Etika Berwebinar
(Pertemuan Daring / On-Line)
Â
Muhammad Akhyar Adnan
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Pandemi covid19 memang luar biasa dampaknya: luas dan mendalam. Ini mulai dari hal yang terkesan sepele, seperti berkomunikasi, berbelanja berbagai barang atau komoditas, sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan akademik, pertemuan ilmiah, ketatanegaraan, bahkan hubungan internasional.Â
Salah satu yang nyata adalah, pertemuan yang biasanya selalu bersifat langsung (fisikal) atau tatap muka, sekarang -- dengan segala pertimbangan kesehatan dan keamanan -- maka umumnya diadakan dalam bentuk daring, alias on-line.
Tentu bukan sebuah kebetulan, bahwa di saat ada kesulitan ada kemudahan. Ini persis yang difirmankan Allah swt dalam QS An-Insyirah (94) ayat 5 -- 6. Â Bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Dan ini diulang dua kali berturut---turut. Bahwa dibalik kesulitan bertemu muka secara langsung (off-line), pakar komunikasi menemukan metode baru dalam komunikasi jarak jauh dengan relatif mudah dan murah.Â
Fasilitasnya macam-macam, ada yang bernama Zoom (yang mungkin paling popular), Google Meet, Microsoft Teams, dan mungkin banyak lagi. Akhir-akhir ini, media seperti disebutkan di atas menjadi sangat popular dan sekaligus menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan oleh masyarakat, baik di kota maupun di desa. Sejauh internet dapat dijangkau, maka masyarakat sudah sangat lazim menggunakannya.
Sesuatu yang baru hampir selalu berakibat sesuatu yang baru pula, apakah positif atau negatif. Yang positif tentu sangat banyak sekali, seperti kemudahan bertemu dan berkomunikasi secara maya (virtual), baik untuk sekadar melepas kangen antar anggota keluarga, teman, kolega, rekan bisnis, hingga komunikasi antar negara. Lalu, adakah yang sisi negatifnya?
Sebetulnya, penulis tidak ingin menyebut sebagai sisi negatif, tetapi mungkin lebih tepat disebut sebagai sisi-sisi yang perlu mendapat perhatian untuk pengembangan, agar efektifitas media ini semakin optimal. Apa itu?
Akibat pertemuan yang bersifat maya, maka seringkali timbul perasaan yang menyebabkan beberapa kelalaian, yang mungkin tidak menimbulkan kerugian secara signfikan, tetapi lebih kepada rasa kenyamanan antar pemakai. Oleh karena itu, ini lebih berkaitan dengan sisi-sisi etika.
Etika tentu tidak sama dengan hukum. Pelanggaran hukum dapat berakibat adanya sanksi atau hukuman, tetapi tidak demikian dengan etika. Oleh karena itu, suatu perbuatan bisa saja tidak melanggar hukum sama sekali, namun dipandang tidak etis. Karena etika dipersepsi sebagai suatu yang 'lebih halus' dari pada hukum.Â
Dalam etika, ada nilai-nilai keindahan, yang lebih mudah dapat dirasakan oleh masing-masing pihak. Lalu masalah etika apa yang muncul dari konteks komunikasi daring atau on-line yang selama ini, seolah-olah masih diabaikan dan belum dibangun secara lebih kuat dibandingkan pertemuan luring, atau tatap muka?
Berikut beberapa hal yang menurut penulis patut menjadi catatan semua pihak. Misalnya antara lain:
Ketepatan waktu
Bangsa Indonesia khususnya memang dikenal sebagai sebuah bangsa yang suka lalai dan abai terhadap waktu, bila dibandingkan dengan banyak bangsa-bangsa lain. Misalnya saja kalau kita bandingkan dengan bangsa Jerman dan Jepang. Kedua bangsa ini dikenal sangat menghargai waktu. Akibatnya, keterlambatan 5 menit saja -- misalnya -- dapat berakibat panjang. Namun, terlepas dari apapun sebabnya, mestinya dengan pertemuan daring, mestinya praktik molor (waktu) ini harus secara sadar ditinggalkan. Mengapa demikian?
Dalam pertemuan luring atau langsung, seringkali keterlambatan masih diakomodir karena -- misalnya -- alasan macet di jalan. Walau alasan macet ini sesungguhnya juga dapat diperdebatkan, maka dalam pertemuan daring, mestinya alasan 'kemacetan' di jalan sehingga terlambat bergabung sama sekali tidak dapat diterima. Mengapa?
Bukankah pertemuan tidak bersifat tatap muka langsung. Artinya, peserta akan tetap berada di rumah masing-masing. Tidak ada alasan kemacetan, misalnya. Maka, jika ada peserta yang terlambat bergabung, kecuali bila ada gangguan teknis (internet), maka  jelas itu merupakan indikasi ketidak pedulian akan waktu dan orang lain.
Banyak yang mungkin tidak sadar, bahwa keterlambatan tersebut sesungguhnya memberikan dampak kerugian (finansial) yang cukup material. Kok bisa? Bayangkan bahwa ketika seseorang bergabung, maka yang bersangkatan harus memiliki paket data. Terlepas apakah seseorang berlangganan atau membeli paket data eceran. Semua dibeli dengan uang.Â
Maka mundurnya sebuah acara akibat hadirin terlambat bergabung, adalah sebuah pemborosan dan kerugian (finansial) pihak tertentu. Paket data akan berkurang / terpakai seiring berjalannya waktu. Ini hampir tidak pernah disadari.Â
Oleh karena itu, semestinya host sebuah kegiatan daring berani memulai tepat waktu. Mestinya lebih patut menghargai mereka yang bergabung tepat waktu, daripada menghargai mereka yang suka telat dan akan merugikan pihak yang menunggu atau datang tepat waktu.
Ucapan salam, atau sapaan 'selamat' bergabung
Sangat sering terjadi bahwa yang sudah hadir lebih awal memberikan salam kepada yang baru bergabung, walau terlambat. Apalagi yang datang terlambat memang mempunyai posisi atau jabatan lebih tinggi atau umur lebih tua. Islam, sesungguhnya sudah mengajarkan tatacara memberikan salam yang sangat universal, dan dapat dipakai siapa saja, karena bersifat adil.Â
Dalam Islam -- misalnya -- diajari, bahwa salam itu harus disampaikan oleh yang lewat kepada yang duduk, atau yang [baru] datang kepada yang sudah lebih dulu ada, oleh yang sedikit kepada yang banyak, dari yang muda kepada yang tua, dan seterusnya.Â
Kalau kaidah ini dipakai, maka sepatutnya yang datang belakanganlah yang harus mengucapkan salam, walaupun secara umur (peserta yang baru datang) lebih tua, atau jabatan lebih tinggi. Bukan sebaliknya. Â
Kamera, Foto dan Nama
Fasilitas yang diberikan oleh Zoom, Google Meet atau Microsoft Teams cukup lengkap. Peserta dapat mencantumkan nama, memasang foto atau bahkan menghidupkan kamera. Dalam hal ini, seolah-olah ada pilihan: mulai memasang nama, foto atau menghidupkan kamera.Â
Nah, bukankah idealnya seorang peserta, selain memasang nama (minimal nama panggilan), juga menghidupkan kamera, sehingga suasana tatap muka, sungguh-sungguh terjadi, walau secara maya (virtual). Namun, apa yang terjadi?
Ada saja peserta yang -- entah sadar atau tidak -- tidak menuliskan namanya dan / atau Lembaga yang diwakilinya. Ada kalanya hanya menampilkan foto. Apa masalahnya?
Kalau seseorang tampil, misalnya tidak pakai nama, tidak pula ada foto, dan tidak pula menghidupkan kamera, alangkah 'aneh' pertemuan tersebut. Rasanya, ibarat kita berbicara dengan tembok atau dinding. Menyakitkan, bukan?
Selain nama, ada pilihan foto atau kamera yang dihidupkan. Lalu, bagaimana pemakaiannya? Pilihan tersebut tentu bukan tanpa maksud apa-apa. Idealnya, peserta -- selain menulis nama -- juga menghidupkan kamera. Tetapi dalam kondisi tertentu, kamera dapat digantikan foto. Bukan secara permanen sepanjang pertemuan. Bila yang yang bersangkutan sedang berbicara, maka tentu akan jauh lebih baik, bila kamera dihidupkan.
Blunder Kamera (?)
Namun, semestinya seseorang harus sadar sepenuhnya akan dampak menghidupkan kamera. Ketika kamera hidup, dia harus sadar bahwa jarak wajahnya dengan kamera hanyalah sekitar 30-40 cm. Apa artinya? Kamera akan menangkap dengan sangat jelas gerak wajah seseorang.Â
Sering tidak disadari oleh seorang peserta, bahwa ketika dia sedang makan atau minum sesuatu, dan kamera hidup, maka proses yang bersangkutan mengunyah akan terekam sangat jelas oleh kamera. Akan lebih diperburuk, apabila sound (suara) juga hidup. Sehingga suara mengunyah atau minum akan terdengar oleh seluruh peserta.Â
Masih mendingan kalau cara makan atau minum yang bersangkutan memenuhi standar etika makan / minum ketika sedang dalam acara resmi, misalnya: makan dengan tertib, membuat gigitan yang pantas (kecil), tidak mengeluarkan suara, dan menutup mulut ketika mengunyah.
Tetapi apa yang sering terjadi -- mungkin karena merasa sendiri dan tidak ada yang melihat -- seseorang makan dengan cara yang tidak etis: menggigit dalam ukuran besar (seperti rakus), mengunyah dengan bersuara, tidak menutup mulut saat mengunyah, bersendawa, dan perilaku makan tidak etis lainnya.Â
Akibatnya, semua peserta akan melihat dengan jelas  semua perilaku tersebut. Sungguh, ini sebuah pemandangan yang sangat tidak enak. Tetapi, tidak disadari oleh pelaku. Dalam hal ini, ada baiknya kamera ditutup dan diganti foto, dan suara (sound) juga dimatikan.  Â
Etika, umumnya tidak tertulis, kecuali oleh beberapa profesi tertentu. Itupun yang bersifat sangat standar. Namun, etika adalah sesautu yang dirasakan dan diyakini sangat penting. Karena itu juga menunjukkan tingkat adab dan akhlak seseorang. Maka, kapan dan dimanapun, seseorang yang beradab tentu perlu menjaga standar etika yang baik. Dan ini demi kebaikan yang bersangkutan khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
WaLlahu a'lam bisshowab.
Kemayoran, 20 Muharram 1443 / 29 Agustus 2021.
Muhammad Akhyar Adnan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H