***
"Lamarlah aku. Apalagi yang kau tunggu?" dia memohon diantara sedu sedan isak tangisnya.
Seribu kali sudah dia meminta ini. Permintaan yang jauh lebih berat daripada tuntutan membangun seribu candi dalam semalam. Ah, jantung hatiku, cinta memang benar-benar sudah mendungukanmu. Kau jelas sudah kehilangan kewarasanmu."
Kenapa kau diam saja? Buktikanlah kalau kau memang cinta," suaranya bergetar, hasil perpaduan antara murka dan hasrat yang membara.
"Waktu sudah membuktikan bahwa aku sangat mencintaimu," dengan mengumpulkan segenap keberanian, kucoba menatapnya dalam-dalam.
"Tapi, kenapa...?" pertanyaan itu berhenti, kaku seperti batu. Seolah terkatup pada sebuah jawaban yang sudah dia ketahui sebelumnya.
Lalu, keheningan datang lagi menemani. Kali ini, tak ada lagi isak tangis. Kini, tampaknya dia sudah mulai kesal.
Tapi, entahlah. Keheningan selalu menyimpan teka-teki.
***
Senja mulai mengintip dari balik tirai jendela. Sepasang insan manusia sedang bergumul tentang nasib perjalanan cinta mereka. "Mau dibawa kemana hubungan kita?" sayup-sayup radio tetangga sebelah bernyanyi nyinyir menyindir.
"Tapi, aku tak mau kehilangan kamu," kugenggam erat jemarinya sambil mengecup lembut keningnya.