Setiap negara di dunia, pasti memiliki sebuah ideologi yang berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, ideologi juga menjadi identitas nasional yang membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, memiliki ideologi negara yang kita kenal sebagai Pancasila.
Pancasila bukan hanya sekadar dasar negara, melainkan juga alat pemersatu bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam setiap sila yang terkandung di dalamnya. Tak hanya itu, Pancasila juga didukung oleh semboyan nasional, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Semboyan ini mengajarkan bahwa meskipun Indonesia memiliki keragaman budaya, bahasa, dan tradisi di setiap daerah, semua perbedaan itu bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saat ini, kita telah memasuki abad ke-21, di mana teknologi berkembang dengan pesat. Era digital membawa banyak kemudahan, salah satunya adalah akses informasi yang begitu mudah melalui internet. Kemajuan ini merupakan sisi positif dari perkembangan zaman yang mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun, kemudahan tersebut juga membawa tantangan tersendiri. Informasi yang tersebar secara bebas tanpa penyaringan yang tepat membuka pintu bagi masuknya budaya asing ke Indonesia. Jika tidak disikapi dengan bijak, hal ini dapat menimbulkan dampak negatif yang mengancam nilai-nilai luhur bangsa. Lebih jauh lagi, pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan karakter bangsa berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, bahkan melemahkan rasa nasionalisme.
Di tengah arus era modern ini, media sosial menjadi salah satu sarana paling populer untuk menyampaikan sekaligus mengakses informasi. Melalui platform tersebut, kita dapat dengan mudah menjelajahi berbagai berita dan pengetahuan dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Dalam berinternet, saya seringkali menemukan sebuah berita kejahatan terutama di media sosial ini. Mulai dari pencurian, perampokan, penculikan, hingga pertikaian karena sebuah perbedaan. Melihat fenomena ini, muncul pertanyaan. Apakah nilai-nilai Pancasila masih diterapkan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari? Mengapa kejahatan tetap merajalela? Apakah pendidikan Pancasila yang kita terima kurang efektif? Berbagai pertanyaan ini mencerminkan keresahan atas sejauh mana Pancasila hadir dan berperan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain melalui media sosial, kita juga dapat menyaksikan secara langsung berbagai bentuk pelanggaran lainnya, seperti membuang sampah sembarangan yang merusak lingkungan, mengabaikan keselamatan saat berkendara, hingga tindakan egois dalam parkir yang menyebabkan jalanan tertutup.
Ternyata beginilah kondisi negara kita. Dari contoh-contoh yang telah disebutkan, kita dapat menyimpulkan bahwa masih banyak individu yang kurang memahami atau bahkan mengabaikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku seperti membuang sampah sembarangan menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap lingkungan, yang seharusnya menjadi bagian dari pelaksanaan sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Begitu pula dengan pelanggaran dalam berlalu lintas, seperti tidak mematuhi aturan keselamatan atau bertindak egois saat parkir, mencerminkan kurangnya rasa tanggung jawab terhadap sesama pengguna jalan. Tindakan-tindakan ini bertentangan dengan semangat gotong royong dan persatuan yang tercantum dalam sila ketiga.
Masalah-masalah ini mencerminkan bahwa meskipun Pancasila telah diajarkan sejak dini, penerapannya di tengah masyarakat masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap Pendidikan Pancasila, mengingat adanya penurunan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.