Mohon tunggu...
Muhammad Arif
Muhammad Arif Mohon Tunggu... Guru - Columnist

Bekerja untuk masyarakat dan ilmu pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Pledoi: Inovasi dalam Dunia Pendidikan

3 September 2020   14:19 Diperbarui: 3 September 2020   14:18 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi dalam Dunia Pendidikan/dokpri

"Ganti menteri, ganti kebijakan". Sebuah satire yang terkenal dalam dunia pendidikan. Ucapan tersebut mengemuka setiap kali muncul inovasi kebijakan dalam bidang pendidikan. Satire itu sendiri dapat dipersoalkan namun juga dapat dimengerti sebagai realitas yang tampak dan dirasakan oleh pihak yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dunia pendidikan.

Sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya cukup merasakan beberapa kebijakan dalam dunia pendidikan yang membuat saya harus beradaptasi sebaik mungkin pada setiap kebijakan yang muncul. Bukan suatu yang asing lagi memang dan bahkan mungkin perlu dijadikan kompetensi kelima dari empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yaitu kompetensi beradaptasi. Bagaimana pun, saya tetap tidak mau mengatakan bahwa ini mudah untuk setiap orang--meski niscaya diperlukan.

Namun, pada kesempatan yang lain saya mendapati kesan atau semacam pandangan yang cukup suram bahwa pendidikan di Indonesia sudah seperti kapal yang kehilangan kompas di tengah lautan yang tak bertuan. Sebagaimana sebuah lautan yang tak bertuan, setiap orang berhak untuk ambil bagian dalam mengolah dan/atau mengambil manfaat dari lautan tersebut. Tidak jarang memunculkan silang-sengketa tentang siapa yang paling berhak atas lautan tersebut hingga teori apa yang paling pol menghasilkan tangkapan yang banyak dan berkualitas. Tapi, apakah benar demikian adanya?

Pertama, jika kita mengacu pada landasan dasar pendidikan di Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia tidaklah kehilangan kompas arah dan tujuan. Tujuan pendidikan di Indonesia jelas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih jauh, dalam UU SISDIKNAS tahun 2003 tujuan pendidikan disebutkan, "Untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Kedua, jika boleh mengambil benang merah tentang apa yang menjadi urusan pokok pendidikan, maka saya akan mengatakan itu adalah manusia. Namun tidak otomatis menjadikan hal ini sederhana sebab manusia itu sendiri adalah subjek yang kompleks. Manusia selalu dilingkupi oleh banyak aspek yang saling berkelindan dan tidak dapat dipisahkan, mulai dari aspek individu itu sendiri (psikologis dan fisiologis), hingga aspek sosial yang terbentang mulai dari budaya, agama, ekonomi, politik, dll. Hal inilah yang kemudian membuat dunia pendidikan tidak dapat berdiri sendiri menjadi sebuah pengetahuan yang utuh melainkan melibatkan berbagai relasi pengetahuan atau kekuasaan--meminjam istilah Foucault.

Maka, silang-sengketa yang terjadi antar berbagai pihak menjadi sebuah keniscayaan tersendiri karena saking banyaknya relasi kekuasaan/pengetahuan yang terlibat di dalamnya. Sehingga tidak salah juga ada kesan yang muncul bahwa dunia pendidikan sebagai tempat bancakan pelbagai kepentingan. Namun jika dilihat sudut pandang positif, keterlibatan banyak pihak bisa dilihat sebagai bentuk kepedulian untuk bersama-sama memajukan pendidikan di Indonesia. Meskipun, pada akhirnya, bahwa sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan lahir dari dua pertimbangan yang tidak dapat dielakkan, yaitu kajian teoritis-akademis dan konsesus para "penguasa lautan".

Jadi, persoalan utama yang mendesak diperdebatkan dalam dunia pendidikan bukanlah terletak pada ketiadaan tujuan, atau tarik-ulur kepentingan di dalamnya, melainkan bentuk inovasi kebijakan yang dilahirkan untuk mencapai tujuan besar pendidikan.

Menolak Inovasi

Munculnya satire sinis alih-alih kritis terhadap inovasi yang dilahirkan dalam dunia pendidikan sebenarnya juga dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya ketidakmengertian, ketidaksiapan, atau memang mempertahankan status quo, alias bertahan di zona nyaman.

Jika persoalannya adalah ketidakmengertian semata terhadap inovasi, maka yang perlu diperbaiki adalah komunikasi dari penelur inovasi. Sementara, jika persoalannya adalah ketidaksiapan, maka sumber daya manusia, sarana dan prasaranalah yang harus dipersiapkan untuk menerapkan inovasi tersebut. Namun, jika persoalannya karena mempertahankan status quo, maka memang tidak ada harapan untuk perubahan. Setiap inovasi akan selalu ditolak dengan alasan belum teruji.

Padahal, lahirnya sebuah inovasi tidak memerlukan prasyarat apakah inovasi tersebut sudah teruji atau belum. Sebab inovasi menurut etimologi berarti pembaharuan. Dengan kata lain, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Otomatis, bahwa inovasi tidak akan bisa dilihat keefektifannya jika tidak dicoba terlebih dahulu. Lantas, apakah dengan begitu semakin menegaskan bahwa pendidikan sebagai tempat bancakan pelbagai kepentingan bahkan lebih tegas lagi dikatakan bahwa peserta didik sebagai kelinci percobaan?

Pandangan seperti di atas bisa benar dan bisa juga tidak tepat. Bisa benar jika pendidikan di Indonesia tidak memiliki tujuan yang jelas atau lebih tepatnya turunan dalam bentuk rencana jangka pendek dan jangka panjang. Namun bisa juga tidak tepat karena inovasi mutlak diperlukan mengingat bahwa manusia--sebagai subjek utama dunia pendidikan--terus berubah seiring tatanan hidup yang juga berubah. Bahkan baru dalam beberapa dekade ini saja dapat disaksikan penjungkir-balikan tatanan kehidupan dengan perkembangan yang begitu pesat dan meluas ilmu pengetahuan, teknologi informasi, komunikasi, transportasi, aplikasi-aplikasi media sosial, keuangan, dll. Jika tidak antisipatif, adaptif, dan akomodatif terhadap perubahan semacam ini tentu akan tergilas.

Sekali lagi, memang bahwa sebuah inovasi yang diharapkan hadir tidak lahir secara arbitrer. Inovasi haruslah berangkat dari tujuan yang jelas dan intrumen evaluasi yang juga jelas. Sejauh ini kita telah memiliki kaidah-kaidah ilmiah yang dapat menilai secara objektif keefektifan sebuah inovasi. Pun jika inovasi tersebut akhirnya berujung gagal, paling tidak kita telah menjadi bangsa yang merdeka, berani berproses, memilih jalan perubahan sendiri dan tidak hanya mengikuti teori yang dianggap "mapan".

Inovasi Sebagai Solusi Menghadapi Krisis

Pandemi Covid-19 menjadi badai sempurna untuk mengungkap semua persoalan pelik pendidikan gamblang ke permukaan. Jika mengacu kepada standar umum yang digunakan dunia dalam menilai kemajuan pendidikan, katakanlah PISA, posisi Indonesia untuk tahun 2018 tidak bisa dikatakan baik karena berada pada posisi 70 dari 78 negara dalam hal literasi, numerasi, dan sains. Persoalan rendahnya output pendidikan yang tergambar pada peringkat PISA di atas, tidak lain juga bersumber dari lemahnya input pendidikan seperti kualitas guru dan kebijakan serta proses dalam pendidikan seperti tidak meratanya sarana dan prasarana.

Persoalan yang menerpa dunia pendidikan sekarang ini dapat dipandang sebagai sebuah rutinitas semata atau sebagai krisis. Cara pandang yang berbeda akan menghasilkan metode yang berbeda untuk mengatasi setiap persoalan.

Jika menganggap persoalan pendidikan adalah rutinitas semata, maka kebijakan yang lahir tidak akan jauh dari perumpamaan petugas pemadam yang memadamkan api setiap kali terjadi kebakaran. Namun, jika persoalan ini dianggap sebagai krisis, maka kebijakan yang dilahirkan haruslah lebih dari sekedar memadamkan api tapi mampu mengatasi sampai ke sumber api bahkan menjadi "pengendali api".

Dalam beberapa kesempatan presiden telah berulang kali mengulang-ulang kata krisis dalam setiap pidatonya. Sebagai pemimpin tertinggi di Republik ini, hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menanamkan kesadaran dan mengubah cara pandang secara fundamental dalam menghadapi persoalan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Thomas S. Khun dalam "The Structure of Scientific Revolution", di mana krisis dimulai dari kesadaran akan datangnya krisis dan untuk setiap krisis, butuh cara-cara yang tidak biasa untuk menghadapinya. Dalam hal ini, inovasi mendapat jalan lebar untuk masuk memecah kebutuan. Sebab kita tidak akan pernah tahu jika tidak pernah mencoba.

Dengan demikian, satire "ganti menteri, ganti kebijakan" tidak tepat kiranya jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan akan inovasi.

*Singgalang, 2 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun