Mohon tunggu...
Muhammad Ardian Syah
Muhammad Ardian Syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Calon Sosiolog

Bercita-cita menjadi pendobrak sistem dan kedunguan mindset masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tanggung Jawab dan Loyalitas Organisasi : Sebuah Hegemoni Konflik Dalam Pandangan Ralf Dahrendorf

10 Oktober 2023   20:10 Diperbarui: 27 Oktober 2023   09:50 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Muhammad Ardian Syah

Apakah Anda adalah anggota atau pernah menjadi anggota sebuah organisasi? Pernahkah Anda merasa tertekan dan atau terintimidasi dengan tugas-tugas dan tanggung jawab dalam organisasi? Dan pernahkah Anda merasa waktu, tenaga dan pemikiran Anda banyak terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak sepenuhnya Anda inginkan dalam organisasi Anda? Jika Anda pernah mengalami hal-hal demikian, kita berada dalam satu nasib yang berarti Anda dan Saya sama-sama sedang mengalami konflik dengan otoritas Anda.

Ya. Tanpa kita sadari, Anda dan Saya sedang benar-benar sedang berada dalam konflik dalam tugas-tugas, pekerjaan-pekerjaan yang kesemuanya berada dalam hegemoni 'tanggung jawab' bersama peran kekuasaan didalamnya. Konflik dengan otoritas. Anda dan Saya merasa lelah, Anda dan Saya jenuh bahkan sesekali merasa ingin keluar dan dibebaskan dari segala beban yang sama-sama kita alami. Akan tetapi, kita justru dihantui oleh rasa tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebagai wujud bakti dan loyalitas terhadap organisasi dan program kerjanya yang kompleks dan menjenuhkan.

Melalui gambaran di atas, saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya yang kemudian mempertemukan saya dengan pemahaman konsep konflik yang sedikit-banyaknya menjawab pertanyaan saya tentang tanggung jawab dan loyalitas yang ternyata bersifat sangat hegemonial dalam cara berpikir kita saat ini. Saya adalah anggota Laboratorium Sosiologi di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Saya bertugas dalam bidang Research & Development, bidang yang mengurusi penelitian dan program-program pembangunan sumber daya anggota berbasis pada pengetahuan ilmiah. Sebagai sebuah organisasi, Laboratorium Sosiologi yang lebih enak saya sebut Labsos, sudah tentu memiliki visi, misi, program kerja dan kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh seluruh bagian-bagian (mulai dari pengurus inti, bidang-bidang, hingga ke seluruh anggota-anggotanya) dalam organisasinya melalui pembagian kerja. Konsepsi lumrah seperti ini diamini oleh sosiologi sebagai sistem sosial-sesuatu yang memaksa dan kontinu dalam ruang gerak aktor (dalam hal ini saya). Sebagai salah satu anggota, saya sering merasa tertekan dan terbebani dengan tugas-tugas yang diberikan ketua dan bidang saya seperti menyiapkan tulisan, merancang agenda diskusi, terlibat dalam penelitian dan kadangkala mengurus administrasi yang ribet dan menyebalkan. Semua hal yang saya alami persis seperti gambaran dan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan di atas. 

Kerasahan saya mengenai hal itu, akhirnya terwakili juga dalam teori konflik yang dikemukakan oleh seorang teoritisi konflik, Ralf Dahrendorf namanya. Beliau adalah seorang teoritisi sosial dan sosiolog asal Jerman yang sangat ahli dalam memahami teori Marxian. Atas pengalamannya tersebut, Dahrendorf sangat gencar dalam menyampaikan kritik terhadap perkembangan teori fungsional-struktural yang menurutnya bersama Lewis Coser dan para teoritisi konflik telah gagal memahami perubahan sosial. Dahrendorf bersama teoritisi konflik lainnya membantah pemikiran para fungsionalis yang beranggapan bahwa masyarakat bersifat statis, berubah secara seimbang, serta hidup dalam keteraturan dan kestabilan dalam perannya. 

Bagi Dahrendorf, hal tersebut berbanding terbalik sebab baginya masyarakat akan selalu tunduk pada perubahan dan tidak dapat terhindarkan dari konflik dengan sistem serta elemen-elemen yang ada di dalamnya menyumbang disintegrasi terhadap perubahan yang terjadi kemudian (Ritzer : 2012).

Sebuah perubahan yang menjadi fokus dalam dalam analisisnya. Dalam menganalisis konflik maupun perubahan sosial dalam sosiologi Dahrendorf mengkategorikan dua wajah masyarakat yang dibedakan menjadi konsensus dan konflik. Konsensus menjadi basis analisis dalam melihat nilai dan integrasi masyarakat sebagai penyebab munculnya konflik. Bersamaan dengan itu konflik menguji kepentingan dan penggunaan kekuasaan yang menekan dan mengikat masyarakat dibawah konsensus. 

Dahrendorf juga menguraikan analisis konfliknya melalui penjabaran otoritas yang menciptakan pembagian kerja dalam struktur masyarakat. Menurutnya, masyarakat terdiri atas posisi yang memiliki otoritas yang berbeda-beda dalam struktur sosial (Ritzer : 2012). Otoritas tidak melekat pada diri individu secara psikologis, melainkan ia terletak pada peran yang dijalankan seorang individu pemangku otoritas tersebut. Otoritas kemudian menciptakan adanya dikotomisasi kekuasaan yang dibagi Dahrendorf menjadi superordinasi dan subordinasi. 

Mereka yang berada pada posisi superordinat merupakan pemegang otoritas yang dominan dalam mengendalikan posisi dibawahnya yang lebih subordinat. Mereka yang memiliki otoritas dominan cenderung menjalankan perannya sesuai dengan harapan dalam posisinya sehingga membutuhkan kontrol dalam rangka memenuhi harapan tersebut. Sebagai sesuatu yang absah, pemilik otoritas berhak menjatuhkan sanksi pada pihak yang menentang. Inilah yang kemudian menjadi faktor terbentuknya konflik dan kesadaran akan kepentingan yang tadinya semu.

Dalam analisisnya dalam buku Class and Class Conflict in Industrial Society, Dahrendorf melihat terbentuknya sub-sub kelas baru dari kelas borjuis dan proletar (antara pemilik modal-pengontrol produksi dan kelas menengah) dalam masyarakat kapitalis yang disebutnya sebagai dekomposisi kelas akibat adanya pembagian kekuasaan yang terjadi dikelas proletar dan dekomposisi modal dikalangan kelas borjuis. Berangkat dari fenomena itulah Dahrendorf kemudian merumuskan bahwa struktur masyarakat kapitalis modern terbentuk dari adanya otoritas dan pembagian peran/kerja.

Agar pembahasan ini tidak terlalu meluas dan terbentang jauh, saya akan mengajak Anda kembali pada kritik dan gambaran awal saya mengenai konflik didalam organisasi dan hegemoni terhadap loyalitas dan rasa tanggung jawab. Sebagai anggota Labsos, kadangkala saya merasa jenuh, tertekan, dan merasa terbebani dalam menjalankan pekerjaan sebagai kewajiban anggota organisasi. Dengan berbagai pekerjaan yang dilakukan, kemudian menyebabkan padatnya aktivitas saya sehingga kadang-kadang menyita waktu untuk menikmati hidup dan melakukan hal-hal yang saya sukai. Dan satu hal yang paling membebani saya secara moral adalah adanya rasa tanggung jawab yang perlu dituntaskan.

Apa yang saya alami di atas merupakan gejala-gejala alienasi dalam pandangan Marx. Pekerjaan, tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas lainnya telah membuat saya terasingkan oleh kehidupan dan keinginan pribadi saya. Pada akhirnya, kerja-kerja kapitalisme tidak hanya terjadi dalam struktur ekonomi masyarakat tetapi terjadi di segala aspek yang melingkupi cara kerja semacam ini. Mengapa ini bisa terjadi? Saya akan menjelaskan melalui analogi berikut ini. Labsos adalah salah satu organisasi yang dinaungi oleh program studi Sosiologi di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Sebagai sebuah prodi dalam sebuah fakultas, tentunya memiliki visi, misi arah dan tujuan dalam menunjang aktivitas universitas sebagai otoritas-superordinasi yang menaunginya. Lebih jauh, sebagai universitas negeri kampus tentunya memiliki tanggung jawab (harapan) dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul bagi negara yang kelak akan menjalankan roda pemerintahan dan ekonomi. Dan tentu saja, hal ini sangat berkaitan erat dengan otoritas dan kapitalisme. 

Dalam analogi di atas, negara adalah superordinasi tertinggi dalam menjalankan otoritasnya. Ia diikat oleh harapan masyarakat secara luas yang memberikan peran dalam bagian-strukturnya yang kompleks. Di bawahnya terdapat banyak sekali sub-subordinat yang memiliki batasan otoritas dalam ruang lingkupnya masing-masing. Dalam contoh ini ada universitas yang menaungi fakultas, kemudian ada jurusan dibawahnya dan semakin di bawahnya lagi terdapat sub-subordinat lembaga kecil seperti Labsos pada kasus ini.

Lalu bagaimana soal tanggung jawab dan loyalitas? Secara kasar saya lebih senang menyebutnya sebagai doktrin kapitalisme yang menciptakan hegemoni yang mengikat setiap peran terhadap otoritas yang menaunginya. Adanya kesadaran semacam ini merupakan gejala adanya kesadaran kepentingan yang berakar dari kesadaran semu menurut Dahrendorf. Meskipun sampai hari ini masih banyak orang yang justru tenggelam dalam kesadaran semu sehingga perubahan yang terjadi dalam lingkup kerja saya tampaknya tidak kentara karena minimnya konflik yang terjadi. Ataukah mungkin hal tersebut terjadi karena orang-orang justru tenggelam dalam alienasi dan merasa mendapat penghargaan dari rasa tanggung jawab yang sejatinya semu? Saya belum berani menjawab hal tersebut.

Terima Kasih. Saya sangat mengharapkan kritik dan komentar dari Anda sebagai pembaca.

Referensi

Raho, B. (2021). Teori Sosiologi Modern. Bantul: Moya Zam Zam.

Ritzer, G & Goodman, D. J. (2012). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun