Oleh. Muhammad Arif
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Pertanian terancam punah bukan hanya isu fiktif belaka, namun berdasarkan beberapa hasil penelitian, salah satunya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahwa saat ini rata-rata usia petani mayoritas berumur 45 tahun ke atas, dan yang paling menggelitik adalah prediksi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badam Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/BAPPENAS) bahwa pertanian terancam punah pada tahun 2063.
Memang tidak bisa di mungkiri dan bahkan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di wilayah perdesaan petani umumnya adalah orang-orang yang berusia di atas 45 tahun, yang saat ini kebingungan memikirkan bagaimana keberlanjutan usaha tani mereka, karena nyaris tidak ada anak-anaknya yang mau meneruskan pekerjaan yang sudah mereka tekuni dan warisi dari generasi ke generasi.
Ironisnya pula, sebagian besar orang tua di perdesaan juga tidak menginginkan anak-anak mereka bekerja di desa sebagai petani sebagaimana pekerjaan mereka saat ini.
Data badan pusat statistik 2018 juga menunjukan bahwa jumlah petani dengan umur > 25 tahun 273,839, umur 25-34 TH dengan jumlah 2.947,254, umur 35-44 dengan jumlah 6.689,635, 45-54 TH 7. 813,407, umur 35-44 TH dengan jumlah 6.689,635, 45-54 TH 7. 813,407, umur 55-64 TH 6.134,987, terakhir petani dengan umur >65 TH dengan jumlah 3.822,995. Â Â
Hal ini dapat disimpulkan bahwa usia produktif yang menjadi petani di Indonesia berkurang, mereka lebih tertarik bekerja pada non pertanian di karenakan kurangnya dukungan pemerintah pada sektor pertanian tersebut. Jika sektor pertanian menjadi kurang menarik bagi usia produktif, maka bisa kita benarkan bahwa sektor pertanian Indonesia terancam punah.
Beberapa lasan penyebab menurunnya minat tenaga kerja muda di sektor pertanian adalah citra sektor pertanian yang kurang bergengsi dan kurang bisa memberikan imbalan memadai.
Hal ini berpangkal dari relatif sempitnya rata-rata penguasaan lahan usaha tani. Alasan lain adalah cara pandang dan way of life tenaga kerja muda telah berubah di era perkembangan masyarakat postmodern seperti sekarang.
Sisi lain sektor pertanian makin kehilangan daya tarik. Alasan selanjutnya mengapa anak-anak muda di perdesaan enggan untuk bertani yaitu bukan hanya karena secara ekonomi sektor pertanian tidak menjanjikan, tetapi sesungguhnya juga dipengaruhi oleh subkultur baru yang berkembang di era digital seperti sekarang.
Krisis petani muda di sektor pertanian dan dominannya petani tua memiliki konsekuensi terhadap pembangunan sektor pertanian berkelanjutan, khususnya terhadap produktivitas pertanian, daya saing pasar, kapasitas ekonomi perdesaan, dan lebih lanjut hal itu akan mengancam ketahanan pangan serta keberlanjutan sektor pertanian.
Sebagai bangsa yang tanahnya subur, seharusnya pemerintah Indonesia harus segera sadar dan malu dengan kondisi pertanian saat ini. Artinya, pemerintah tidak cuma sekadar mengimbau dan menyindir. Pemerintah justru harus bertindak, sebab krisis petani muda di sebabkan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Berbagai contoh kebijakan yang tidak sesuai dengan situasi petani Indonesia, di antaranya mematok harga jual produk pertanian, membiarkan pasokan pangan distabilkan oleh impor, dan membiarkan bisnis properti menggunakan lahan produktif.
Maka dari itu harapanya, pemerintah harus segera menyatakan sikap untuk lebih mengutamakan produk pangan dalam negeri, melindungi pemasaran produk pertanian dalam negeri, dan memberikan kemudahan pembiayaan bagi bisnis pertanian.
Jika tiga hal ini konsisten dilakukan, maka Anak anak muda yang mempunyai paradigma modern dan konstruktif akan lebih fokus berinovasi dan bekerja sebagai petani apabila mendapat perlindungan dari pemerintah. Perlindungan yang dimaksud terkait dengan hasil produk, pemasaran, dan sumber pembiayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H