Sanksi pidana adat merupakan bagian integral dari sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat adat, termasuk di Madura. Salah satu tradisi yang mencolok pada masyarakat Madura adalah carok, sebuah praktik yang melibatkan pertarungan sebagai bentuk penyelesaian konflik, khususnya antara dua pria. Carok tidak hanya berfungsi sebagai ajang pembuktian keberanian, tetapi juga sebagai cara untuk mengembalikan kehormatan yang dianggap ternoda.
Tradisi carok di Madura memiliki akar sejarah yang dalam dan sering kali dianggap sebagai cara untuk mengakhiri kemunduran. Masyarakat Madura meyakini bahwa carok adalah bentuk keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai adat mereka. Dalam banyak kasus, carok terjadi akibat tabrakan yang berkaitan dengan kehormatan, seperti masalah keluarga atau persaingan antar individu.
Faktor Sosial dan Budaya Carok muncul sebagai respon terhadap pelanggaran harga diri, dimana individu merasa terpaksa untuk mempertahankan martabatnya. Dalam konteks budaya Madura, harga diri sangat penting, dan pelanggaran terhadapnya dapat memicu tindakan kekerasan sebagai bentuk prestasi atau penghormatan terhadap norma-norma sosial yang ada. Peran Harga Diri Salah satu penyebab utama carok adalah keinginan untuk mempertahankan harga diri. Ketika seseorang merasa terhina atau dipermalukan, mereka mungkin merasa tidak ada pilihan lain selain melakukan carok untuk membuktikan keberanian dan mempertahankan martabat mereka. Penggunaan Senjata Tajam Carok biasanya dilakukan dengan menggunakan senjata tajam, seperti clurit, yang menjadi simbol dari tradisi ini. Tindakan ini tidak hanya dipandang sebagai kekerasan, tetapi juga sebagai bagian dari proses penyelesaian konflik yang dianggap sah dalam konteks adat Madura. Carok dapat dilakukan dengan menantang satu lawan satu atau menikam musuh dari belakang, konon di wilayah Madura tradisi carok itu sampai turun temurun, keluarga menjadi korban carok akan menyimpan baju yan bersangkutan (meninggal) pada tetangganya yang kelak diperlihatkan pada anaknya setelah dewasa bahwa ayahnya mati karena carok atau dibunuh.
Carok sering kali terjadi pada hukum formal, tetapi banyak masyarakat Madura masih memilih untuk menyelesaikan konflik melalui cara tradisional ini. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara hukum negara dan norma-norma adat yang berlaku di masyarakat. Ada upaya dari pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban carok serta sanksi bagi pelakunya. Namun, penerapan hukum ini sering kali tidak efektif karena kuatnya pengaruh adat dalam penyelesaian konflik.
Proses dan Sanksi
Dalam pelaksanaan carok, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui:
Pemberitahuan : Pihak yang merasa teraniaya biasanya memberi tahu pihak lawan tentang niatnya untuk melakukan carok.
Persetujuan : Kedua pihak harus sepakat untuk melanjutkan ke tahap pertarungan.
Pertarungan : Carok dilakukan di tempat yang telah disepakati, biasanya di hadapan masyarakat.
Setelah carok berlangsung, hasil pertarungan akan menentukan sanksi bagi pihak yang kalah. Jika kalah, individu tersebut akan menerima sanksi sosial dan mungkin juga denda dari komunitas adat. Namun, jika ada kematian dalam pertarungan, hal ini dapat memicu konsekuensi hukum yang lebih serius, termasuk tindakan aparat penegak hukum.
Berdasarkan hukum Indonesia, khususnya Pasal 340 KUHP, tindakan carok dapat digolongkan sebagai pembunuhan berencana jika mengakibatkan luka berat atau kematian. Implikasi hukumnya sangat mendalam, karena konflik carok sering kali menimbulkan konsekuensi hukum yang serius bagi para pelakunya, meskipun berakar pada praktik budaya.
Salah satu kasus penting adalah insiden carok massal di Desa Tanah Merah Laok, di mana pertikaian meningkat menjadi kekerasan yang mengakibatkan banyak korban luka dan meninggal. Peristiwa ini menyoroti tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menangani kekerasan yang disahkan secara budaya sambil mematuhi standar hukum. Hakim telah bergulat dengan cara mengadili kasus-kasus yang melibatkan carok. Dalam beberapa kasus, mereka telah mengakui bahwa Carok adalah budaya tetapi masih menjatuhkan hukuman berdasarkan hukum yang berlaku yang mengatur pembunuhan dan penyerangan. Peran peradilan sangat penting dalam menyeimbangkan penghormatan terhadap praktik budaya dengan kebutuhan menegakkan hukum nasional.
Tradisi Carok harus sering ditindak lanjutkan supaya tidak ada korban lagi, dengan adanya faktor-faktor seperti perkembangan peradaban dan perubahan pola pikir dan sikap karena pendidikan dan pengalaman, serta pergantian generasi dari waktu ke waktu di pulau Madura. Sikap ini didefinisikan sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif atau secara negative terhadap objek-objek tertentu (Sarwono, 2000: 27).
Meskipun carok merupakan tradisi yang diakui oleh masyarakat Madura, praktik ini sering kali bertentangan dengan hukum negara. Sanksi pidana adat dapat berkonflik dengan sanksi pidana formal, terutama bila menyangkut kekerasan atau kematian. Pemerintah daerah dan lembaga hukum sering kali berada dalam posisi sulit untuk menyeimbangkan penghormatan terhadap tradisi lokal dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Budaya Madura sesungguhnya sesuai dengan nilai- nilai sosial budaya yang positif hanya saja kemudian nilai-nilai tersebut tertutupi sikap dan perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang Madura dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Kata tradisi dan budaya adalah dua kata yang sering digunakan dalam makna yang sama dalam merujuk pada makna kebiasaan atau adat suatu masyarakat tertentu, terkait dengan dengan hal tersebut, dua kata tersebut memiliki hubungan yang sangat erat, budaya memiliki cakupan yang lebih luas dari pada tradisi, budaya sebagai wujud ideal yang bersifat abstrak yang tidak dapat diraba dalam pikiran manusia yang dapat berupa ide, gagasan, norma, dan keyakinan (Koentjaraningrat, 1989: 22), jadi budaya merupakan hasil karya manusia melalui cipta, rasa, dan karsanya dibentuk dari aneka ragam tradisi, pola pikir, kebiasaan, karya seni dan sebagainya. Mereka juga menyadari bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum agama dan negara, oleh karena itu perilaku carok adalah perbuatan dosa besar yang melanggar perintah Allah, namun menurut mereka meskipun demikian carok masih terjadi di wilayah Madura, perbuatan ini tidak mewakili masyarakat Madura tetapi lebih bersifat personal dan lokal,bagaimanapun juga nilai-nilai negatif yang dilakukan oleh beberapa atau sebagian kecil orang Madura ini mampu menutupi nilai-nilai positif yang dilakukan sebagian besar orang Madura (Wiyata, 2006: 18).
Carok merupakan fenomena kompleks yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Madura. Meskipun ada upaya untuk mengatasi masalah ini melalui pendekatan hukum, akar masalah yang berkaitan dengan harga diri dan norma sosial masih menjadi tantangan besar. Sanksi pidana adat dalam tradisi carok di Madura mencerminkan kompleksitas hubungan antara norma sosial dan hukum formal. Masyarakat masih mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka, meskipun pertahanan hukum terus muncul. Dialog antara pemangku kepentingan adat dan pemerintah diperlukan untuk menemukan solusi yang menghormati nilai-nilai lokal sambil memastikan keamanan dan keadilan bagi semua anggota masyarakat. (MA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H