Mohon tunggu...
Muhammad Arel Ocean Wiranto
Muhammad Arel Ocean Wiranto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Mendengarkan musik selalu menenangkan dan berdiskusi selalu menyenangkan untuk saya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi Historis: Potensi Kembalinya Dwifungsi ABRI

13 Maret 2024   20:30 Diperbarui: 13 Maret 2024   21:10 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah kancah sejarah Indonesia yang penuh dinamika, dwifungsi ABRI berdiri sebagai monumen doktrin yang pernah mengubah arah jalannya sebuah bangsa. Dwifungsi---dengan arti harfiah 'fungsi ganda'---adalah konsep yang diperkenalkan dalam masa pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto. Ini bukan sekadar kebijakan; ini adalah peta jalan yang mengarahkan ABRI, terutama Angkatan Darat, untuk memperluas pengaruhnya dalam pemerintahan, menempatkan militer di kursi-kursi parlemen yang khusus, dan posisi penting dalam layanan publik.

Dwifungsi ABRI muncul dari keadaan pasca-sovereignty tahun 1949, ketika Angkatan Darat menerima aturan sipil. Namun, ketika sistem politik menunjukkan kelemahan, para perwira militer merasa berkewajiban untuk terlibat dalam politik demi 'menyelamatkan bangsa'. Ketika hukum militer dinyatakan pada tahun 1957, Angkatan Darat memperluas perannya ke bidang politik, ekonomi, dan administrasi. Doktrin ini kemudian dikristalkan dalam Seminar Angkatan Darat Kedua pada tahun 1966, yang menetapkan fungsi non-militer Angkatan Darat, yaitu "untuk berpartisipasi dalam setiap upaya dan aktivitas rakyat di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial-budaya".

Dwifungsi ABRI menggiring ABRI ke pusaran kekuasaan negara, mengikis demokrasi dan seringkali menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Pada puncaknya di tahun 1990-an, anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.

Ketika fajar Reformasi merekah di langit Indonesia, sebuah tekad kuat untuk memisahkan fungsi militer dari sipil menggema. Reformasi pasca-Orde Baru bukan hanya sekedar pergantian kekuasaan; itu adalah revolusi ideologi, sebuah perubahan paradigma yang mengarah pada pembaruan struktural dan institusional. Upaya pemisahan fungsi militer dari sipil adalah salah satu tonggak penting dalam proses ini, menandai komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Dengan berakhirnya era Orde Baru, terbuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Dwifungsi ABRI, yang selama ini menjadi simbol dominasi militer dalam pemerintahan, mulai diurai. Langkah-langkah berani diambil untuk memastikan bahwa TNI kembali ke peran utamanya sebagai pelindung negara, bukan sebagai pemain dalam arena politik sipil.

Penghapusan Dwifungsi ABRI membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. TNI dan POLRI dipisahkan, masing-masing dengan peran yang jelas dan terbatas. TNI fokus pada ancaman militer, sementara POLRI mengambil alih tanggung jawab keamanan dalam negeri. Ini adalah langkah monumental menuju profesionalisme dan spesialisasi yang lebih besar dalam kedua institusi tersebut.

Era Reformasi memperkuat peran civil society, memberikan mereka suara yang lebih keras dalam menentukan arah masa depan bangsa. Keterlibatan sipil dalam politik menjadi lebih substansial, dengan kebijakan yang dibuat di DPR mencerminkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan militer. Reformasi pasca-Orde Baru telah mengubah wajah Indonesia, menggantikan bayang-bayang dwifungsi ABRI dengan sinar harapan demokrasi yang lebih cerah. Ini adalah perjalanan dari kekuasaan yang terpusat ke tangan-tangan rakyat, dari kegelapan penindasan ke cahaya kebebasan.

Implikasi RPP bagi Reformasi dan Demokrasi

Di tengah gelombang reformasi yang telah menghantam pantai demokrasi Indonesia, munculnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang memungkinkan anggota TNI dan Polri untuk mengisi jabatan dalam Aparatur Sipil Negara (ASN) bagaikan ombak yang mengancam untuk membawa kita kembali ke lautan masa lalu yang bergolak. RPP ini, yang pada pandangan pertama tampak sebagai sebuah langkah administratif biasa, sebenarnya memiliki potensi yang lebih dalam untuk menggoyahkan fondasi reformasi dan demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah.

Bayangkan sebuah pemerintahan di mana garis antara militer dan sipil menjadi kabur. Di mana ASN, yang seharusnya menjadi pelayan publik yang netral dan independen, berisiko menjadi bayang-bayang dari kekuatan militer. RPP ini dapat menimbulkan konflik kepentingan yang tidak hanya mengaburkan garis tersebut tetapi juga mengancam integritas dan kemandirian ASN.

Dengan setiap tanda tangan yang mengesahkan RPP ini, kita mungkin secara tidak sengaja menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, sebuah doktrin yang telah kita tinggalkan di belakang. Ini adalah langkah mundur yang mengingatkan kita pada masa ketika militer memiliki peran ganda yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang kita junjung tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun