Mohon tunggu...
Aqib Muhammad Kh
Aqib Muhammad Kh Mohon Tunggu... Penulis - Santri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah

Nafasku adalah bara api yang memacu semangat untuk tidak sekarat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Guyon: Seni Merayu Tuhan

9 Juni 2022   06:59 Diperbarui: 9 Juni 2022   07:01 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexel free photos: Nick Collins 

Abu Nuwas atau Nawas---keduanya mempunyai kesamaan arti yang tidak perlu diperdebatkan panjang lebar---sebelum sowan kepada Allah Swt, mengatakan pada salah satu anaknya, bahwa dia tidak mempunyai amalan apa-apa untuk dijadikan bukti kebaikannya pada Allah kecuali membahagiakan manusia di sekitarnya.

Lalu yang menjadikan saya yang bergidik merinding adalah bentuk cungkup kuburan beliau yang lebih kecil dari gemboknya. Sehingga setiap orang yang akan menziarahi makamnya akan tertawa melihat hal itu. Bukankah itu termasuk dari membahagiakan orang lain? Dan itu juga sudah ia wasiatkan juga pada anaknya sebelum sowan kepada Allah Swt.

Kedalaman Abu Nawas dalam memahami konsep idkholus surur (membahagiakan orang lain) yang kalau kita kaji secara heuristis dan library sangatlah komprehensif. Besar kemungkinan juga telah menjadi metode (tirakat) dalam mencapai derajat waliyyun min awliya' Allah secara mastur (samar).

Beliau sendiri yang mengatakan bahwa maqom, derajat, kedudukan saya (di sisi Allah) seperti sebuah air jernih (maun shofiy) dalam sebuah gelas tembus pandang. Orang yang tidak punya kejelian mata yang benar-benar, sukar melihat di dalam gelas tersebut ada airnya. Itu berkahnya guyon, dalam tanda kutip "diniatkan untuk membahagiakan orang lain."

Lebih dari hanya sekedar humor, Abu Nawas juga sering meringankan beban orang untuk memberi makan ketika dapat upah dari humornya. Abu Nawas adalah bentuk hamba yang benar-benar mengaksentuasikan dirinya menemukan titik sentral kedekatan dengan Tuhan melalui salah satu asma' Ar-Rahim, Maha Penyayang.

Terlihat dari kata-katanya ketika merayu Tuhan:

"Wahai Tuhanku, aku bukan ahli surga, tapi tidak betah dan kuat jika di neraka."

"Wahai Tuhanku, hambamu yang ahli maksiat datang kepadamu, dengan pengakuan dosa-doa yang banyak."

"Ampunilah ia, karena Engkau adalah Maha Pengampun. Tapi bila Engkau tolak, kepada siapa lagi (hambamu ahli maksiat) berharap?"

Jadi, enteng sekali beliau merayu Tuhan. Sehingga hidup di dunia ini yang banyak dipahami sebagai "sijnul" (penjara) bagi orang-orang mukmin, oleh Abu Nawas dibuat gamblang seakan-akan mengatakan bahwa rahmat Allah itu lebih luas dari pada dosa-dosa setiap manusia. Abu Nawas, melalui syairnya itu, mengatakan bahwa Allah Maha Penyayang, bukan Maha Jahat.

Toh, apa sulitnya Allah menjadikan seorang singkek (pelacur) yang hanya memberi minum pada anjing yang menjulur-julurkan lidah karena kehausan itu untuk dimasukkan ke surga? Betapa mudahnya bagi Allah Swt menjadikan seorang sealim dan sesufi Barseso menjadi mati dalam keadaan kafir?

Selain Abu Nawas, metode (tirakat) "guyon" juga dilakukan oleh salah seorang sahabat Nabi bernama Nu'aiman. Ia membuat geram para sahabat karena guyonan dan leluconnya yang dinilai berlebihan oleh banyak sahabat sampai membuat mereka ingin membunuhnya. Hal itu kemudian diadukan kepada Kanjeng Nabi.

Tidak seperti yang diharapkan; Nabi akan melaknat Nu'aiman, tetapi justru Nabi mengatakan bahwa Nu'aiman adalah salah satu kekasih Allah. Kenapa? "Nu'aiman memang suka bercanda, tetapi di dalam hatinya ada Allah dan Rasul-Nya," dawuh Rasulullah Saw.

Maka tidak boleh kita menjustifikasi dan memvonis suatu orang, sebuah organisasi dan golongan secara subjektif atau circle atau golongan kita. Akhirnya yang terjadi adalah apriori. Sedang konklusi yang didapat dari aprioritif tak ubahnya katak dalam tempurung, dalam artian, dunia dianggap sempit, padahal diri tak menyadari, betapa dunia ini sangat luas.

Dari hal itulah yang mendasari saya sebagai manusia lemah dan loyo, tidak berani menghukumi orang dan menghakimi kedudukan seprang di sisi Allah. Kadang orang itu setiap hari yang terlihat hanya ngeslot, kumpul dengan para preman dan perempuan-perempuan nakal, tapi di balik itu ia menobatkan banyak dari mereka dan membimbing ke jalan Allah dengan lelucon-lelucon yang diselipkan seimplisit mungkin dengan bahasa-bahasa internal kaum preman dan perempuan binal yang membuat mereka sadar.

Inilah konsep metode (tirakat) guyonan yang ingin saya dalami dan pahami. Secara teori, melucu mungkin sangat gampang dipresentasikan dan disuguhkan, tetapi sulit dalam kenyataannya. Karena tidak semua orang punya bakat bercanda dan bikin ngakak orang lain. Lain hal, lain selera humor dan guyonnya. Maka dari tulisan di atas, tidak semua juga guyonan diartikan kebaikan. Bukankah semua tergantung pada niatnya, Kekasih?

Yogyakarta, 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun