Jika persoalannya adalah ketidakmengertian semata terhadap inovasi, maka yang perlu diperbaiki adalah komunikasi dari penelur inovasi. Sementara, jika persoalannya adalah ketidaksiapan, maka sumber daya manusia, sarana dan prasaranalah yang harus dipersiapkan untuk menerapkan inovasi tersebut. Namun, jika persoalannya karena mempertahankan status quo, maka memang tidak ada harapan untuk perubahan. Setiap inovasi akan selalu ditolak dengan alasan belum teruji.
Padahal, lahirnya sebuah inovasi tidak memerlukan prasyarat apakah inovasi tersebut sudah teruji atau belum. Sebab inovasi menurut etimologi berarti pembaharuan. Dengan kata lain, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Otomatis, bahwa inovasi tidak akan bisa dilihat keefektifannya jika tidak dicoba terlebih dahulu. Lantas, apakah dengan begitu semakin menegaskan bahwa pendidikan sebagai tempat bancakan pelbagai kepentingan bahkan lebih tegas lagi dikatakan bahwa peserta didik sebagai kelinci percobaan?
Pandangan seperti di atas bisa benar dan bisa juga tidak tepat. Bisa benar jika pendidikan di Indonesia tidak memiliki tujuan yang jelas atau lebih tepatnya turunan dalam bentuk rencana jangka pendek dan jangka panjang. Namun bisa juga tidak tepat karena inovasi mutlak diperlukan mengingat bahwa manusia--sebagai subjek utama dunia pendidikan--terus berubah seiring tatanan hidup yang juga berubah. Bahkan baru dalam beberapa dekade ini saja dapat disaksikan penjungkir-balikan tatanan kehidupan dengan perkembangan yang begitu pesat dan meluas ilmu pengetahuan, teknologi informasi, komunikasi, transportasi, aplikasi-aplikasi media sosial, keuangan, dll. Jika tidak antisipatif, adaptif, dan akomodatif terhadap perubahan semacam ini tentu akan tergilas.
Sekali lagi, memang bahwa sebuah inovasi yang diharapkan hadir tidak lahir secara arbitrer. Inovasi haruslah berangkat dari tujuan yang jelas dan intrumen evaluasi yang juga jelas. Sejauh ini kita telah memiliki kaidah-kaidah ilmiah yang dapat menilai secara objektif keefektifan sebuah inovasi. Pun jika inovasi tersebut akhirnya berujung gagal, paling tidak kita telah menjadi bangsa yang merdeka, berani berproses, memilih jalan perubahan sendiri dan tidak hanya mengikuti teori yang dianggap "mapan".
Inovasi Sebagai Solusi Menghadapi Krisis
Pandemi Covid-19 menjadi badai sempurna untuk mengungkap semua persoalan pelik pendidikan gamblang ke permukaan. Jika mengacu kepada standar umum yang digunakan dunia dalam menilai kemajuan pendidikan, katakanlah PISA, posisi Indonesia untuk tahun 2018 tidak bisa dikatakan baik karena berada pada posisi 70 dari 78 negara dalam hal literasi, numerasi, dan sains. Persoalan rendahnya output pendidikan yang tergambar pada peringkat PISA di atas, tidak lain juga bersumber dari lemahnya input pendidikan seperti kualitas guru dan kebijakan serta proses dalam pendidikan seperti tidak meratanya sarana dan prasarana.
Persoalan yang menerpa dunia pendidikan sekarang ini dapat dipandang sebagai sebuah rutinitas semata atau sebagai krisis. Cara pandang yang berbeda akan menghasilkan metode yang berbeda untuk mengatasi setiap persoalan.
Jika menganggap persoalan pendidikan adalah rutinitas semata, maka kebijakan yang lahir tidak akan jauh dari perumpamaan petugas pemadam yang memadamkan api setiap kali terjadi kebakaran. Namun, jika persoalan ini dianggap sebagai krisis, maka kebijakan yang dilahirkan haruslah lebih dari sekedar memadamkan api tapi mampu mengatasi sampai ke sumber api bahkan menjadi "pengendali api".
Dalam beberapa kesempatan presiden telah berulang kali mengulang-ulang kata krisis dalam setiap pidatonya. Sebagai pemimpin tertinggi di Republik ini, hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menanamkan kesadaran dan mengubah cara pandang secara fundamental dalam menghadapi persoalan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Thomas S. Khun dalam "The Structure of Scientific Revolution", di mana krisis dimulai dari kesadaran akan datangnya krisis dan untuk setiap krisis, butuh cara-cara yang tidak biasa untuk menghadapinya. Dalam hal ini, inovasi mendapat jalan lebar untuk masuk memecah kebutuan. Sebab kita tidak akan pernah tahu jika tidak pernah mencoba.
Dengan demikian, satire "ganti menteri, ganti kebijakan" tidak tepat kiranya jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan akan inovasi.
*Singgalang, 2 September 2020