Mohon tunggu...
Orang Kecil
Orang Kecil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Di atas pasir di bawa langit

Mahasiswa mesin, sedikit tertutup, suka ke alam terbuka.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Organisatoris Bayangan

6 Desember 2020   00:33 Diperbarui: 6 Desember 2020   02:50 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bni4success.wordpress.com

Neil Postman berkata. "anak-anak masuk sekolah sebagai tanda tanya, keluar sebagai tanda titik". Inputnya penuh dengan rasa penasaran, namun setelah itu mereka terdiam dan tidak menjadi apa-apa. Padahal seharusnya masuk dengan tanda tanya, keluar dengan tanda seru karena terdorong untuk melakukan banyak hal. Itulah yang harus didapatkan dalam dunia pendidikan. Baik formal, maupun non formal. 

Perjalanan yang paling mengkhawatirkan adalah tidak sampai pada tujuan. Meskipun seharusnya sebelum melakukan perjalanan kita diisyaratkan untuk sampai terlebih dulu. 

Selanjutnya yang paling mengkhawatirkan adalah tidak bekerja keras dalam perjalanan. Tidak ada proses, tidak ada pembelajaran. Yang ada hanyalah pembelaan dan menghabiskan waktu untuk mencari alasan. 

Menjelang dua semester, pandemi belum juga ada titik terang. Vaksinasi masih di level perbincangan. Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali media pemberitaan mengabarkan bahwa vaksin akan siap edar dalam waktu yang tidak lama. 

Di waktu yang tidak berselang lama, muncul kembali pemberitaan bahwa siap edarnya baru bisa dimulai tahun depan. bahkan, ada pula yang menyebut sampai dua tahun ke depan. 

Pandemi virus corona ini bisa dibilang "gada obat memang" (tidak ada tandingan). Munculnya tiba-tiba, bertahannya sangat lama. Tidak ada yang lebih naik daun selain virus ini. Karenanya, yakin saja tak satupun yang tidak mengenalnya. Bahkan, tulisan ini pun dibuat dalam kondisi dunia yang sedang sakit. 

Semua berjalan tidak seperti biasanya. Kekagetan serta kekhawatiran yang amat sangat besar akan dampaknya membuat semua kelimpungan. Tidak ada sektor yang kebal dan memiliki anti body yang cukup. Penyesuaian-penyesuaian terus digalakkan demi menghindari serangan virus. Sekolah diliburkan, pekerja dirumahkan, petugas kesehatan disibukkan, dan lain sebagainya. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang katanya Agent Of Change Yang sehari-harinya mengisi time line dengan sejuta kesibukan organisasi? Yang jika duduk berhadap-hadapan memperbincangkan kemaslahatan ummat. Bahkan memikirkan 270 juta jiwa adalah hal biasa. 

Atau, barangkali pertanyaan itu terlalu jauh dari yang seharusnya. Mungkin pertanyaan bagaimana kondisi organisasi serta pelaku-pelakunya di masa pandemi ini lebih cocok. Karena berharap banyak akan menuai banyak kekecewaan, biasanya.

Dunia organisasi yang saya jumpai nampaknya agak sedikit berbeda dengan dunia planet bernama bumi. Dalam organisasi, pandemi adalah tameng. Ia adalah juru selamat. 

Hampir semua organisasi mengalami degradasi. Mandek semandek-mandeknya, dan yang paling pas untuk dijadikan alasan untuk menumpahkan kesalahan adalah virus ini. Anggap saja sebagai kejengkelan para stake holder dalam struktur sebuah organisasi yang mempunyai tanggung jawab sebagai penyelamat bumi. Dan, satu-satunya musuh penghambat adalah virus, setelah sumber daya manusianya yang memang sangat payah pada masanya. 

Kabar baiknya adalah, kegiatan rekruitmen anggota organisasi tidak berhenti sampai di sini. Perhatian mengenai regenerasi masih masuk dalam hitungan. Tujuan utamanya adalah semoga saja ada pelanjut yang lebih unggul dan bisa lebih berwarna sesuai perkembangan zaman. Atau, paling tidak organisasi tidak mati di tangan mereka yang katanya saat ini sedang berjuang untuk menghidupkan rumah tangga organisasi. 

Dukungan dari mereka para pemain pemangku kebijakan yang dianggap kenyang ilmu pengetahuan harusnya sangatlah berperan besar. Agar dapat menghasilkan output yang siap pakai, siap belajar, siap hidup. 

Tapi, apalah daya jika maksud hati memeluk gunung tapi tangan tak sampai. Orientasi yang tertanam kini tumbuh dengan layu. Gertakan sana-sana sini yang keras hanya mengandung unsur sentimentil dan kepentingan pribadi belaka. Persentase kemaslahatan sangat kecil. Wibawah telah tergadai dengan angka nominal. 

Marwah mengayomi nyaris tidak ada lagi. Tujuan utama hanya semata-mata mendapatkan panggung. Predikat menjadi incaran hanya karena ingin tampil lebih wah daripada yang lain. 

Strata keanggotaan yang naik level adalah tujuan utama demi mendapat pengakuan luar biasa. Dari sini, terlihat bahwa ada yang belum terselesaikan oleh sumber daya manusianya. Iklim ini tentu saja tidak baik jika sampai terwariskan kepada mereka yang terjaring dalam satu tempat yang sama. 

Alfred Schults menyatakan bahwa "diri kita dibentuk kebiasaan. Kebiasaan dibentuk oleh apa yang sering kita saksikan, dalam waktu lama, dan berulang-ulang". Kecelakaan inilah yang sedang terjadi. Siap pakai, siap belajar, serta siap hidup tidak lagi pada garisnya. 

Dalam situasi ini. Diperlukan adanya kematangan niat oleh calon pembelajar dalam lingkup organisasi. Bukan hanya sekadar ingin mendapat circle pertemanan baru, atau hanya karena ingin bergabung dalam satu group whatsapp yang sama, apalagi jika hanya karena alasan lawan jenis sebagai tujuan. 

Lingkungan organisasi yang hanya dijadikan sebagai arena gagah-gagahan atau panggung catwalk hanya melahirkan generasi yang kurang mapan. Baik dari segi ilmu pengetahuan serta keterampilan karena fungsinya sebagai cagar ilmu pengetahuan dan pengembangan diri akan hilang. Maka yang ada tidak lebih dari sekadar alat tumpul yang tidak memiliki fungsi. Hidup tapi sebenarnya mati.

Makhluk astral yang model demikian tentu saja masih banyak berkeliaran. Hidup, tapi sebenarnya mati. Kedatangannya memang membawa keharuman melati, tapi menyisakan ketakutan. Tak jarang jadi boomerang untuk satu tubuh dalam posisi struktural. Tempat yang lebih cocok untuk mereka tidak lain hanya di beranda penyedia klik jempol.

Dengan demikian, wajar jika forum terbuka maupun tertutup akan didominasi oleh orang-orang tertentu saja. Ketika yang lain sibuk menelurkan ide, dia hanya menjadi penonton, hebatnya ketika di luar rapat, mereka ini yang seolah sibuk dengan berbagai agenda. 

Sudah dapat dibayangkan bagaimana dialektika berjalan searah. Harmoni perpaduan suara-suara nyaris tidak ada. Itu terbukti dari banyak agenda rapat yang saya perhatikan. 

Selebihnya, tidak lebih dari penggenap kuorum (kuota forum) yang hanya menumpang nama dan numpang "menjual" diri untuk di ukir dalam sejarah perjalanan sebuah organisasi. 

Pertarungan gagasan kian meredup di tengah mahalnya harga kosmetik. Baik yang memakai maupun yang memandang, keduanya sama-sama menikmati ke-semu-an. 

Calon-calon singa podium yang kharismatik semakin ompong dan terancam punah. Kembang-kembang revolusi tidak lagi harum. Padahal keduanya memiliki potensi besar yang seharusnya dengan senyum saja dia mampu menghasilkan uang. Dengan berjalan saja dia mampu menjadi model. 

Pandai berdiplomasi saja dia menjadi politisi handal. Cantik dan gagah itu sumber kebahagiaan, apabila dibarengi dengan integritas, intelektual, moral dan spiritual. 

Rumah tangga yang harmonis dalam bingkai keluarga berpayungkan organisasi akan kembali kepada fitrahnya jika sumber daya manusianya kembali kepada pergulatan ide dan melepas trend dangkal. 

Dengan itu, akan tercipta sebuah dapur intelektual yang luas. Sehingga didalamnya segala sesuatu akan bertemu menjadi satu rasa. Berangkat dari masing-masing rasa kemudian tercipta menjadi rasa baru yang khas tanpa menghilangkan rasa yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun