Â
Setiap insan memiliki kodrat yang berbeda-beda. Hal tersebut sering kita dengar baik dari ulama, tokoh agama maupun dari tokoh pendidikan seperti KHD (Ki Hajar Dewantara). Menurut KHD pada hakikatnya tujuan pendidikan itu adalah "menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat tumbuh mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak".
Â
Terlahir di Sulawesi Selatan-Indonesia lalu menjadi guru hingga GP (guru penggerak) adalah kodrat dan takdir ilahi. Titel "GP" yang diperolah membutuhkan proses selama berbulan-bulan (ada 9 dan 6 bulan) melalui alur MERDEKA (mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antarmateri, dan aksi nyata) dalam LMS, kemudian diikuti kegiatan pendampingan, dan lokakarya oleh pengajar praktik (PP) hingga akhirnya lulus menjadi guru penggerak dengan predikat "Amat Baik". Jika diibaratkan sebagai kupu-kupu yang bermetamorfosa dari ulat, maka pada hakikatnya  GP itu adalah hasil metamorfosa dari guru biasa menjadi guru hebat dengan sayap indah bertuliskan GP. Dengan sayap GP itulah guru penggerak siap terbang dari satu taman pendidikan ke taman pendidikan lainnya menebarkan aroma wangi merdeka belajar dengan filosofi pendidikan KHD, nilai dan peran guru penggerak, budaya positif, pembelajaran terdiferensiasi, coaching, pembelajaran sosial-emosional, pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, pemimpin dalam pengelolaan sumber daya, dan pengelolaan program yang berdampak pada murid.
Â
Nah, rekan-rekan GP (guru penggerak), tentu kalian tidak ingin disebut "Guru Pengger". Oleh karena itu, ayo tergerak, bergerak, dan menggerakkan rekan sejawat serta guru lainnya mengimplementasikan merdeka belajar di kelas. Ingat! Rekan sejawat (guru di satuan pendidikan kita) dan guru lainnya (di satuan pendidikan lain) yang belum berstatus GP (guru penggerak). Bukan GP menggerakkan rekan GP atau GP lain di satuan pendidikan lain. Nanti sama halnya dengan ungkapan jeruk makan jeruk atau syrup minum syrup.
Â
Komunitas Guru Penggerak yang selama ini sudah ada adalah sebuah wadah yang bagus untuk dijadikan alat menggerakkan rekan guru yang belum berstatus GP. Hanya saja program seperti itu sepertinya belum terlihat atau kalau pun ada masih terlalu kecil sehingga belum bisa berdampak. Yang besar adalah kegiatan GP bersama GP lain berkumpul membahas kegiatan yang tidak jelas dampaknya pada guru lain yang bukan GP apatah lagi berdampak pada murid. Sebenarnya kegiatan seperti studi tiru ke Pulau Jawa dan sekitarnya atau kemah GP itu baik sepanjang dampaknya jelas. Tindak lanjutnya terang benderang sebagai sebuah aksi nyata yang mampu menggerakkan rekan sejawat dan guru lainnya.
Â
Akan tetapi, alangkah lebih baiknya jika sekiranya kegiatan studi tiru itu diganti dengan kegiatan anjang sana ke sekolah-sekolah di wilayah kita sendiri yang teridentifikasi sebagai sekolah yang perlu pembinaan intensif dalam mengimpementasikan merdeka belajar. Kemudian, kegiatan kemah GP diperhebat dengan kegiatan KPK-G. Bukan Komisi Pemberantasan Korupsi Guru melainkan Kemah Peningkatan Kompetensi Guru. Pesertanya pun bukan hanya GP yang terbatas melainkan semua guru yang teridentifikasi perlu peningkatan kompetensi untuk kinerja yang lebih baik sesuai merdeka belajar-merdeka mengajar sehingga mereka bisa keluar dari zona nyaman.
Â