Setelah aku cari tahu, ternyata nama cowok tersebut adalah Fandi. Sejak saat itu, aku mulai sering memperhatikan dirinya dari kejauhan. Menantikan kehadirannya, curi-curi pandang, dan mengamati hal-hal kecil dari setiap gerak-geriknya. Sesekali dia menyapaku dengan ramah saat berpapasan di jalan. Rasanya, hari-hariku yang tadinya terasa biasa saja dan membosankan kini jadi lebih bersemangat.
Sayangnya, kenyataan pahit menghempaskanku dari lamunan indah itu.
Sebagai pribadi yang pendiam, aku lebih sering menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas sambil menggambar karakter anime di buku catatan kosong. Saat sedang asyik menggambar, suara obrolan beberapa cewek di belakangku tiba-tiba menarik perhatianku. Mereka sedang membicarakan Fandi. "Eh, si Fandi langgeng sama pacarnya, ya? Kayaknya mereka belum putus," ucap salah satu dari mereka.
Mendengar itu, rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Bayangkan saja, baru juga merasakan jatuh cinta belum genap seminggu, sudah harus patah hati. Sungguh mengenaskan!
Aku pun penasaran dan diam-diam mencari tahu siapa sebenarnya gadis yang beruntung menjadi pacar Fandi. Pada suatu kesempatan, saat jam istirahat tiba, akhirnya aku memergoki si Fandi menemui sang pacar. Aku tak bisa memungkiri, pacarnya tersebut sangat manis. Bahkan aku, yang seorang perempuan, turut terpukau melihat parasnya. Dari situ, aku memutuskan untuk menjaga jarak dari Fandi, menyadari posisiku yang hanya bisa memendam perasaan ini dalam-dalam.
Sialnya, tepat ketika aku mulai mencoba untuk tidak berharap lebih padanya, takdir seolah mempermainkanku. Setiap minggu, kelas kami mengadakan rolling bangku secara acak yang diundi melalui kertas. Tak disangka, pada suatu undian, aku kebagian duduk sebangku dengan Fandi. Asli, jantungku hampir mau copot. Dan di situlah, interaksi kami menjadi lebih dari sekadar 'saling sapa seperlunya'. Fandi yang lebih sering memulai obrolan, sementara aku hanya bisa berusaha terlihat cuek, meskipun di dalam hatiku bunga-bunga sedang bermekaran.
Kebetulan demi kebetulan terus terjadi. Saat guru mengundi kelompok belajar, aku sekelompok dengan Fandi. Kami sepakat untuk mengerjakan tugas kelompok di rumahku. Karena aku biasanya pulang naik ojek online, Fandi berbaik hati menawarkan tumpangan motornya.Â
Lama-kelamaan, aku jadi sering diantar pulang olehnya. Senang sih, tapi selalu ada bayang-bayang kekhawatiran yang menghantuiku. Aku khawatir pacarnya akan salah paham kalau lihat aku berboncengan dengan Fandi. Rasanya jadi nggak enak kalau sampai begitu. Walaupun hati kecil ini tak bisa berbohong ingin lebih dekat dengan dia, aku tahu harus sadar diri. Aku tidak ingin hubungan pertemanan kami merusak hubungan asmaranya dengan orang lain.
Sebuah rintihan tersembunyi di antara helaan napasku, "Ah... Momen kebersamaan ini, janganlah cepat berlalu."
Suatu ketika, Fandi menghampiriku dengan senyum mengembang di wajahnya. "Kira-kira kamu ada info lomba nggak, ya? Kita ikut bareng, yuk!" ajaknya antusias. Aku tertegun sejenak. "Lomba?" tanyaku balik. Aku terkejut dengan ajakannya yang mendadak itu.
Awalnya, kukira dia hanya bercanda. Maka dari itu, aku menanggapinya dengan santai sambil menunjukkan sebuah poster. "Kebetulan banget nih ada lomba bikin komik. Nah, kamu mau bantu bagian apa? Kalau kamu punya kemampuan menulis, mungkin bisa jadi script writer-nya. Nanti aku yang urus bagian gambar."