Mohon tunggu...
Muhammad Alfan
Muhammad Alfan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasantri Ponpes Lirboyo, Kediri-Jawa Timur. Pembelajar otodidak pengetahuan sosial, psikologi, dan filsafat.

Part of my life. Agama, Kitab kuning, Buku, Novel, Film & Mindset.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cukup, Mari Kita Sikat Si Brengsek "Siapa Aku?"

13 Mei 2021   17:45 Diperbarui: 13 Mei 2021   18:04 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Key Points

  • Kehidupan Spiritual
  • Siapa Aku?

Pertanyaan filosofis 'siapa aku' jelas bukan barang asing, tapi mungkin usang. Bukan karena sedikit manfaatnya, justru bila banyak orang bisa menjawab atau bahkan sekedar memikirkannya, selesai sudah masalah-masalah dunia yang menggunung. Melainkan, karena pikiran-pikiran orang modern yang terlampau obsesi pada hal-hal di luar dirinya.

Boleh jadi, penulis artikel ini sekarang sedang memikirkan berapa bayaran tulisannya, pujian-pujian orang-orang yang membacanya, dan mungkin kapan barang pesanan online shop tiba di tujuan.

Dude, mari sudahi kehidupan hampa kita dan mulai selami kehidupan yang kaya walau miskin, senang walau susah, ringan walau berat---kehidupan spiritual.

Lihatlah Diogenes yang hanya memiliki gentong---rumah mewahnya, ketika sedang berjemur dan diziarahi oleh seorang raja ternama sedunia, Alexander The Great. Raja bertanya, apa yang kau inginkan? Pertanyaan ini, jika kamu jawab 'segala hal mewah di dunia' akan terwujud begitu saja, siapa tak kenal raja Alexander yang menguasai seluruh Timur dan Barat? (Ar-Razi, 2000). Tapi dengan entengnya ia menjawab, minggirlah sedikit, kau menghalangi sinar matahariku (Jostein Gaarder, 2010).

Atau yang lebih dekat, kehidupan Nabi Muhammad saw yang merupakan kekasih sang pencipta tapi hidup dengan keadaan materi yang bahkan bisa disebut sangat tidak sesuai dengan statusnya---ini mengindikasikan dunia bukan tempat yang Allah ridhai.

Rumahnya minimalis bukan dalam dimensi seni arsitektur, tapi benar-benar rumah yang sangat kecil. Alas tidurnya pelapah kurma, bukan kapuk tebal. Bila di siang hari tidak ada makanan, Ia akan berpuasa tidak mencarinya dengan cara yang batil---jika enggan disebut haram.

Semangat spiritualnya bisa dilacak dari sabdanya "sesungguhnya Allah menyediakan bagi kalian salat (witir) yang lebih baik dari unta berwarna merah." (H.R Imam Abu Daud).

Unta merah pada zaman Nabi Muhammad saw adalah harta yang paling berharga bagi bangsa Arab pada saat itu. Dan, hey! Lihat betapa materi duniawi tidak berharga ketika disandingkan dengan hal-hal spiritual.

Ada juga hadis shahih yang senada, "Dua rakaat salat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya." (H.R Imam Muslim). Resapi, bung. Betapa jelas pesan spiritual yang tersimpan di dalamnya.

Ini cambuk untukku dan untukmu agar kita bisa masuk ke alam jiwa yang lebih megah dari dunia. Kalau belum masuk juga, baca lagi dengan hati, dengan rasa.

Sekarang mari kita mulai sikat si brengsek 'siapa aku?'.

Beberapa pakar klasik seperti Imam Ghazali dan Imam ar-Razi hingga Plato menyatakan bahwa manusia adalah jiwanya. Lebih jauh, Plato bahkan menganggap raga adalah penjara bagi jiwa.

Dalam tafsirnya, ar-Razi (2000) menampilkan pendapat 'Ulama bahwa manusia tidak sah didefinisikan sebagai sesuatu yang tersusun dari berbagai anggota yang disebut tubuh.

Ada dua argumen yang ia kemukakan. Pertama, tubuh manusia akan selalu bertumbuh dan sekaligus berkurang---berubah. Sedangkan Manusia sejak awal adalah sesuatu yang tetap. Sesuatu yang tetap tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang tidak tetap, dalam konteks ini tubuh. Maka menurut pendapat ini, term 'saya' harus tidak merujuk pada tubuh manusia.

Kedua, kita bisa mengetahui bahwa kita adalah sesuatu yang menetapi keadaan sekarang besertaan dengan lalainya kita terhadap susunan-susunan yang membentuk tubuh---maksudnya tanpa kesadaran akan adanya anggota tubuh. Sedangkan sesuatu yang diketahui tentu bukanlah apa yang tidak diketahui---anggota tubuh. Maka jelas sudah bahwa term 'saya' tidak merujuk pada raga. Melainkan pada sesuatu yang terkurung di dalamnya, jiwa.

Imam Ghazali pun berpendapat bahwa hakikat manusia adalah jiwa. Term yang digunakannya memang bukan nafs (jiwa), tapi qalb (hati).

al-Ghazali menyatakan bahwa hati adalah tempat segala kehidupan batin manusia terjadi. Oleh karenanya, ilmu yang mengkaji hati disebut juga sebagai disiplin ilmu batin.

Bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, jiwa sendiri diartikan sebagai seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan dan sebagainya).

Maka, meskipun Ghazali menggunakan term qalb tetapi interpretasi nya sama dengan apa yang dimaksud dengan jiwa.

Definisi hati juga menurut al-Ghazali memiliki berbagai perspektif. Dalam kitab Ihya ia menampilkan dua perspektif, yaitu ilmu kedokteran dan sufisme.

Menurut ilmu kedokteran, hati didefinisikan sebagai gumpalan daging yang berbentuk seperti sanubari (kalimat bahasa Arab sejenis pepohonan yang ditanam sebagai hiasan atau diambil kayunya) dan terletak di bagian dada sebelah kiri.

Sedangkan menurut sufisme, hati adalah sesuatu yang halus dan bersifat rabbaniyah (ketuhanan) dan ruhaniyyah (spiritual/non-materi).

Definisi inilah yang disebut-sebut sebagai hakikat manusia. Ia memiliki peran sebagai yang mengetahui, memahami, menjadi lawan bicara---karena itu jika hati kita sedang dipenuhi banyak pikiran tidak akan mampu menangkap maksud ucapan seseorang, memperingatkan dengan cara yang ramah, dan yang memohon.

Hakikat manusia ini (hati sanubari) berhubungan dengan hati dalam perspektif kedokteran sebagaimana pengguna alat dengan alat itu sendiri sehingga ia mampu menggerakkan anggota tubuh yang seakan-akan menjadi budaknya--pemegang kuasa tubuh.

Dari sini bisa kita ketahui bahwa hakikat manusia adalah jiwanya. Sedangkan tubuh hanyalah bungkus. Tidak bernilai apa-apa.

Oleh karena itu, adalah sebuah kebodohan bila ada orang yang lebih memperhatikan wajahnya dengan merawat, menjaga, menghiasnya tetapi lupa untuk merawat jiwanya yang adalah hakikat dirinya sendiri.

Sebagaimana yang dikatakan Siti 'Aisyah dalam kitab Syarh Yaqut an-Nafis, aku heran mengapa ada orang setiap hari membersihkan wajahnya tetapi lupa untuk membersihkan hatinya.

Akhirnya, jawaban dari pertanyaan 'siapa aku' adalah lihatlah jiwamu. Saya tidak bisa menentukan siapa dirimu, kamu lah yang lebih mengetahui keadaan jiwamu.

Rasakan saja, apakah ia senang pamer, angkuh, dengki, iri, pemarah, pembenci, pelit, tamak, rakus, pecinta dunia?

Ataukah ia tulus, rendah hati, mencintai orang sebagaimana mencintai dirinya, lapang dada, dermawan, rela dengan sedikitnya pemberian, dan tidak mencintai dunia?

Jika kamu telah menjawabnya, maka itulah jawaban siapa dirimu.

Ini baru awal, tugas selanjutnya adalah mempertahankan segala keadaan jiwa yang baik dan membersihkan semua kotoran di dalamnya.

Wallahu a'lamu

Daftar Pustaka

Ar-Razi, Fakhruddin. 2000. Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar Ihya at-Turats

Gaarder, Jostein. 2010. Dunia Sophie. Mizan Group.

Ad-Dimyathi, Abu Bakar. 1997. I'anah at-Thalibin. Dar al-Fikri.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Ma'rifah.

As-Syathiri, Ahmad. Syarh Yaqut an-Nafis. Dar al-Minhaj.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun