sarekat Islam, muncul juga organisasi keagamaan lain yang berperan dalam pendidikan dan kebangkitan nasional, seperti Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, dan Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1926. Muhammadiyah berfokus pada pembaruan pendidikan dan kesehatan, sementara NU mengedepankan penguatan nilai-nilai tradisional dan keislaman yang moderat. Kedua organisasi ini memainkan peran penting dalam membentuk identitas Islam di Indonesia serta memberikan fondasi bagi gerakan perlawanan nasional.

Dalam konteks ini, Islam tidak hanya menjadi agama tetapi juga simbol perlawanan dan identitas nasional. Para pemimpin Islam di masa kolonial sadar bahwa Islam memiliki kekuatan besar untuk memobilisasi rakyat, dan mereka menggunakan kekuatan ini untuk melawan penjajahan. Gerakan perlawanan yang berbasis Islam ini memberikan dasar bagi pemikiran politik Islam di Indonesia yang terus berkembang hingga masa kemerdekaan.

Masa Awal Kemerdekaan: Perdebatan tentang Dasar Negara

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia menghadapi perdebatan besar mengenai dasar negara. Sebagian kelompok menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, sementara kelompok lain mendukung konsep negara yang sekuler. Perdebatan ini mencapai puncaknya pada saat perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Tokoh-tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kahar Muzakkir, mengusulkan agar Indonesia menjadi negara Islam atau setidaknya mencantumkan syariat Islam dalam konstitusi negara.

Usulan tersebut menghasilkan kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, yang mencantumkan tujuh kata tambahan pada sila pertama Pancasila, yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun, setelah melalui diskusi panjang, para pendiri bangsa memutuskan untuk menghapus tujuh kata tersebut demi menjaga persatuan bangsa yang terdiri dari beragam suku, agama, dan kepercayaan. Hasil akhirnya, Indonesia berdiri sebagai negara yang berideologi Pancasila, bukan negara Islam, tetapi tetap mengakui nilai-nilai religius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perdebatan tentang dasar negara ini menunjukkan bahwa Islam telah menjadi elemen penting dalam pembentukan ideologi politik di Indonesia. Meskipun Indonesia bukan negara Islam, nilai-nilai Islam tetap tercermin dalam ideologi negara, terutama pada sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa," yang mengakui pentingnya kepercayaan dan keberagaman agama di Indonesia.

Era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru: Pengaruh Islam di Bawah Tekanan Pemerintah

Setelah kemerdekaan, pemerintahan di bawah Presiden Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin yang membatasi peran partai politik, termasuk partai-partai Islam. Partai Masyumi, yang merupakan partai Islam terbesar saat itu, dibubarkan oleh Soekarno karena dianggap menentang pemerintah. Kebijakan ini menekan pengaruh Islam dalam politik formal, tetapi justru memperkuat peran organisasi masyarakat Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam membina umat melalui pendidikan dan dakwah.

Pada masa Orde Baru di bawah Soeharto, pemerintah mengadopsi kebijakan yang lebih keras terhadap partai-partai Islam, tetapi di sisi lain, Soeharto juga membina hubungan baik dengan organisasi Islam untuk mendapatkan dukungan politik. Menjelang akhir kekuasaannya, Soeharto bahkan memperkenalkan beberapa kebijakan yang lebih mendukung Islam, seperti pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan pengembangan ekonomi syariah. Kebijakan ini membuka ruang bagi ekspresi Islam dalam politik, yang kemudian menjadi dasar bagi kebangkitan politik Islam di era reformasi.

Era Reformasi: Kebangkitan Partai Politik Islam dan Demokratisasi

Setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan besar dalam lanskap politik yang membuka ruang bagi kebebasan berpendapat dan partisipasi politik yang lebih luas. Era reformasi ini ditandai dengan munculnya banyak partai politik baru, termasuk partai-partai berbasis Islam, yang sebelumnya tertekan di bawah rezim Soeharto. Partai-partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB) mulai mendapatkan tempat dalam arena politik nasional. PKS, misalnya, memanfaatkan momentum reformasi untuk memposisikan diri sebagai partai yang memperjuangkan keadilan sosial dan anti-korupsi dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam semua aspek kebijakan. Mereka mempromosikan ekonomi syariah, yang berfokus pada etika dan prinsip-prinsip Islam dalam perdagangan dan investasi, serta memperjuangkan pendidikan yang berbasis nilai-nilai Islam.

Kebangkitan partai politik Islam ini juga melahirkan perdebatan baru tentang identitas nasional Indonesia. Meskipun Pancasila menjadi dasar negara, sejumlah partai Islam memperjuangkan penerapan hukum syariah dalam konteks tertentu. Misalnya, beberapa kelompok di Aceh menginginkan penerapan syariah secara lebih luas, yang menciptakan tantangan bagi persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk. Namun, di sisi lain, banyak partai politik Islam yang memilih untuk bekerja dalam kerangka Pancasila dan mendorong dialog antaragama untuk memperkuat kohesi sosial.

Partai-partai Islam juga aktif dalam gerakan sosial dan advokasi kebijakan publik. Mereka sering terlibat dalam isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, Muhammadiyah, sebagai organisasi massa Islam terbesar, terlibat dalam pendidikan dan kesehatan, serta memperjuangkan pembangunan masyarakat yang berkeadilan. Demikian pula, NU memainkan peran penting dalam menjembatani hubungan antarumat beragama dan mempromosikan toleransi serta moderasi.

Pengaruh Syariah Islam dalam Sistem Hukum dan Ekonomi di Indonesia

Pengaruh Islam dalam sistem hukum dan ekonomi di Indonesia semakin terlihat, terutama dengan adanya penerapan hukum syariah di beberapa daerah. Aceh adalah contoh paling menonjol di mana syariah diterapkan secara resmi dalam sistem hukum. Dalam konteks ini, pemerintah Aceh mengembangkan peraturan daerah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari hukum keluarga, perbankan, hingga hukum pidana. Misalnya, hukuman bagi pelanggaran syariah seperti perjudian dan alkohol menjadi lebih ketat.

Di tingkat nasional, ekonomi syariah juga mengalami perkembangan signifikan. Munculnya bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya mencerminkan keinginan masyarakat untuk mengadopsi sistem keuangan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bank syariah menawarkan produk-produk yang tidak hanya menjanjikan keuntungan finansial tetapi juga mendorong investasi yang etis dan bertanggung jawab. Perbankan syariah di Indonesia kini telah berkembang pesat dan menjadi salah satu pilar ekonomi nasional, dengan pertumbuhan yang melebihi perbankan konvensional.

Selain itu, lembaga-lembaga yang mempromosikan ekonomi syariah, seperti Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), berperan dalam mengatur dan mengawasi praktik-praktik keuangan syariah untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian, ekonomi syariah menjadi bagian integral dari perekonomian Indonesia, menawarkan alternatif yang menarik bagi masyarakat Muslim yang ingin berinvestasi sesuai dengan nilai-nilai agama mereka.

Tantangan Ekstremisme dan Penguatan Islam Moderat

Meskipun Indonesia dikenal dengan moderasi Islamnya, tantangan radikalisme dan ekstrimisme tetap ada. Munculnya kelompok-kelompok yang mengusung ideologi khilafah dan menerapkan pendekatan kekerasan menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Kasus-kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, seperti bom Bali pada tahun 2002 dan serangkaian serangan lainnya, mengungkapkan risiko yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat narasi Islam moderat yang menekankan toleransi, perdamaian, dan koeksistensi antarumat beragama.

Organisasi-organisasi Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berperan penting dalam melawan radikalisme dengan mempromosikan ajaran Islam yang ramah, inklusif, dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Melalui program-program pendidikan dan dakwah, mereka berusaha untuk mengedukasi masyarakat mengenai bahaya ekstremisme dan pentingnya toleransi serta penghormatan terhadap perbedaan. NU, dengan basis massa yang luas, telah mengembangkan program-program yang mendidik generasi muda mengenai nilai-nilai Islam yang moderat. Sementara itu, Muhammadiyah mengedepankan pendidikan sebagai kunci untuk membangun masyarakat yang sadar akan bahaya radikalisme. Upaya ini sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial dan keamanan di tengah-tengah masyarakat yang beragam.

Islam dalam Diplomasi Internasional Indonesia

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam menggunakan Islam sebagai alat diplomasi internasional. Diplomasi Indonesia di tingkat internasional seringkali mengedepankan pesan moderasi, toleransi, dan kerjasama antarumat beragama. Indonesia berperan aktif dalam berbagai forum internasional, seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI), untuk mempromosikan perdamaian dan solidaritas di antara negara-negara Muslim.

Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menampilkan wajah Islam yang moderat dan progresif di kancah internasional. Dengan mempromosikan dialog antaragama dan keberagaman, Indonesia ingin menunjukkan bahwa Islam dapat menjadi kekuatan positif untuk membangun hubungan yang harmonis antarbangsa. Selain itu, Indonesia juga aktif dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan, yang semuanya diangkat dalam kerangka nilai-nilai Islam yang mengedepankan keadilan sosial dan kesejahteraan.

Peran ini sangat penting, terutama di tengah tantangan global seperti meningkatnya Islamofobia dan stereotip negatif terhadap umat Muslim. Dengan menonjolkan praktik Islam yang moderat, Indonesia dapat berkontribusi dalam menciptakan pemahaman yang lebih baik di antara berbagai kelompok di dunia dan mengurangi ketegangan yang sering muncul akibat kesalahpahaman.

Sebagai kesimpulan, Islam telah berperan signifikan dalam membentuk pemikiran politik di Indonesia, dari masa pra-kolonial hingga era kontemporer. Sejak kedatangannya, Islam tidak hanya menjadi agama tetapi juga menjadi landasan bagi identitas nasional dan sistem politik yang dinamis di Indonesia. Meskipun Indonesia bukan negara Islam, nilai-nilai Islam tetap mencerminkan dalam ideologi negara, kebijakan publik, dan interaksi sosial.

Era reformasi memberikan peluang bagi partai-partai berbasis Islam untuk berpartisipasi dalam politik, memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks demokrasi, serta mengadvokasi keadilan sosial dan pembangunan masyarakat. Penerapan syariah dalam sistem hukum dan ekonomi juga mencerminkan keinginan masyarakat untuk mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, tantangan seperti radikalisme dan ekstremisme menuntut perlunya memperkuat narasi Islam moderat yang menekankan toleransi dan koeksistensi. Dalam hal ini, peran organisasi Islam moderat menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan aman. Selain itu, posisi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar memberikan peluang untuk menggunakan Islam sebagai alat diplomasi internasional yang mengedepankan perdamaian, kerjasama, dan pengertian antarumat beragama. Dengan demikian, pengaruh Islam dalam pemikiran politik kontemporer di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Islam akan terus menjadi bagian integral dari perjalanan politik dan sosial bangsa ini, membawa harapan untuk masa depan yang lebih baik, berkeadilan, dan sejahtera.

REFERENSI 

Armansyah, Y. (2017). Dinamika Perkembangan Islam Politik Di Nusantara: Dari Masa Tradisional Hingga Indonesia Modern. Fokus: Jurnal Kajian Keislaman Dan Kemasyarakatan, 2(1), 27-46. 

Burhanudin, J. (2012). Ulama dan kekuasaan: Pergumulan elite politik muslim dalam sejarah Indonesia. NouraBooks. 

Duriana. (2015). Islam di indonesia sebelum kemerdekaan. Dialektika, 9(2).

Ghofur, A. (2011). Tela'ah kritis masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara. Jurnal Ushuluddin, 17(2), 159-169. 

H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1985. h.14

Hakim, L., & Haif, A. (2019). Historiografi Indonesia: Melacak pengaruh Islam sebelum masa kolonial. Majalah Ilmiah Tabuah: Talimat, Budaya, Agama dan Humaniora, 98-113.

Rais, Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani, 2001.

Syafrizal, A. (2015). SEJARAH ISLAM NUSANTARA. Islamuna: Jurnal Studi Islam, 2(2). https://doi.org/10.19105/islamuna.v2i2.664

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun