Mohon tunggu...
Muhammad Ardell Bagas Alfatih
Muhammad Ardell Bagas Alfatih Mohon Tunggu... Penulis - SMAN 28 Jakarta

XI MIPA 4 (21)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Bersyukur

25 November 2020   17:39 Diperbarui: 25 November 2020   17:44 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pekerjaan sehari-hari kadang kala membuat penat. Tumpukan penat yang bergabung menjadi satu disebut stress. Dan akumulasi stress yang tidak dapat ditangani disebut depresi. Sebagai seorang manusia di zaman modern ini, tentunya stress merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri lagi. Lalu beban stress tiap orang bermacam-macam, ada yang jika dianalogikan dapat membentuk sebuah danau, ada juga yang dapat membuat lautan, dan ada pula juga yang hanya membentuk sebuah gelas. Lalu apakah semakin besar beban stress seseorang dapat membuat orang itu menjadi mudah depresi? Belum tentu! Jika beban stress dapat kita analogikan sebagai air, maka cara kita menanganinya dapat kita analogikan sebagai wadah. Wadah tiap orang lagi-lagi berbeda. Ada yang membentuk tangkupan sebesar danau, ada yang sebesar lautan, dan ada pula yang hanya sebesar gelas.

Ini merupakan pengalaman pribadi ku, aku adalah seorang komisaris di sebuah perusahaan multi-nasional. Aku sibuk. Kerjaan ku banyak. Untungnya aku juga menghasilkan uang yang banyak. Pagi ini aku memiliki rapat dengan klien penting perusahaan, para pemegang saham terbesar perusahaan kami. Aku ditugaskan untuk menyampaikan persentasi terkait masalah keuangan perusahaan. Namun saat aku hendak memeriksa hasil laporan yang sudah dikerjakan bawahanku, aku tidak bisa menemukannya di meja ku. Berbagai macam cara telah ku lakukan, mulai dari melakukan simulasi ulang saat aku memasuki ruangan ku, mencari dengan metode pencarian jejak ala anak pramuka, bahkan sampai mengecek ulang CCTV, laporan yang kucari tetap tidak bisa aku temukan. Kesal, akupun memanggil bawahanku yang mengerjakan laporan tersebut.

"Tolong panggilkan Andi ke ruangan saya." Ucapku di telpon menghubungi sekretaris ku.

"Baik pak, akan segera saya sampaikan." Jawabnya

Tak seberapa kemudian, Andi datang dengan nafas yang tidak beraturan. Memang antara kantor ku dengan ruangan pegawai berjarak satu lantai, dengan jarak yang begitu jauh tidak heran dia akan terlihat ngos-ngosan.

Toktoktok. Suara pintu diketuk.

 " Siang Pak, ini saya andi."

"Ya, silahkan masuk." Jawab ku. Aku langsung duduk tegak, agar terlihat mengintimidasi.
"Maaf Pak, boleh saya tau kenapa bapak manggil saya?"

" Laporan keuangan perusahaan yang saya tugaskan ada di mana?"

Seketika mata Andi terlihat tidak fokus, aku dapat menyadari pupil matanya membesar. Nafasnya kembali terengah-engah lagi.

"Maaf Pak, Bapak baru memberitahu kepada saya dua hari yang lalu, Saya kira waktunya satu minggu lagi."

"Atas dasar apa kamu dapat berpemikiran seperti itu? Tahukah kamu bahwa pagi ini saya memiliki rapat dengan klien penting perusahaan. Sangat tidak kompeten sekali kamu ya."

"Maaf pak, akan segera saya selesaikan, untuk kedepannya tidak akan terjadi lagi."

"Tidak butuh, sekarang kamu pergi ke divisi administrasi untuk mengambi pesangon mu."

"Pak beri saya kesempatan, saya masih banyak tanggungan, jika bapak memecat saya, keluarga saya bagaimana Pak?"

"Itu urusanmu, sekarang keluar kamu dari ruangan saya."

"Tapi Pak..."

"Keluar!" ucapku dengan nada yang ditinggikan. Kesal, marah, frustrasi. Itulah keadaan yang sedang aku alami. Dengan tidak adanya laporan otomatis presentasi yang harus aku bawakan menjadi kacau. Dan tidak ada penyelesaian untuk masalah ini. Sampai beberapa menit kedepan aku hanya diam di ruangan ku, termenung. Mungkin sepanjang karir ku, ini merupakan masalah yang tidak bisa kuatasi. Lima menit lagi aku akan melakukan presentasi, dengan badan yang sudah sangat lesu ku bawa diriku menuju ruang pertemuan. Aku sangat gugup, sudah lama sekali semenjak aku merasakan perasaan ini. Ruang presentasi itu sangat penuh sesak, petinggi perusahaanku semua berkumpul. Aku yang menyadarinya menjadi sangat tertekan. Akhirnya tiba saatnya aku melakukan presentasi. Tegang, itulah satu kata yang dapat menggambarkan keadaan ku saat itu. Aku melakukan banyak kesalahan, mulai dari salah penyebutan nama, sering berhenti sendiri, dan yang paling bermasalah adalah tidak adanya data sebagai dasar dari apa yang aku bicarakan.

"Hanya segini kemampuan orang yang ditunjuk sebagai komisaris?" ucap salah seorang pemegang saham.

"Tuan Hamdan, jangan terlalu menekannya, saya yakin dia pasti masih dalam tahap menyesuaikan diri, ya meskipun sudah berjalan 4 bulan sih." Kata salah satu komisaris perusahaan dengan nada yang mencemooh.

"Tuan komisaris, apa yang anda sampaikan tidak ada isinya, kemana semua hasil pencapaianmu? Saya harap ini merupakan terakhir kalinya kamu membuat kesalahan seperti ini." Kata atasanku, sang komisaris utama.

"Baik Pak..." jawab ku.

"Tunggu Tuan Syahrir, saya tidak bisa menerima jika tuan muda ini hanya diberian teguran seperti itu, bagaimana kami dapat mempercayai uang kami jika salah satu petinggi perusahaan sangat tidak kompeten?" Ucap pemegang saham lainnya.

"Betul itu, jika mengurus hal yang mudah saja dia tidak becus, bagaimana jika kedepannya dia membuat kesalahan yang lebih besar dari ini, saya tidak terima jika dia hanya ditegur."

"Begitukah?? Baik jika tuan-tuan berkata demikian, kiranya hukuman apa yang harus saya berikan?"Kata tuan Syahrir.

"Copot dia dari jabatannya, bahkan keponakan ku lebih pantas darinya, jika tidak bisa saya hanya akan menarik seluruh uang saya dari perusahaan ini."

"Tapi tuan, orang ini sangat kompeten, kesampingkan kesalahan yang sudah dia buat, jika kita melihat pencapaiannya, ini tidak berarti apa-apa." Kata tuan Syahrir.

"Tuan Syahrir, jabatannya yang dulu tidak bisa dibandingkan dengan yang sekarang, dia tidak boleh berbuat kesalahan, jika dia tidak bisa melakukannya. Tentu ini akan membawa perusahaan ke arah yang buruk." Ucap tuan Hamdan.

"Tapi Tuan, orang ini baru berbuat kesalahan satu kali, dia masih bisa ..."

"Jika dia tidak diturunkan, Saya akan segera menarik uang saya." Ucap tuan Hamdan.

"Saya juga."

"Begitu juga dengan saya."

"Saya juga."

"Saya..." Ucap pemegang saham yang lainnya,mengekor perkataan tuan Hamdan.

"Baik, jika tuan-tuan berkata seperti itu." Ucap tuan Syahrir

"Kamu keluar dari ruangan ini, mulai hari ini kamu saya turunkan menjadi manajer." Kata tuan Syahrir

"Baik Pak, terima kasih." Jawab ku dengan kepala yang menunduk.

Setelah kejadian presentasi tersebut, aku bergegas menuju ke ruanganku untuk membereskan barang-barang. Stress, cukup satu kata itu saja jika kalian bisa melihatku. Aku ingin marah, aku ingin menyalahkan orang-orang, aku ingin menyalahkan mereka kenapa begitu susahnya untuk memaafkan. Lupakah mereka dengan semua hal yang ku lakukan. 7 tahun, ya tujuh tahun sudah aku berada di perusahaan ini, selalu berusaha menuju puncak, dan kalian bisa lihat, hanya dengan satu kesalahan aku dicampakkan keluar. Tapi aku tidak akan menyangkal bahwa ini semua adalah hasil dari akumulasi kebodohanku. Jika saja aku tidak mempercayai bawahanku, dan jika saja aku menyelesaikannya sendiri, berhenti. Percuma saja kau memikirkannya, toh semua sudah terjadi.

Toktoktoktok. Suara pintu diketuk.

"Masuk." Kataku.

Pintu dibuka dan orang yang berada dibaliknya adalah tuan Syahrir. Sang komisaris utama, sekaligus mantan pemimpinku.

"Tidak usah berdiri, cukup duduk saja." Katanya sambil duduk di hadapan ku.

"Hmm, jadi apa rencana mu selanjutnya."

"Ntahlah pak, sebelumnya saya hanya fokus untuk menuju puncak, sekarang setelah saya diturunkan saya belum punya hal yang ingin dicapai."

"Begitukah, Saya harap kamu dapat menentukan secepatnya." Ucap tuan Syahrir.

"...."

"...."

"Sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu saya sampaikan, Saya pamit keluar." Kata tuan Syahrir.

"Tunggu pak, saya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membela saya disaat saya tidak bisa membela diri saya sendiri." Kataku

"Tidak usah kau pikirkan, Saya hanya membela apa yang pantas dibela dan kebetulan kamu memenuhi penilaian saya." Jawab tuan Syahrir.

"Terima kasih Pak, sebelumnya saya sudah memikirkannya, tapi bolehkah saya mengambil cuti untuk hari ini?"Tanyaku

"Lakukan saja semaumu." Kata tuan Syahrir sambil meninggalkan ruanganku.

Setelah itu aku bergegas pergi meninggalkan kantor. Aku menuju tempat parkir dan mengambil mobilku. Aku membawa mobilku pergi, tidak tau pasti tujuanku. Jalanan sangat ramai pada saat itu, mungkin orang-orang sedang istirahat makan siang karena seingatku aku keluar sekitar pukul 11. Jika kalian menanyakan keadaan ku, aku tidak lapar, ya mungkin sedikit lapar jika bisa kukatakan. Pikiran ku terlalu lelah untuk menyadari bahwa aku lapar. Mobilku lalu berhenti disebuah panti asuhan di pinggiran kota. Aku bahkan tidak tau kenapa aku sampai di sini, sebelum dapat berpikir lebih lanjut aku sudah sampai di pintu masuk panti asuhan tersebut.

"Paman, kemarilah main bersamaku." Ucap seorang anak asuh panti tersebut.

"Iya Paman, mari kita bermain perang-perangan." Ucap anak lainnya.

"Hey Paman ini harus bermain masak-masakan denganku."

"Kenapa paman ini harus bermain denganmu? Pasti paman ini lebih suka bermain perang-perangan, iya kan Paman??"

Aku hanya diam mengamati anak-anak ini, lalu ntah siapa yang memulainya tanganku ditarik, dan akhirnya aku menghabiskan waktuku bersama anak-anak ini.

"Anak-anak, waktunya kalian untuk belajar." Kata penjaga panti asuhan itu.

"Baik bu." Jawab anak-anak itu, sangat patuh.

Aku diam dan melihat anak-anak itu menjauh. Penjaga panti itu menghampiriku sambil tersenyum.

"Terima kasih telah menghabiskan waktu dengan anak-anak itu." Kata wanita paruh baya itu.

"Tak apa, Kebetulan aku memiliki waktu luang."

"Bagaimana menurut kamu anak-anak itu." Tanya wanita itu.

"Mereka anak yang baik." Jawab ku

"Betul mereka anak yang baik, mereka malaikat."

"Aku setuju dengan itu."

"Lalu bolehkah wanita tua ini tau apa alasanmu datang kemari."Tanya penjaga panti asuh itu.

"Sejujurnya aku juga tidak tau, aku tidak memikirkan apapun saat meninggalkan kantor." Jawabku.

"Berarti kau sudah ditakdirkan untuk bertemu untuk anak-anak itu."

"Ditakdirkan, apa maksudmu dengan itu?"

"Maksudku pertemuanmu hari ini, memang telah direncanakan oleh yang diatas, aku tau kamu telah melalui hari yang berat, kau tidak perlu memberitahuku, dan aku harap kamu telah mengerti apa makna dari pertemuanmu hari ini."

"Makna, aku tidak tau ada makna apa dengan pertemuan ini."

"Berarti kau harus mencari taunya."
"Bisakah kau memberitahuku?"

Wanita itu hanya tersenyum sambil melihatku dan pergi meninggalkanku. Aku lalu memutuskan untuk pulang. Diperjalanan pulang, aku memikirkan kejadian di panti asuhan itu. Anak-anak itu bisa dikatakan berada di panti itu karena mereka kerabat yang mau mengurus mereka, bagaimana dengan ibu mereka? Ayah mereka? Jika mereka sudah kehilangan hal yang penting dalam hidupnya di usia sebelia itu, kenapa mereka masih bisa tersenyum bahagia.

Tunggu dulu! Apa itu hal yang penting dalam hidup, bukankah itu uang? Kekuasaan? Atau hal yang lebih dari itu. Sebentar! Aku rasa itu sesuatu yang sederhana, orang bisa tetap hidup karena orang itu mempunyai motivasi untuk hidup. Motivasi itu bisa berbagai macam, tapi yang penting adalah rasa kasih saying dari orang yang kita cintai. Mereka pada usia yang begitu muda sudah kehilangan hal yang sangat besar. Kenapa mereka masih bisa tegar, apa alasannya dari tindak-tanduk itu. Lalu muncul satu kesimpulan di kepalaku.

Ikhlas! Hanya itu jawaban yang dapat kutemukan. Pada awalnya memang tidak begitu masuk akal tapi melihat bukti yang nyata itu aku merasa ini bisa dipertimbangkan. Ikhlas mereka bukan berarti mereka tidak memiliki rasa sedih akibat sudah ditinggalkan tapi lebih seperti perasaaan menerima atas hal yang sudah terjadi. Kadang kala manusia hanya dapat berserah diri, pasrah akan hal yang sudah tidak bisa diubah, dan ini bukanlah sebuah bentuk dari menyerah. Lalu untuk melengkapi artian ikhlas maka kau akan dapat melakukan syukur.

Bersyukur, iya kata sederhana yang semua orang tau artinya tapi tidak semua orang dapat melakukannya. Bersyukur berarti kau menerima bahwa hal baik yang terjadi kepadamu terdapat campur tangan orang lain didalamnya. Bersyukur juga dapat diartikan kau berterima kasih kepada Tuhanmu atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepadamu. Lalu sampai sekarang ada satu pertanyaan yang muncul dalam diriku, pernahkah aku merasa ikhlas dengan hal buruk yang terjadi kepada ku? Pernahkah aku bersyukur dengan segala nikmat yang ku terima? Aku memikirkan jawabannya sambil memacu mobilku pulang ke rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun