Masa Awal Kemerdekaan: Perdebatan tentang Dasar Negara
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia menghadapi perdebatan besar mengenai dasar negara. Sebagian kelompok menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, sementara kelompok lain mendukung konsep negara yang sekuler. Perdebatan ini mencapai puncaknya pada saat perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Tokoh-tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kahar Muzakkir, mengusulkan agar Indonesia menjadi negara Islam atau setidaknya mencantumkan syariat Islam dalam konstitusi negara.
Usulan tersebut menghasilkan kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, yang mencantumkan tujuh kata tambahan pada sila pertama Pancasila, yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun, setelah melalui diskusi panjang, para pendiri bangsa memutuskan untuk menghapus tujuh kata tersebut demi menjaga persatuan bangsa yang terdiri dari beragam suku, agama, dan kepercayaan. Hasil akhirnya, Indonesia berdiri sebagai negara yang berideologi Pancasila, bukan negara Islam, tetapi tetap mengakui nilai-nilai religius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perdebatan tentang dasar negara ini menunjukkan bahwa Islam telah menjadi elemen penting dalam pembentukan ideologi politik di Indonesia. Meskipun Indonesia bukan negara Islam, nilai-nilai Islam tetap tercermin dalam ideologi negara, terutama pada sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa," yang mengakui pentingnya kepercayaan dan keberagaman agama di Indonesia.
Era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru: Pengaruh Islam di Bawah Tekanan Pemerintah
Setelah kemerdekaan, pemerintahan di bawah Presiden Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin yang membatasi peran partai politik, termasuk partai-partai Islam. Partai Masyumi, yang merupakan partai Islam terbesar saat itu, dibubarkan oleh Soekarno karena dianggap menentang pemerintah. Kebijakan ini menekan pengaruh Islam dalam politik formal, tetapi justru memperkuat peran organisasi masyarakat Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam membina umat melalui pendidikan dan dakwah.
Pada masa Orde Baru di bawah Soeharto, pemerintah mengadopsi kebijakan yang lebih keras terhadap partai-partai Islam, tetapi di sisi lain, Soeharto juga membina hubungan baik dengan organisasi Islam untuk mendapatkan dukungan politik. Menjelang akhir kekuasaannya, Soeharto bahkan memperkenalkan beberapa kebijakan yang lebih mendukung Islam, seperti pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan pengembangan ekonomi syariah. Kebijakan ini membuka ruang bagi ekspresi Islam dalam politik, yang kemudian menjadi dasar bagi kebangkitan politik Islam di era reformasi.
Era Reformasi: Kebangkitan Partai Politik Islam dan Demokratisasi
Setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan besar dalam lanskap politik yang membuka ruang bagi kebebasan berpendapat dan partisipasi politik yang lebih luas. Era reformasi ini ditandai dengan munculnya banyak partai politik baru, termasuk partai-partai berbasis Islam, yang sebelumnya tertekan di bawah rezim Soeharto. Partai-partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB) mulai mendapatkan tempat dalam arena politik nasional. PKS, misalnya, memanfaatkan momentum reformasi untuk memposisikan diri sebagai partai yang memperjuangkan keadilan sosial dan anti-korupsi dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam semua aspek kebijakan. Mereka mempromosikan ekonomi syariah, yang berfokus pada etika dan prinsip-prinsip Islam dalam perdagangan dan investasi, serta memperjuangkan pendidikan yang berbasis nilai-nilai Islam.
Kebangkitan partai politik Islam ini juga melahirkan perdebatan baru tentang identitas nasional Indonesia. Meskipun Pancasila menjadi dasar negara, sejumlah partai Islam memperjuangkan penerapan hukum syariah dalam konteks tertentu. Misalnya, beberapa kelompok di Aceh menginginkan penerapan syariah secara lebih luas, yang menciptakan tantangan bagi persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk. Namun, di sisi lain, banyak partai politik Islam yang memilih untuk bekerja dalam kerangka Pancasila dan mendorong dialog antaragama untuk memperkuat kohesi sosial.
Partai-partai Islam juga aktif dalam gerakan sosial dan advokasi kebijakan publik. Mereka sering terlibat dalam isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, Muhammadiyah, sebagai organisasi massa Islam terbesar, terlibat dalam pendidikan dan kesehatan, serta memperjuangkan pembangunan masyarakat yang berkeadilan. Demikian pula, NU memainkan peran penting dalam menjembatani hubungan antarumat beragama dan mempromosikan toleransi serta moderasi.