Pendahuluan
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan politik Indonesia, sebuah bayang-bayang masa lalu kembali merayap masuk ke dalam narasi kekinian. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru-baru ini muncul, mengusulkan keterlibatan langsung anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam struktur Aparatur Sipil Negara (ASN), telah memicu debat sengit dan refleksi mendalam. RPP ini bukan sekadar dokumen kebijakan; ia adalah cermin yang memantulkan siluet-siluet masa lalu yang kontroversial---dwifungsi ABRI---yang pernah menggema di koridor-koridor kekuasaan.
Dwifungsi ABRI, konsep yang lahir dari kebutuhan stabilitas namun berujung pada dominasi militer dalam kehidupan sipil, telah lama ditinggalkan sebagai bagian dari reformasi yang berusaha memisahkan kekuatan militer dari pemerintahan sipil. Namun, dengan usulan RPP ini, kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis: Apakah kita akan mengulangi narasi lama yang sama? Apakah kita akan membiarkan sejarah berputar kembali ke titik di mana ia dimulai?
Artikel ini akan menyelami lebih dalam tentang bagaimana RPP ini dapat menjadi langkah mundur bagi Indonesia---menggali akar-akar historis, menimbang dampaknya terhadap reformasi yang telah berjalan, dan mempertanyakan kesiapannya dalam menghadapi tantangan demokrasi modern. Dari perspektif legalhistorical, kita akan mengeksplorasi kaitan antara RPP ini dengan dwifungsi ABRI, serta implikasinya terhadap upaya-upaya reformasi yang sedang berlangsung.
Paradigma Legalhistorical - Menyelami Lautan Sejarah Hukum
Mengarungi samudra sejarah hukum Indonesia, kita menemukan bahwa arusnya tidak selalu mengalir ke arah yang kita harapkan. Paradigma legalhistorical, layaknya kapal yang tangguh, membawa kita melintasi gelombang waktu untuk memahami bagaimana hukum dan kebijakan berubah dan beradaptasi dengan kondisi sosial-politik yang berlaku. Dengan menggunakan pendekatan ini, kita dapat menelisik lebih dalam tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang kontroversial ini, yang mengizinkan anggota TNI dan Polri mengisi jabatan ASN, dan mengungkap benang merah yang menghubungkannya dengan masa lalu.
Dalam analisis kita, kita menemukan bahwa RPP ini bukan hanya sebuah dokumen kebijakan; ia adalah sebuah prasasti yang mungkin mengukir kembali narasi dwifungsi ABRI---sebuah doktrin yang pernah menggema di koridor kekuasaan, memberikan militer wewenang yang signifikan dalam pemerintahan sipil. Dwifungsi ini, yang pada zamannya dianggap sebagai pilar stabilitas, ternyata membawa dampak yang jauh dari stabil: penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak-hak sipil menjadi catatan kelam yang tak terhapuskan.
Kini, dengan RPP yang berusaha menghidupkan kembali praktik tersebut, kita harus bertanya: Apakah kita akan membiarkan sejarah berulang? Apakah kita akan membiarkan garis antara militer dan pemerintahan sipil menjadi kabur lagi, mengancam fondasi demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah?
Melalui kacamata legalhistorical, kita melihat bahwa RPP ini berpotensi menjadi langkah mundur yang menghambat proses reformasi yang telah berjalan. Kita diajak untuk mempertimbangkan kembali, dengan hati-hati dan kritis, apakah kita ingin mengikuti jejak masa lalu atau menapaki jalan baru menuju masa depan yang lebih demokratis dan transparan.
Dwifungsi ABRI: Sejarah dan Dampaknya
Di tengah kancah sejarah Indonesia yang penuh dinamika, dwifungsi ABRI berdiri sebagai monumen doktrin yang pernah mengubah arah jalannya sebuah bangsa. Dwifungsi---dengan arti harfiah 'fungsi ganda'---adalah konsep yang diperkenalkan dalam masa pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto. Ini bukan sekadar kebijakan; ini adalah peta jalan yang mengarahkan ABRI, terutama Angkatan Darat, untuk memperluas pengaruhnya dalam pemerintahan, menempatkan militer di kursi-kursi parlemen yang khusus, dan posisi penting dalam layanan publik.
Dwifungsi ABRI muncul dari keadaan pasca-sovereignty tahun 1949, ketika Angkatan Darat menerima aturan sipil. Namun, ketika sistem politik menunjukkan kelemahan, para perwira militer merasa berkewajiban untuk terlibat dalam politik demi 'menyelamatkan bangsa'. Ketika hukum militer dinyatakan pada tahun 1957, Angkatan Darat memperluas perannya ke bidang politik, ekonomi, dan administrasi. Doktrin ini kemudian dikristalkan dalam Seminar Angkatan Darat Kedua pada tahun 1966, yang menetapkan fungsi non-militer Angkatan Darat, yaitu "untuk berpartisipasi dalam setiap upaya dan aktivitas rakyat di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial-budaya".
Dwifungsi ABRI menggiring ABRI ke pusaran kekuasaan negara, mengikis demokrasi dan seringkali menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Pada puncaknya di tahun 1990-an, anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.
Ketika fajar Reformasi merekah di langit Indonesia, sebuah tekad kuat untuk memisahkan fungsi militer dari sipil menggema. Reformasi pasca-Orde Baru bukan hanya sekedar pergantian kekuasaan; itu adalah revolusi ideologi, sebuah perubahan paradigma yang mengarah pada pembaruan struktural dan institusional. Upaya pemisahan fungsi militer dari sipil adalah salah satu tonggak penting dalam proses ini, menandai komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Dengan berakhirnya era Orde Baru, terbuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Dwifungsi ABRI, yang selama ini menjadi simbol dominasi militer dalam pemerintahan, mulai diurai. Langkah-langkah berani diambil untuk memastikan bahwa TNI kembali ke peran utamanya sebagai pelindung negara, bukan sebagai pemain dalam arena politik sipil.
Penghapusan Dwifungsi ABRI membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. TNI dan POLRI dipisahkan, masing-masing dengan peran yang jelas dan terbatas. TNI fokus pada ancaman militer, sementara POLRI mengambil alih tanggung jawab keamanan dalam negeri. Ini adalah langkah monumental menuju profesionalisme dan spesialisasi yang lebih besar dalam kedua institusi tersebut.
Era Reformasi memperkuat peran civil society, memberikan mereka suara yang lebih keras dalam menentukan arah masa depan bangsa. Keterlibatan sipil dalam politik menjadi lebih substansial, dengan kebijakan yang dibuat di DPR mencerminkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan militer. Reformasi pasca-Orde Baru telah mengubah wajah Indonesia, menggantikan bayang-bayang dwifungsi ABRI dengan sinar harapan demokrasi yang lebih cerah. Ini adalah perjalanan dari kekuasaan yang terpusat ke tangan-tangan rakyat, dari kegelapan penindasan ke cahaya kebebasan.
Implikasi RPP bagi Reformasi dan Demokrasi
Di tengah gelombang reformasi yang telah menghantam pantai demokrasi Indonesia, munculnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang memungkinkan anggota TNI dan Polri untuk mengisi jabatan dalam Aparatur Sipil Negara (ASN) bagaikan ombak yang mengancam untuk membawa kita kembali ke lautan masa lalu yang bergolak. RPP ini, yang pada pandangan pertama tampak sebagai sebuah langkah administratif biasa, sebenarnya memiliki potensi yang lebih dalam untuk menggoyahkan fondasi reformasi dan demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah.
Bayangkan sebuah pemerintahan di mana garis antara militer dan sipil menjadi kabur. Di mana ASN, yang seharusnya menjadi pelayan publik yang netral dan independen, berisiko menjadi bayang-bayang dari kekuatan militer. RPP ini dapat menimbulkan konflik kepentingan yang tidak hanya mengaburkan garis tersebut tetapi juga mengancam integritas dan kemandirian ASN.
Dengan setiap tanda tangan yang mengesahkan RPP ini, kita mungkin secara tidak sengaja menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, sebuah doktrin yang telah kita tinggalkan di belakang. Ini adalah langkah mundur yang mengingatkan kita pada masa ketika militer memiliki peran ganda yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang kita junjung tinggi.
Dalam dunia di mana RPP ini diberlakukan, transparansi dan akuntabilitas---dua pilar penting dalam pemerintahan yang baik---berisiko tergerus. ASN harus bebas dari pengaruh politik dan militer untuk dapat melayani publik dengan adil dan objektif, namun RPP ini dapat menempatkan mereka di bawah bayang-bayang kekuatan yang lebih besar.
Reformasi di Indonesia adalah perjalanan panjang menuju demokrasi yang lebih kuat. Setiap langkah yang kita ambil harus mengarahkan kita lebih dekat ke tujuan tersebut. Namun, RPP ini berdiri sebagai batu sandungan yang dapat mengancam kemajuan yang telah kita capai dan menghambat upaya lebih lanjut dalam memperkuat demokrasi dan tata kelola yang baik.
Dalam narasi reformasi yang telah lama diperjuangkan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang memungkinkan anggota TNI dan Polri untuk mengisi jabatan dalam Aparatur Sipil Negara (ASN) muncul sebagai babak baru yang kontroversial. Kritik yang muncul menyoroti bagaimana RPP ini dapat menimbulkan konflik kepentingan yang signifikan, mengaburkan garis antara tugas militer dan tanggung jawab sipil, serta berpotensi mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Ketika anggota TNI atau Polri diberi wewenang untuk menduduki jabatan ASN, muncul pertanyaan tentang kemampuan mereka untuk melayani kepentingan publik tanpa bias. Kontras, sebuah organisasi hak asasi manusia, telah mengecam keras revisi UU ASN yang memungkinkan hal ini, melihatnya sebagai langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi dan supremasi sipil.
Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting dalam pemerintahan yang baik. Namun, dengan adanya RPP ini, kedua prinsip tersebut berisiko terkompromi. Kekhawatiran muncul bahwa keterlibatan TNI dan Polri dalam ASN dapat menyebabkan pendekatan keamanan yang lebih masif dan mengurangi keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.
Reformasi yang telah berlangsung selama beberapa dekade di Indonesia berisiko terhenti jika RPP ini diterapkan. Kritikus menunjukkan bahwa tidak ada kedaruratan yang signifikan yang membenarkan penempatan prajurit dan polisi dalam tubuh ASN, dan langkah ini hanya akan memperparah situasi di tengah problematika kedua institusi yang masih menumpuk.
Kesimpulan: Menavigasi Arus Reformasi dan Demokrasi
Di penghujung perdebatan yang penuh gairah ini, kita berdiri di persimpangan sejarah, memandang ke depan pada masa depan demokrasi Indonesia yang terbentang luas. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang memungkinkan anggota TNI dan Polri mengisi jabatan dalam Aparatur Sipil Negara (ASN) telah membangkitkan semangat diskusi yang mendalam, menyoroti konflik kepentingan yang mungkin timbul, serta dampaknya terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
Kita telah mengarungi arus reformasi yang kuat, berjuang melawan gelombang otoritarianisme untuk mencapai pantai demokrasi yang lebih stabil. Namun, RPP ini seperti angin kencang yang berpotensi membawa kita kembali ke tengah lautan yang bergolak, di mana garis antara militer dan sipil pernah menjadi kabur dan transparansi pemerintahan menjadi terhalang oleh ombak kepentingan yang bertabrakan.
Dengan setiap argumen yang kita pertimbangkan, kita menyadari bahwa integritas demokrasi kita---yang telah dibangun dengan susah payah---harus dijaga dengan ketat. Kita harus memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil, setiap kebijakan yang kita terapkan, mengarah pada penguatan, bukan pelemahan, dari nilai-nilai demokratis yang kita junjung tinggi.
Oleh karena itu, seruan ini bukan hanya tentang menilai sebuah RPP; ini adalah tentang menilai arah masa depan kita. Mari kita renungkan dengan hati-hati, apakah kita akan membiarkan arus reformasi yang telah kita bangun terhenti, atau kita akan terus mengayuh perahu demokrasi kita menuju horison yang lebih cerah dan berdaulat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI