Mohon tunggu...
Muhamad Aqil Maulana
Muhamad Aqil Maulana Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Harimau mati meninggalkan taring, manusia mati meninggalkan nama

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dihina Miskin! Dimaafkan, namun Tidak Dilupakan

11 Agustus 2024   07:00 Diperbarui: 11 Agustus 2024   07:08 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memaafkan namun tidak melupakan (Sumber : The Jopwell Collection  via unsplash.com)

Halo sahabat Kompasiana! Izinkan saya untuk menceritakan pengalaman pribadi saya di dunia kerja sekitar seminggu atau dua minggu yang lalu. 

Saat ini, saya sedang bekerja sebagai seorang Admin Gudang di salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang peleburan alumunium. 

Suatu pagi, saya sangat merasa bad mood dan tidak ingin melakukan apa pun, karena memang awal bulan itu adalah masa-masanya kerjaan masih belum numpuk, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada kerjaan.

Untuk mengusir rasa bosan itu, saya coba keluar dari ruangan office dan mencari-cari aktivitas agar tidak bosan, barangkali juga ada yang dapat saya lakukan di luar pekerjaan.

Sampailah saya di suatu tempat di mana anak-anak lapangan sedang mengobrol dan sedang santai. Saya pun ikut nimbrung. Kebanyakan dari mereka adalah perokok aktif, sedangkan saya bukan seorang perokok aktif.

Meski pun begitu, saya tidak punya pandangan yang buruk soal para perokok aktif. Itu adalah hak mereka, selama mereka "tidak merugikan" siapa pun.

Mereka tahu bahwa saya bukan seorang perokok, namun tetap saja mereka usil.

"Qil, mau rokok gak?" Ucap salah satu dari mereka

Saya pun mencoba responnya dengan asyik

"Mana sini?" Ucap saya sambil mengulurkan tangan

Biasanya, saya mengambil rokok yang diberikan dan hanya saya pegang saja, tidak saya hisap sama sekali. Mereka pun merespon ini dengan candaan pula, "biasanya".

Kali ini berbeda, salah satu dari mereka memanggil orang yang bisa dikatakan sebagai toxic people agar ikut nimbrung.

"(Nama orang itu)! Si Aqil mau ngerokok, nih"

Orang tersebut pun langsung mengarah ke perkumpulan.

"Nih!" Ucapnya sambil mengulurkan bungkusan rokok.

Karena saya tahu dia ini orangnya sangat toxic, saya meresponnya dengan menolak dengan halus. Namun apa yang terjadi? Ia mengucapkan sesuatu hal yang sangat-sangat tidak enak didengar oleh siapa pun, khususnya saya pribadi.

"Gak ngerokok? Cowok bukan sih lu?" Ucapnya dengan nada tinggi. Saya masih meresponnya dengan ketawa tipis-tipis dan perasaan yang sedikit kesal.

"Gimana sih lu? Ngerokok kaga, mabok kaga, maen cewek kaga. Tapi miskin iya" Ucapnya dengan nada tinggi lagi. Dari sini, ekspresi saya perlahan-lahan berubah.

Di sini, saya terpancing untuk menyebutkan kekayaan yang keluarga saya punya, demi membela diri, bukan menjatuhkannya.

"Itu mah punya emak bapak lu! Nih gua nih, BPKB atas nama gua sendiri, sertifikat rumah atas nama gua sendiri." Ucapnya setelah mendengar saya menyebutkan beberapa kekayaan yang keluarga saya punya.

Memang bodoh saya pada saat itu. Seharusnya, saya tidak menyebutkan itu, tidak ada gunanya. Justru malah memperparah suasana.

Sontak, saya pun langsung diam sejenak dan perlahan meninggalkan perkumpulan itu. 

Saya yang dalam keadaan bad mood, ditambah mendengar cacian seperti itu. 

"Wah gila sih. Red Flag nih orang! Toksik banget!" Ucap saya dalam hati. Memang saya sangat-sangat kesal setelah dihina seperti itu, namun saya coba menyikapinya dengan tenang dan kepala dingin.

"Wajar ga sih? Dia udah punya harta begitu karena emang usianya yang udah kepala 3. Justru aneh kalo udah umur segitu, ada pekerjaan dengan gaji lumayan, tapi ga punya apa-apa."

"Sedangkan gua, masih umur 23-an dan baru cuman sekedar bisa mandiri finansial doank."

Kata-kata tersebut seringkali saya ucapkan dalam hati untuk menenangkan pikiran dan mendinginkan kepala.

Sekarang, saya sudah merasa sangat-sangat tenang dan perlahan mulai memaafkan orang itu, tapi tidak dengan melupakannya.

Saya pun harus tetap profesional, kerja ya kerja, personal ya persona.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun